top of page

Hipertensi Intradialisis pada Gagal Ginjal Kronis



Hipertensi Intradialisis pada Gagal Ginjal Kronis

dr. Brilliant Van Fitof S.R., Sp.PD

Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret/RSUD Dr. Moewardi Surakarta


Korespondensi: Brilliant Van Fitof S.R.

Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret/RSUD Dr. Moewardi Surakarta.


Abstrak

Penyakit ginjal kronis/chronic kidney disease (CKD) didefinisikan sebagai abnormalitas struktur atau fungsi ginjal yang berlangsung selama lebih dari 3 bulan dan berakibat pada kondisi kesehatan. CKD awalnya tidak menunjukkan tanda dan gejala, namun dapat berjalan progresif menjadi gagal ginjal. Kriteria yang sering digunakan untuk memulai dialisis pada pasien CKD adalah adanya gejala uremikum, hiperkalemia, kelebihan cairan yang menetap dengan terapi diuretik, diatesis hemoragik, nilai estimated glomerular filtration (eGFR) <10 ml/menit/1,73 m2, dan asidosis refrakter.


Dialisis dapat menimbulkan komplikasi intradialisis seperti dialysis disequilibrium syndrome (DSS), emboli udara, hemolisis, reaksi alergi selama hemodialisis (HD), efek samping pemberian zat besi intravena, perdarahan akses vaskular, hipotensi intradialisis, dan hipertensi intradialisis.


Adanya hipertensi intradialisis yang rekuren harus dapat dikenali lebih awal untuk mencegah hipertensi yang terus menerus terjadi selama proses dialisis. Apabila kondisi ini berlangsung terus menerus maka akan dapat meningkatkan kejadian edema paru, perawatan di rumah sakit yang lebih sering, gangguan kardiovaskular, dan kematian. Saat ini sudah diterapkan manajemen terapi farmakologi dan nonfarmakologi pada pasien CKD untuk menghindari terjadinya hipertensi intradialisis. Terapi tersebut, secara jangka pendek, bertujuan untuk memastikan pasien dapat menjalankan durasi dialisis hingga tuntas. Sedangkan tujuan jangka panjangnya adalah mengurangi faktor risiko kejadian kardiovaskular dan mortalitas.

Kata Kunci: gagal ginjal kronis, hipertensi, intradialisis


Abstract

Chronic Kidney Disease (CKD) is defined as an abnormality of kidney structure or function for more than 3 months, with health implications. CKD initially has no signs and symptoms but can be progressively to renal failure. Criteria to initiate dialysis in patients with CKD are uremic syndrome, hyperkalemia, persistent overload of body fluid with diuretic therapy, hemorrhagic diathesis, estimated glomerular filtration rate (eGFR) <10 ml/minutes/1.73m2, and acidosis refractory.


Intradialytic complications may occur include dialysis disequilibrium syndrome (DSS), air embolism, hemolysis, allergic reactions during hemodialysis (HD), side effect of intravenous iron administration, vascular access hemorrhage, hypotension and hypertension intradialytic.


Recurrent intradialytic hypertension should be analyzed immediately to prevent persistent hypertension during the dialysis process. If this condition continues, it will increase the incidence of pulmonary edema, hospitalizations, cardiovascular disorders, and death. Currently, pharmacological and non-pharmacological management therapy has been applied in CKD patients to avoid intradialytic hypertension. The short-term therapy aims to ensure that the patient can carry out the dialysis session and the long-term therapy  goal is to reduce the risk factors for cardiovascular events and mortality.  

Keywords: chronic kidney disease, hypertension, intradialytic


Pendahuluan

Penyakit ginjal kronis/chronic kidney disease (CKD) didefinisikan sebagai abnormalitas struktur atau fungsi ginjal yang berlangsung selama lebih dari 3 bulan dan berakibat pada kondisi kesehatan. CKD merupakan faktor risiko independen pada penyakit kardiovaskular yang berkaitan dengan morbiditas, mortalitas, dan/atau penurunan kualitas hidup.1


Saat ini diperkirakan sebanyak 2,5 juta orang menerima renal replacement therapy dan diperkirakan jumlahnya akan meningkat menjadi 5,4 juta jiwa pada tahun 2030. Angka kematian di seluruh dunia akibat CKD menurut World Health Organization (WHO) mencapai 864.226 orang setiap tahunnya. CKD juga menjadi penyebab kematian tertinggi ke-14 dengan angka kematian 12,2 kematian per 100.000 penduduk dengan prevalensi pada wanita lebih tinggi daripada laki-laki. Hasil metaanalisis oleh Hill dkk. tahun 2016 menyebutkan bahwa hal tersebut mungkin karena wanita memiliki massa otot yang lebih kecil dibandingkan dengan pria. Massa otot merupakan faktor mayor yang menentukan (determinan) konsentrasi serum kreatinin.  Pada pasien CKD yang menjalani hemodialisis, angka kematian pada tahun pertama sebesar 10% dan meningkat pada tahun-tahun berikutnya.2,3,4



Gambar 1. Prevalensi CKD Secara Global.4


Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2013 menyatakan bahwa populasi penduduk usia lebih dari 15 tahun yang terdiagnosis gagal ginjal kronis sebesar 0,2% dari total populasi di Indonesia pada tahun tersebut. Prevalensi gagal ginjal kronis meningkat seiring dengan pertambahan usia, dengan lonjakan peningkatan paling besar dari kelompok usia 35–44 tahun dibandingkan kelompok usia 25–34 tahun.5


