top of page

Erythropoiesis: Stimulating Agent Terbaru untuk Terapi Anemia pada Penyakit Ginjal Kronis





Anemia merupakan salah satu komplikasi yang paling sering terjadi pada pasien dengan gangguan ginjal kronis. Kondisi ini dikenal juga sebagai anemia ginjal. Prevalensi dan tingkat keparahan anemia ginjal meningkat pada gangguan ginjal stadium lanjut. Kejadian anemia ginjal juga lebih tinggi prevalensinya pada pasien diabetes melitus, yang merupakan penyakit penyebab terbesar gangguan ginjal. Dengan pendekatan yang tepat, anemia ginjal dapat diobati untuk meningkatkan kualitas hidup penderitanya.1-3


Gambar 1. Prevalensi anemia pada subjek dengan gangguan ginjal2,3


Anemia ginjal merupakan suatu kondisi dengan etiologi yang multifaktorial. Penurunan sintesis erythropoietin merupakan etiologi paling penting dan spesifik yang menyebabkan anemia ginjal. Pasien dengan anemia ginjal mengalami penurunan produksi erythropoietin pada peritubular ginjal seiring dengan menurunnya fungsi ginjal. Penyebab lain dari anemia ginjal yaitu defisiensi Fe, kehilangan darah, masa hidup eritrosit yang memendek, defisiensi asam folat, serta proses inflamasi akut dan kronik.3,4


Terkait dengan etiologi tersebut, terapi dengan erythropoiesis-stimulating agent (ESA) merupakan modalitas utama pada manajemen PATIENT COMPLIANCENOVEMBER 2019 VOL. 32 ISSUE 3 medicinus 59 anemia ginjal. Pemberian ESA ditujukan untuk meningkatkan jumlah erythropoietin yang bertanggung jawab terhadap pembentukan dan diferensiasi eritrosit atau sel darah merah di sumsum tulang belakang. Pemberian ESA pada anemia ginjal dapat dimulai jika kadar hemoglobin <10 mg/dl atau hematokrit <30%, dan kadar Fe menunjukkan angka yang cukup.3,5


Erythropoiesis-stimulating agent (ESA) telah digunakan dalam dua dekade terakhir dan tetap menjadi pilihan utama untuk pengobatan anemia pada pasien dengan gangguan ginjal kronis. Penggunaan ESA dalam manajemen anemia ginjal telah terbukti meningkatkan kelangsungan hidup, mengurangi morbiditas kardiovaskular, serta meningkatkan kualitas hidup pada pasien gangguan ginjal kronis. Rekombinan erythropoietin manusia (rHuEPO) seperti erythropoietin alfa telah terbukti efektif dalam mengobati anemia pada pasien gangguan ginjal kronis. Namun karena waktu paruh yang relatif singkat (24 jam saat diberikan melalui rute subkutan), agen ini umumnya membutuhkan dua atau tiga kali pemberian setiap minggunya untuk dapat efektif meningkatkan kadar hemoglobin pada pasien anemia ginjal. Tingginya frekuensi penggunaan ini seringkali mengurangi kenyamanan pasien karena pasien diharuskan datang ke rumah sakit 2-3 kali setiap minggunya. Demikian juga dari sisi tenaga kesehatan, frekuensi administrasi ESA yang tinggi pada pasien gangguan ginjal tentu relatif memberikan beban tambahan, terlebih pasien gangguan ginjal kronis merupakan penyakit yang membutuhkan penanganan dalam jangka panjang.6


Saat ini, di Indonesia telah tersedia ESA dengan masa kerja yang lebih panjang yaitu darbepoetin alfa. Secara struktur, darbepoetin alfa mengandung dua rantai asam sialat yang terikat nitrogen tambahan yang mengandung karbohidrat dibandingkan dengan erythropoietin endogen atau rHuEPO standar seperti erythropoietin alfa. Hasil modifikasi ini memberikan peningkatan waktu paruh serum yang signifikan lebih lama serta memiliki aktivitas eritropoietik yang lebih tinggi dibandingkan dengan rHuEPO. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa rata-rata waktu paruh darbepoetin alfa sekitar 73 jam setelah pemberian subkutan pada pasien dialisis peritoneal dan pasien predialisis (pasien dengan gagal ginjal stadium 3 atau 4 tanpa dialisis). Dengan demikian, darbepoetin alfa dapat diberikan dengan frekuensi yang lebih sedikit dari rHuEPO standar (erythropoietin alfa) dan dapat mempertahankan konsentrasi serum yang memadai untuk menstimulasi proses eritropoiesis dalam mencapai nilai Hb target.6,7


Saat ini, di Indonesia telah tersedia ESA dengan masa kerja yang lebih panjang yaitu darbepoetin alfa. Secara struktur, darbepoetin alfa mengandung dua rantai asam sialat yang terikat nitrogen tambahan yang mengandung karbohidrat dibandingkan dengan erythropoietin endogen atau rHuEPO standar seperti erythropoietin alfa. Hasil modifikasi ini memberikan peningkatan waktu paruh serum yang signifikan lebih lama serta memiliki aktivitas eritropoietik yang lebih tinggi dibandingkan dengan rHuEPO.