Pada pasien CKD, kriteria yang sering digunakan untuk memulai dialisis adalah adanya gejala uremikum, hiperkalemia, kelebihan cairan yang menetap walaupun dengan terapi diuretik, diatesis hemoragik, eGFR <10 ml/menit/1,73 m2, dan asidosis refrakter. Pilihan terapi pada pasien dengan kondisi uremikum meliputi hemodialisis di rumah sakit, dialisis peritoneal, ataupun transplantasi ginjal.6


Progresivitas CKD dikaitkan dengan timbulnya beberapa komplikasi seiring dengan  intensitas penurunan fungsi ginjal. Komplikasi tersebut berkontribusi pada peningkatan angka mortalitas dan morbiditas serta penurunan kualitas hidup. Beberapa komplikasi dapat segera diketahui seperti hipertensi, kelebihan cairan, kejadian kardiovaskular, dan gangguan elektrolit dan asam basa, ataupun komplikasi yang memerlukan manajemen terapi spesifik seperti pemberian erythropoietin untuk mengoreksi anemia. Selain itu, terdapat komplikasi yang lebih jarang dilaporkan namun memiliki manifestasi kompleks adalah anoreksia, pruritus, mual, fatigue, dan disfungsi seksual.7


Komplikasi pada CKD seringkali ditemukan seiring dengan perjalanan penyakit, termasuk pada pasien yang menjalani hemodialisis (HD). Meskipun komplikasi interdialisis tersebut relatif jarang terjadi namun tetap dapat terjadi, terlepas dari tingginya komorbid pasien. Komplikasi intradialisis yang dapat dialami pasien antara lain dialysis disequilibrium syndrome (DSS), emboli udara dalam darah, hemolisis, reaksi alergi selama HD, efek samping pemberian zat besi intravena, perdarahan akses vaskular, hipotensi ataupun hipertensi intradialisis.8 Patofisiologi terjadinya hipertensi intradialisis masih belum diketahui dengan jelas, namun kemungkinan adanya kelebihan cairan turut berkontribusi pada kejadian ini. Selain itu, terdapat peran dari disfungsi endotel, sistem saraf simpatik, kekakuan arteri, dan aktivitas berlebihan dari renin angiotensin aldosteron yang menyebabkan terjadinya komplikasi tersebut. Pasien dengan riwayat hipertensi intradialisis memiliki risiko mengalami reaksi hipervolemia jangka pendek seperti edema paru, risiko rawat inap berulang, dan peningkatan mortalitas.9


Tujuan jangka pendek menghindari hipertensi intradialisis adalah memastikan pasien CKD dengan HD dapat menjalani durasi dialisis hingga tuntas serta menghindari gejala dan komplikasi yang tidak diinginkan. Tujuan jangka panjangnya adalah mengurangi faktor risiko kejadian kardiovaskular dan mortalitas.10


Hipertensi Intradialisi

sHipertensi intradialisis merupakan salah satu komplikasi proses dialisis yang dapat terjadi serta memiliki prognosis yang signifikan. Kondisi klinis pasien yang mengalami hipertensi intradialisis umumnya berusia lanjut, berat badan  rendah, kadar serum kreatinin dan albumin rendah, serta mendapat pengobatan antihipertensi yang lebih banyak dibandingkan pasien dengan nilai tekanan darah sistolik tinggi dan menetap ataupun berubah selama dialisis.  Peningkatan risiko kejadian hipertensi interdialisis tergantung dari jenis hipertensi intradialisis maupun latar belakang hipertensi. Mekanisme peningkatan tekanan darah selama dialisis memiliki latar belakang mekanisme yang kompleks dan bersifat multifaktorial.11 Adanya retensi air dan natrium menjadi penyebab utama dari hipertensi intradialisis. Oleh karena itu, penanganan nonfamakologi seperti pembatasan asupan natrium, peresepan dialysate sodium yang bersifat individual, dan penurunan berat kering pasien secara bertahap harus diterapkan sebagai standar awal terapi untuk mengontrol tekanan darah. Pada beberapa kasus, peningkatan tekanan darah dapat tetap terjadi walaupun sudah dilakukan penarikan cairan yang disebut dialysis refractory hypertension.12 Kondisi tersebut sering ditemukan pada pasien usia muda dengan riwayat hipertensi sebelumnya, peningkatan IDWG (interdialytic body weight gains) serta hiperaktivitas renin angiotensin sebagai respons dari penarikan cairan.13


Definisi Hipertensi Intradialisis

Fenomena peningkatan tekanan darah selama proses dialisis sering terjadi, namun hingga saat ini definisi hipertensi intradialisis masih diperdebatkan. Hal tersebut terjadi karena terdapat beberapa kendala, seperti pada pengukuran tekanan darah pre-, intra-, dan setelah dialisis tidak digunakan dalam diagnostik, melainkan digunakan sebagai parameter hemodinamik untuk mengetahui kondisi stabilitas jantung pre-, intra-, dan  setelah dialisis. Faktor lain yang mengakibatkan pengukuran tekanan darah menjadi tidak akurat, adalah white coat hypertension, pasien kurang tenang (pasien terburu-buru memulai dan meninggalkan proses dialisis), atau rasa takut maupun cemas saat dilakukan proses pemasangan fistula arteriovenosus. Sebuah metaanalisis melaporkan bahwa proporsi terjadinya white coat hypertension dan masked hypertension pada pasien CKD berkisar antara 30% dan 7%.12


Beberapa peneliti mendefinisikan hipertensi intradialisis sebagai peningkatan mean arterial pressure (MAP) >15 mmHg pada saat atau sesaat setelah dialisis.22 Studi kohort mendefinisikan hipertensi intradialisis sebagai peningkatan tekanan darah sistolik ≥10 mmHg secara bertahap selama 1 jam pertama setelah dialisis, dan mengalami penurunan bertahap selama sisa waktu dialisis. Selama 6 bulan penelitian tersebut, lebih dari 90% pasien mengalami hipertensi interdialisis minimal 1 kali.14


Faktor yang Berkaitan dengan Hipertensi Intradialisis

  • Cairan ekstraseluler berlebih Pada pasien CKD, kapasitas ekskresi natrium dan cairan sangat terganggu, sehingga retensi natrium dan cairan ini sangat umum terjadi. Selain itu, pasien CKD memiliki sensitivitas natrium yang tinggi sehingga berpengaruh terhadap tekanan darah. Saat ini, telah banyak dipahami bahwa retensi natrium mungkin terjadi dalam bentuk natrium inaktif nonosmotik pada jaringan ikat dan kulit sehingga terjadi akumulasi natrium di glikosaminoglikan. Akumulasi ini akan mencetuskan reaksi lokal makrofag yang mengaktivasi tonicity responsive enhancer binding protein (TonEBP) dan menginisiasi sekresi dari vaskular endothelial growth factor (VEGF). Proses selanjutnya adalah VEGF akan meningkatkan bersihan elektrolit melalui pembuluh limfa di jaringan kulit dan meningkatkan sintesis nitric oxide (NO) di vaskular. Pada pasien hemodialisis, kadar natrium dan air pada kulit dan otot mengalami peningkatan, dan kadar VEGF menurun jika dibandingkan dengan individu sehat dengan usia yang sama. Fenomena ini juga berperan pada terjadinya hipertensi.12 Ultrafisasi selama proses dialisis akan menarik kelebihan cairan di tubuh. Proses ini dapat menstimulasi penurunan volume plasma dan menjadi faktor risiko hipertensi interdialisis. Ultrafiltrasi adalah salah satu peresepan HD dengan tujuan mencapai kondisi kesetimbangan cairan optimal dan tekanan darah normal (normotensi). Saat ini, tindakan ultrafiltrasi pada HD bergantung pada penambahan berat badan pasien dan target berat badan kering pasien. Pada pasien yang rutin menjalani HD 2 kali seminggu, peningkatan berat badan antar sesi hemodialisis yang disarankan adalah 3 kg, sehingga ultrafiltasi yang dilakukan pada pasien tidak boleh lebih dari 3 liter. Namun dalam kondisi tertentu, dapat terjadi penambahan berat badan lebih dari 3 kg. Jika sesi HD dilakukan dengan ultrafiltrasi berlebih pada kondisi tersebut, beberapa efek tidak diinginkan dapat muncul, seperti gangguan hemodinamik dan kardiovaskular.15 Berat kering didefinisikan sebagai berat badan dengan volume cairan optimal yang ditandai dengan kondisi pasien yang merasa nyaman  (tidak sesak napas dan tidak terdapat tanda kelebihan cairan). Penentuan berat badan kering pada pasien harus dilakukan dengan akurat, namun saat ini tidak semua pelayanan HD dapat melakukan hal ini karena keterbatasan alat yang digunakan yaitu bioimpedance spectroscopy (BIS). Pemeriksaan BIS pada pasien dengan hipertensi intradialisis menunjukkan bahwa terdapat volume cairan yang berlebihan.15

  • Vasokonstriksi Penurunan berat kering yang tidak tercapai pada pasien saat hemodialisis memiliki kontribusi terhadap rendahnya kontrol hipertensi, sehingga dapat menjadi pertimbangan pada etiologi abnormalitas tekanan darah pada pasien hipertensi interdialisis. Chou dkk. melakukan penelitian pada pasien yang rutin menjalani dialisis, dengan melakukan pemeriksaan pasien menggunakan ekokardiogram sebelum dan setelah dialisis. Hasil penelitian menunjukkan terdapat peningkatan resistansi vaskuler pre hingga post-hemodialisis yang signifikan pada pasien yang mengalami hipertensi intradialisis dibandingkan pada pasien yang tidak mengalami peningkatan tekanan darah. Penelitian tersebut mengidentifikasi bahwa terdapat kaitan antara peningkatan tekanan darah dengan vasokonstriktor endogen. Vasokonstriktor endogen ini tidak terkait dengan adanya lonjakan aktivitas sistem saraf simpatis yang diukur dengan kadar katekolamin plasma ataupun sistem aktivitas renin angiotensin aldosteron yang diukur dengan menggunakan aktivitas renin plasma. Peneliti mengungkapkan bahwa terdapat gangguan keseimbangan mediator sel endotel pada pasien dengan hipertensi intradialisis. Ketidakseimbangan terjadi dengan adanya peningkatan vasokonstriktor endotelin-1 (ET-1) dan penurunan rasio NO terhadap ET-1. ET-1 adalah peptida yang terdiri dari 21 asam amino dan banyak terdistribusi di sistem organ. ET-1 diproduksi di sel endotelin pembuluh darah di jantung, pembuluh darah, jantung, paru-paru, pankreas, limfa, ginjal, saraf serebral, dan hipofisis. Walaupun diproduksi sebagian besar di pembuluh darah, konsentrasi ET-1 lebih tinggi ditemukan dalam plasma daripada dalam jaringan. Waktu paruh ET-1 di plasma sangat pendek, hanya sekitar 60–90 detik.14,16 Endotelin memiliki dua jenis reseptor yaitu ETA dan ETB yang keduanya termasuk dalam reseptor berpasangan protein G. Reseptor ETA sebagian besar terletak di vascular smooth muscle cells (VSMC) yang berperan pada kontraksi vaskular yang poten, proliferasi sel dan memiliki efek proinflamasi. Reseptor ETB memiliki dua subtipe yaitu ETB1 yang diekpresikan oleh sel endotel dan ETB2 yang berperan juga dalam kontraksi.17