Gambar 2. Perbandingan struktur biomolekuler, farmakodinamik dan farmakokinetik ESA (modified from 2001 J.C. et al.: Nephrol, Dial. Transplant, 16 (suppl 3): 3-13)


Beberapa penelitian menunjukkan bahwa rata-rata waktu paruh darbepoetin alfa sekitar 73 jam setelah pemberian subkutan pada pasien dialisis peritoneal dan pasien predialisis (pasien dengan gagal ginjal stadium 3 atau 4 tanpa dialisis). Dengan demikian, darbepoetin alfa dapat diberikan dengan frekuensi yang lebih sedikit dari rHuEPO standar (erythropoietin alfa) dan dapat mempertahankan konsentrasi serum yang memadai untuk menstimulasi proses eritropoiesis dalam mencapai nilai Hb target.6,7 erythropoietin alfa sebanyak 2-3 kali per minggu dapat diturunkan menjadi 1 kali per minggu dengan pemberian darbepoetin alfa, sementara pasien yang menggunakan erythropoietin alfa 1 kali per minggu dapat diturunkan menjadi 1 kali setiap dua minggu dengan pemberian darbepoetin alfa. 6


Penelitian yang dilakukan pada pasien anemia ginjal yang belum menjalani hemodialisis menunjukkan efikasi dan keamanan yang setara antara darbepoetin alfa dan erythropoietin alfa. Namun yang perlu digaris bawahi, penelitian ini menggunakan darbepoetin alfa dengan frekuensi pemberian yang lebih rendah dibandingkan dengan erythropoietin alfa. 8 Pemilihan terapi ESA pada anemia ginjal dengan darbepoetin alfa memberikan interval pemberian yang relatif lebih panjang, sehingga frekuensi pemberian dapat diturunkan. Hal ini memberikan peluang untuk menyederhanakan pengobatan dan meningkatkan efisiensi manajemen anemia ginjal.6


Frekuensi pemberian yang lebih rendah dengan darbepoetin alfa juga dapat meningkatkan kepatuhan pengobatan karena meningkatnya kenyamanan pasien anemia ginjal, baik yang sudah menjalani hemodialisis maupun pasien predialisis. Beberapa penilitian menunjukkan bahwa pasien dengan penyakit kronis relatif lebih patuh terhadap regimen pengobatan dengan frekuensi pemberian yang lebih rendah.9,10 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tersedianya pilihan ESA terbaru di Indonesia yang menawarkan frekuensi pemberian yang lebih rendah dengan efikasi dan profil keamanan yang baik, diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan pasien anemia ginjal terhadap pengobatan sehingga berdampak positif bagi kualitas hidup pasien tersebut.11


DAFTAR PUSTAKA

  1. Bello AK, et al. Complications of chronic kidney disease: current state, knowledge gaps, and starategy for action. Kidney International Supplements 2017;7:122-9.

  2. Fishbane S, Spinowitz B. Update on anemia in ESRD and earlier stages of CKD: core curriculum 2018. Am J Kidney Dis 2018;71(3):423-35.

  3. Thomas R, Kanso A, Sedor JR. Chronic kidney disease and its complications. Prim Care 2008;35(2):329-vii.

  4. Babit JL, Lin HY. Mechanisms of anemia in CKD. J Am Soc Nephrol 2012;23:1631-34.

  5. Perhimpunan Nefrologi Indonesia. Konsensus manajemen anemia pada penyakit ginjal kronik. 2011.

  6. Bernieh B, et al. Comparison between short- and long-acting erythropoiesis stimulating agents in hemodialysis patients: target hemoglobin, variability, and outcome. Int Urol Nephrol 2014;46:453-9.

  7. Egrie JC, Browne JK. Development and characterization of novel erythropoiesis stimulating protein (NESP). Nephrol Dial Transplant 2001;16Suppl3:3-13.

  8. Mehta KS, et al. Darbepoetin alfa versus erythropoietin alfa for treatment of renal anemia in patients with chronic kidney disease at the pre-dialysis stage: a randomized non-inferiority trial. Journal of The Association of Physicians of India 2019;67:62-6.

  9. Paes AH, Bakker A, Soe-Agnie CJ. Impact of dosage frequency on patient compliance. Diabetes Care 1997;20(10):1512-7.

  10. Coleman CI, et al. Dosing frequency and medication adherence in chronic disease. J Manag Care Pharm 2012;18(7):527-39.

  11. Data on file

  12. Fishbane S and Spinowitz B. Am J Kidney Dis 2018;71:(3):423-35 13. Thomas R, et al. Prim Care 2008;35(2):329–vii.

Sumber: Medicinus November 2019 vol. 32 issue 3

10 tampilan
bottom of page