Gambar 2. Mekanisme Kerja Endotelin-1 dan Reseptor ETA.17


Pada gambar di atas aktivasi reseptor ETA akan menstimulasi phospolipase C (PLC) untuk membentuk inositol 1,4,5-triphosphate (IP3) dan diacylglycerol (DAG) dari phosphatidylinositol 4,5-biphosphate (PIP2). IP3 akan menginduksi Ca2+ untuk keluar dari sarcoplamic reticulum (SR). Kemudian peningkatan konsentrasi Ca2+ akan menyebabkan kontraksi dari VSMC. Produksi dari DAG akan mengaktifkan protein kinase C (PKC) yang akan bertanggung jawab pada fungsi mitogenik endotelin dan juga akan menginduksi jalur independen Ca2+ yang selanjutnya akan menyebabkan kontraksi melalui jalur calponin phosphorilation. Efek PKC gen transkripsi melalui kaskade mitogen activated protein kinase (MAPK) yang juga akan mengaktivasi caldesmon MAPK untuk meningkatkan kontraksi.17

Nitric oxide (NO) adalah komponen yang terlibat dalam berbagai fungsi fisiologis seperti vasodilatasi, transmisi neuron, respons imunologis dan modulasi fungsi trombosit. NO disintesis dari asam amino L-arginin dengan menggunakan enzim NO sintase yang dapat merubah arginin dan oksigen menjadi citrulline dan NO. NO memiliki fungsi penting dalam meregulasi tonus pembuluh darah pada efek vasodilatasi, menghambat efek vasokonstriksi, dan menurunkan agregasi trombosit.16


  • Erythropoietin (EPO) agent Efek positif penggunaan EPO pada pasien anemia dengan CKD telah banyak diketahui. Penggunaan EPO dan agen stimulan eritropoiesis memiliki keterkaitan terhadap insidensi hipertensi baru atau eksaserbasi. Mekanisme EPO yang menginduksi hipertensi masih belum diketahui secara pasti. Pada pasien yang menerima EPO secara intravena, akan terjadi peningkatan kadar ET-1 yang merupakan vasokonstriktor poten. Selain itu, adanya pemberian terapi EPO akan meningkatkan kadar hemoglobin yang terlalu cepat sehingga juga dapat meningkatkan tekanan darah. EPO yang diberikan secara intravena akan meningkatkan tekanan darah MAP pasien sekitar 20 mmHg dengan onset 30 menit setelah injeksi dan bertahan hingga 3 jam. Secara kontras, pemberian EPO secara subkutan tidak akan meningkatkan tekanan darah dan sering diberikan setelah dialisis. EPO yang diberikan dengan dosis tinggi akan meningkatkan tekanan darah karena peningkatan kekakuan arteri seiring dengan peningkatan viskositas darah dan menyebabkan kerusakan endotel.11,13,18 Sel endotelin memiliki reseptor terhadap human recombinant EPO. Studi in vitro menunjukkan bahwa EPO yang berikatan dengan sel akan mengeluarkan ET-1. Konversi pro ET menjadi ET-1 sangat penting pada proses aktivitas pembuluh darah. Duk-Hee dkk. menjelaskan bahwa kadar pro ET-1 dan ET-1 di plasma akan meningkat setelah pemberian EPO secara intravena. Kondisi peningkatan yang akut ini akan meningkatkan tekanan darah pada pasien.16

  • Dialisat natrium Komposisi dialisat telah lama diketahui sebagai salah satu faktor yang berpengaruh pada hemodinamik intradialisis. Serum natrium berkontribusi besar pada osmolaritas serum seseorang dan peran dialisat harus dipertimbangkan sebagai salah satu sumber hipertensi intradialisis.14 Terdapat hubungan langsung antara gradien natrium dialisat dan serum terhadap perubahan tekanan darah sistolik pada 206 pasien yang menjalani hemodialisa. Studi in vitro menduga bahwa konsentrasi natrium yang tinggi juga akan berpengaruh pada sel endotel untuk menghambat peran NO, sehingga akan menyebabkan vasokonstriksi dan peningkatan tekanan darah.11 Hipertensi intradialisis dapat dicetuskan oleh penggunaan dialisat natrium yang terlalu banyak yang dapat meningkatkan balance natrium intradialisis hingga positif dan dikaitkan dengan rasa haus. Akibatnya adalah peningkatan berat badan selama periode dialisis. Untuk mengakomodir hal ini, beberapa model cairan dialisis sudah membuat komposisi natrium yang dari awalnya sekitar 150–154 mmol/l menjadi 138–142 mmol/l.13

  • Disfungsi endotel Disfungsi sel endotel saat hipertensi intradialisis berkaitan dengan ketidakseimbangan antara derivat endotel vasokonstriktor asymmetric dimehtylarginine (ADMA), ET-1, dan vasodilator (nitric oxide).19 Penelitian lain oleh Assimon dkk. menjelaskan bahwa pasien dengan volume cairan berlebih akan mengalami disfungsi endotel yang berperan pada timbulnya hipertensi intradialisis. Pada pasien yang mengalami hipertensi interdialisis, terjadi peningkatan konsentrasi serum ET-1 selama proses dialisis. Namun nitric oxide sebagai vasodilator tetap pada kadar yang rendah yang berpengaruh pada ketidakseimbangan ini akan berkontribusi pada peningkatan tahanan perifer.9

  • Kekakuan arteri Pasien dengan CKD memiliki kekakuan arteri yang meningkat lebih dini karena kombinasi beberapa faktor. Faktor utama yang berperan adalah adanya gangguan homeostasis kalsium fosfat. Pada dialisis, kekakuan arteri diukur berdasarkan arteri pulse wave velocity (PWV). Agarwal dkk. telah menganalisa 125 pasien hemodialisis dan didapatkan bahwa PWV memiliki korelasi linear dengan tekanan darah.12 Penelitian pada 47 pasien hemodialisis tanpa riwayat penyakit kardiovaskular, Mourad dkk. menjelaskan bahwa pasien yang tekanan darahnya tetap atau menurun selama proses dialisis secara signifikan memiliki kecepatan aliran aorta yang lebih rendah daripada pasien yang mengalami hipertensi intradialisis. Kekakuan arteri terjadi pada endotel pembuluh darah pasien dengan CKD tingkat lanjut (end stage). Konsekuensi mayor dari peningkatan kekakuan arteri adalah preload yang prematur dari pembuluh darah perifer selama fase sistolik dibanding fase diastolik, meningkatkan tekanan darah sistolik dan meningkatkan afterload.11

  • Sistem renin angiotensin aldosteron Saat ini telah banyak diketahui bahwa aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron terjadi pada pasien CKD dan pasien dengan terapi penggantian ginjal. Plasma renin activity (PRA) dijaga dalam batas normal pada mayoritas pasien namun hal ini tidak signifikan berperan pada perubahan natrium total dan dapat juga berkontribusi pada peningkatan tekanan darah. Hal ini juga didukung pada studi klinis yang menunjukkan adanya peningkatan yang signifikan kadar PRA dan aldosteron plasma dari sebelum hingga setelah dialisis. Hal ini juga menunjukkan adanya residual fungsi nefron yang masih berperan pada pasien dialisis untuk mempertahankan kemampuannya saat perubahan kondisi volume intravaskular sebagai respon terhadap proses ultrafiltrasi.12 Penurunan intravaskular secara cepat selama ultrafiltrasi pada proses hemodialisis akan menstimulasi RAS. Proses selanjutnya adalah peningkatan tahanan perifer dan peningkatan tekanan darah. Sebuah penelitian melaporkan bahwa pemberian captopril 50 mg sebagai ACE inhibitor sesaat sebelum dilakukan dialisis pada pasien hipertensi intradialisis berkaitan dengan tercapainya tekanan darah yang terkontrol secara adekuat dan menghindari terjadi penghentian proses dialisis yang dipercepat. Hubungan antara PRA, aldosteron dan luaran klinis pada pasien hemodialisis sangat kompleks serta sangat dipengaruhi oleh keadaan malnutrisi dan inflamasi.11,12

  • Sistem saraf simpatis Aktivasi sistem saraf simpatis adalah kontribusi mayor patofisiologi hipertensi, penyakit jantung iskemia, gagal jantung kongestif, dan progresivitas penyakit ginjal kronis. Sumber, determinan, dan konsekuensi peningkatan aktivasi simpatis pada penyakit ginjal kronis telah diteliti dan dicetuskan oleh nervus afferent melalui traktus spinotalamika menuju struktur integratif sentral. Mekanisme lain yang dipercaya dapat meningkatkan aktivasi sistem saraf simpatis adalah inhibisi NO oleh ADMA yang terakumulasi pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Gangguan baroreseptor juga berperan pada bertambahnya aktivitas simpatis pada gangguan fungsi ginjal ringan. 20 Gangguan sistem saraf simpatis ini terjadi 2,5 kali lebih tinggi pada pasien hemodialisis dibandingkan pada populasi normal. Gangguan ini tidak terkait dengan kadar konsentrasi noradrenalin di plasma ataupun aktivitas plasma renin. Selain itu, terdapat defisiensi renalase, yaitu enzim yang diproduksi ginjal untuk metabolisme catecholamine dan substansi lain seperti catecholamine, yang turut berperan pada peningkatan aktivitas sistem saraf simpatis pada pasien dengan CKD. 21

Patofisiologi

Patofisiologi terjadinya hipertensi intradialisis yang saat ini banyak disetujui melibatkan dua faktor, yaitu adanya pencegahan untuk menurunkan tekanan darah selama dialisis, atau adanya mekanisme langsung terjadinya peningkatan tekanan darah selama dialisis. Terdapat beberapa karakteristik pasien yang mengalami hipertensi intradialisis berulang yang berhubungan dengan riwayat komorbid kronis. Pasien dengan hipertensi intradialisis berulang mengalami kenaikan berat badan antar sesi dialisis yang lebih rendah. Hal ini membuat terapi hemodialisis dilakukan dengan ultrafiltasi yang lebih kecil. Angka ultrafiltrasi yang rendah menyebabkan cairan yang harusnya difiltrasi, tetap berada di dalam tubuh. Pada akhirnya kondisi ini akan menyebabkan kelebihan cairan ekstraseluler yang kronis.19


Pasien dengan hipertensi intradialisis juga menunjukkan adanya perubahan osmolaritas yang rendah sebelum dan sesudah dialisis bila dibandingkan dengan pasien hemodialisis yang lain. Hal ini mungkin terjadi karena asupan makanan yang kurang, serta nutrisi yang tidak baik (terjadi pada serum albumin yang rendah dan malnutrisi). Kadar plasma natrium saat predialisis yang relatif rendah dan tingginya gradien natrium plasma-dialisat mungkin juga berpengaruh pada keadaan ini. Walaupun bukti penelitian masih terbatas, namun pengaruh perubahan tekanan darah oleh karena minimnya perpindahan cairan intraseluler menyebabkan penurunan osmolaritas ekstraseluler atau mencegah kadar vasopresin turun karena gangguan penurunan osmolaritas. Selain itu, disfungsi endotel yang kronis telah dipahami pada pasien dengan hipertensi intradialisis. Terdapat banyak bukti yang mendukung bahwa ET-1 secara langsung berperan pada peningkatan tekanan darah. Selain itu, ketidakseimbangan antara ET-1 dan vasoregulator lain juga berperan pada peningkatan tahanan perifer.19


Berikut ini adalah bagan patofisiologi hipertensi intradialisis:

Gambar 3. Patofisiologi hipertensi intradialisis.19


Manajemen Terapi

  1. Terapi nonfarmakologi Ketika diagnosa hipertensi intradialisis sudah ditegakkan, tata laksana nonfarmakologi menjadi langkah awal. Manajemen harus difokuskan pada koreksi mekanisme penyebab primernya. Pertimbangan lain yang diperlukan untuk pasien adalah bahwa pasien yang baru akan dilakukan dialisis pertama kali, 95% adalah pasien yang telah menderita hipertensi dan komplikasinya. Pasien juga sudah mendapatkan terapi antihipertensi untuk gejala yang dialami seperti β-blocker untuk gejala angina, gagal jantung, atau rate control. Renin angiotensin system (RAS) blocker sebagai obat gagal jantung. Penelitian selama 6 bulan telah menjelaskan bahwa pada pasien yang menjalankan aktifitas fisik, akan memperbaiki outcome hipertensi dan efektivitas pengobatan. Namun, aktifitas fisik intradialisis pada pasien dengan CKD masih memerlukan adanya penelitian lebih lanjut.12,22 Empat komponen utama pada tata laksana nonfarmakologi hipertensi intradialisis yang saat ini dipergunakan sebagai modalitas antara lain adalah:

  2. Membatasi intake natrium Restriksi diet natrium pada pasien akan membatasi IDWG dan meningkatkan kemungkinan untuk tercapainya berat kering. Tata laksana saat ini menganjurkan untuk asupan natrium harian pasien kurang dari 2 g/hari namun tidak boleh kurang dari 1,5 g/hari. Walaupun belum banyak studi dilakukan pada pasien CKD tentang anjuran batasan ini, namun beberapa studi observasional pada pasien dengan CKD yang mendapat terapi dialisis menganjurkan pembatasan asupan natrium dan pencapaian berat kering pasien dapat memperbaiki left ventricular hypertrophy (LVH).22

  3. Individualisasi dialisat natrium Dialisat tinggi natrium pada awalnya berperan untuk menjaga stabilitas hemodinamik, menurunkan sindrom ketidakseimbangan, dan mengurangi kejadian kram otot pada pasien. Sebuah penelitian acak ganda tertutup pada 7 pasien rutin dialisis yang membandingkan penggunaan dialisat natrium dengan kadar yang berbeda. Dialisat natrium bervariasi antara lain 135 mEq/L, 143 mEq/L, dan 160 mEq/L. Hasil penelitian menunjukan terdapat korelasi yang bermakna secara statistik penggunaan kadar dialisat natrium dengan IDWG masing-masing sebesar 2,2 kg, 2,6 kg, dan 2,8 kg. Studi lain menyatakan bahwa IDWG dan rasa haus dapat dicetuskan dengan pemberian dialisat hipertonik. Peresepan dengan dialisat tinggi natrium akan membuat ultrafiltrasi lebih tinggi dan dapat mencetuskan rasa haus yang pada selanjutnya akan menyebabkan peningkatan IDWG. Konsekuensi pada hal ini adalah akan meningkatkan ultrafiltrasi pada sesi hemodialisis selanjutnya.22

  4. Manajemen berat kering Manajemen berat kering pada saat ini merupakan suatu hal yang kompleks. Hingga saat ini masih belum terdapat definisi yang diterima secara luas tentang berat kering. Sinha dan Agrawal mendefinisikan berat kering sebagai berat badan terendah yang dapat ditolerir pasien setelah dialisis dan tidak ditemukan tanda hipovolomia atau hipervolemia.22 Saat ini terdapat beberapa hambatan yang ditemui dalam mencapai berat kering pada pasien dialisis dengan hipertensi. Hambatan tersebut antara lain adalah Pemeriksaan fisik sulit diandalkan untuk mengetahui berat kering pasien. Sebagai contoh adalah adanya edema kaki tidak berkaitan erat dengan berat kering. Agarwal dkk. menjelaskan bahwa diameter vena cava inferior, pemantauan tekanan darah, indikator volume plasma, dan penanda inflamasi bukan sebagai determinan pada edema. Sebagian besar pasien yang akan dilakukan hemodialisis dengan tujuan mencapai berat kering, dapat muncul berbagai keluhan, misalnya kram, pusing, hipotensi, mual dan muntah. Bila ditemui kondisi tersebut, maka sebagain besar dokter akan meningkatkan berat kering pasien dan selanjutnya juga memberikan terapi antihipertensi.22 Sebuah studi case control dengan 2 center dialisis, memberikan hasil yang menarik. Salah satu center menggunakan pendekatan dengan restriksi cairan dan menurunkan berat kering. Sedangkan center lain menggunakan antihipertensi sebagai basis terapi hipertensi. Hasil temuan yang dipublikasikan ternyata pada center yang menggunakan strategi restriksi natrium dan menurunkan berat kering memberikan beberapa keuntungan selama proses dialisis, antara lain penggunaan obat antihipertensi yang lebih rendah, IDWG yang lebih rendah, massa ventrikel kiri yang lebih rendah, fungsi diastolik dan sistolik yang lebih baik, dan kejadian hipotensi intravaskular yang lebih jarang. Dari hasil ini dapat diketahui bahwa mengukur dan mencapai berat kering dengan akurat lebih efektif daripada menambahkan obat antihipertensi.22

  • Sulitnya menilai berat kering secara objektif

  • Risiko komplikasi seperti gangguan kardiovaskular dan hilangnya akses arteriovenosus.

  • Kecemasan pasien mengalami beberapa gejala antara lain kram otot, hipotensi intradialisa, mual, dan muntah.

  • Penggunaan obat-obatan yang mengandung natrium.

  • Rendahnya kepatuhan pasien dalam membatasi natrium atau membatasi IDWG.

  • Durasi dialisis yang singkat.

  • Terdapat penyakit lain yang dialami pasien (gagal jantung, disfungsi otonom).

  • Penggunaan natrium dialisat yang tidak sesuai.

  • Penggunaan antihipertensi yang terlalu banyak.

  • Penggunaan ultrafiltrasi yang terlalu tinggi.12

  1. Durasi dialisis yang adekuat The European Best Practice Guidelines merekomendasikan dialisis harus dilakukan sebanyak 3 kali per minggu dengan total durasi paling sedikit 12 jam per minggu tanpa melihat angka bersihan fungsi ginjal. Penambahan waktu dan frekuensi dialisa dapat dipertimbangkan pada pasien dengan riwayat hemodinamik yang tidak stabil atau pada pasien dengan hipertensi walaupun sudah mendapat dosis maksimal. 22 Saat ini telah diketahui bahwa pasien dengan durasi dialisis yang singkat akan mengalami hipertensi yang sulit dikontrol. Pasien yang telah menerima dialisis selama 8 jam selama 3 kali per minggu memiliki kontrol tekanan darah yang sangat baik, memerlukan obat antihipertensi yang minimal dan survival jangka panjang yang baik. Saat ini sesi dialisis yang lebih sering dengan durasi yang lebih lama umumnya akan menurunkan risiko hemodinamik yang tidak stabil, pencapaian berat kering yang lebih baik, kontrol tekanan darah yang lebih baik, dan menurunkan penggunaan obat antihipertensi. Selain itu, dialisis yang lebih sering sebanyak 3 kali per minggu akan menurunkan kecepatan ultrafiltrasi dan menurunkan risiko komplikasi intradialisis serta memperbaiki fungsi LVH. 21, 22

  2. Terapi farmakologi Semua jenis antihipertensi kecuali diuretik dapat digunakan pada pasien hipertensi intradialisis. Diuretik tidak efektif pada pasien dengan eGFR yang rendah. Tidak terdapat peranan diuretik walaupun sudah diberikan loop diuretik dengan dosis tinggi (furosemide intravena 250 mg) pada pasien HD yang anuria. Pemeriksaan Doppler juga menunjukkan bahwa tidak terdapat efek pemberian loop diuretik dosis tinggi terhadap hemodinamik jantung pasien HD yang anuria. Pemberian dosis tinggi justru akan meningkatkan risiko ototoksisitas pada pasien. 22 Efek pemberian β-blocker, angiotensin converting enzyme inhibitors (ACEIs), angiotensin receptor blockers (ARBs), calcium channel blockers (CCBs), dan mineralocorticoid receptor antagonis (MRAs) telah banyak diteliti. Dua penelitian metaanalisis menunjukkan bahwa penggunaan obat antihipertensi berkaitan dengan turunnya morbiditas kardiovaskular dan mortalitas pada pasien hemodialisis. Hasil analisa lain adalah penggunaan obat antihipertensi pada pasien hemodialisis dapat memperbaiki disfungsi sistolik yang terjadi. Selain itu, obat-obatan tersebut juga dipercaya mampu menurunkan aktivitas simpatis dan menurunkan kadar kalsium di dalam sel. 21, 2

  3. β-blocker Overaktivitas simpatis yang diukur dengan menggunakan kadar plasma norepinefrin adalah suatu prediktor kuat pada kejadian kardiovaskular dan kematian pada pasien hemodialisis. Penggunaan β-blocker pada pasien yang cenderung mengalami aritmia dan henti jantung akibat adanya overaktivitas simpatis adalah terapi yang bermanfaat. Studi cohort retrospektif oleh United States Renal Data System (USRDS) menunjukkan bahwa penggunaan β-blocker berkaitan dengan menurunnya risiko gagal jantung dan kematian akibat kejadian kardiovaskular. Analisa dari sebuah studi dialysis outcomes and practice patterns study (DOPPS), penggunaan β-blocker berkaitan dengan menurunnya angka henti jantung. Selain itu, pemberian carvedilol 25 mg sebanyak 2 kali perhari dapat memperbaiki fungsi sistolik dan secara signifikan menurunkan penyebab rawat inap dan kematian. Penelitian terbaru oleh hypertension in hemodialysis patients treated with atenolol or lisinopril (HDPAL) yang membandingkan penggunaan lisinopril dan atenolol 3 kali per minggu setelah dialisis pada 200 pasien hipertensi intradialisis menunjukkan adanya perbaikan indeks massa ventrikel kiri selama 12 bulan penelitian. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa atenolol lebih superior dengan insiden rasio 2,29 kali daripada lisinopril dalam pencegahan kejadian serius kardovaskular seperti infark miokard, stroke, gagal jantung. Penelitian oleh Inrig dkk. menunjukkan bahwa penggunaan carvedilol mungkin akan bermanfaat pada pasien hipertensi intradialisis karena berkaitan dengan peningkatan fungsi endothelium-dependent dan penurunan tekanan darah sistolik sebanyak 7 mm Hg pada 44 jam ambulatory.12, 23

  4. ACEIs dan ARBs Penghambat RAS saat ini telah digunakan secara luas di seluruh dunia. Sebagai catatan, penggunaan ACEIs dan ARBs tidak bisa untuk saling menggantikan terutama pada pasien yang telah rutin menjalani dialisis. Hal ini terkait dengan bersihan obat selama proses dialisis. Sebagian besar ARBs tidak dapat hilang dengan hemodialisis menggunakan dialisis yang konvensional, maka, penggunaan ARBs masih dapat dimanfaatkan untuk menurunkan tekanan darah. Penghambat RAS saat ini telah diketahui sebagai lini pertama pengobatan antihipertensi pada pasien dialisis. Data klinis dan observasional menunjukkan bahwa ACEIs dan ARBs dapat memperbaiki disfungsi sistolik pada pasien rutin dialisis, menurunkan risiko kerusakan organ target hipertensi dan menurunkan risiko terjadinya hipertensi intradialisis berulang. Golongan obat penghambat RAS ini juga diketahui memiliki efek menghambat LVH dan mortalitas. Terdapat 2 hasil penelitian di Jepang dengan sampel sebanyak 80 dan 360 orang pasien yang menunjukkan bahwa penggunaan ARBs telah menurunkan risiko kejadian kardiovaskular secara nyata.11,12,23

  5. CCBs Golongan obat CCBs dihydropyridine adalah obat antihipertensi yang efektif menurunkan tekanan darah bahkan pada keadaan volume cairan yang berlebihan. Tepel dkk. dalam penelitiannya pada 251 pasien dengan hipertensi intradialisis yang diberikan amlodipine 5–10 mg dibandingkan pada pasien kontrol dengan plasebo selama 30 bulan menunjukkan amlodipine menurunkan sebanyak 47% risiko kematian sekunder akibat myocardial infarct (MI), stroke, revaskularisasi koroner dan angioplasti pada penyakit vaskular perifer.12 Studi lain juga menunjukkan bahwa CCBs dihydropyridine memiliki efektifitas yang sama dengan ACEIs dan ARBs dalam menurunkan hipertrofi ventrikel kiri dan penebalan tunika media arteri karotis. Sebagai catatan tambahan adalah bahwa semua jenis CCBs tidak akan hilang selama proses dialisis standar dan farmakokinetik obat ini juga tidak berubah pada CKD, maka, pemberian obat ini hanya bisa diberikan 1 kali sehari.12

  6. Mineralocorticoid reseptor antagonist (MRAs) Efek kardioprotektif pada penggunaan MRAs saat ini telah dipahami dengan banyak studi yang telah dilakukan. Salah satu penelitian yang melibatkan sebanyak 253 pasien dialisis atau peritoneal hemodialisis yang tanpa disertai dengan gagal jantung telah menunjukkan bahwa pemberian spironolactone 25 mg per hari menurunkan angka kejadian mortalitas akibat kardioserebrovaskular dibandingkan pada pasien yang hanya diberikan plasebo. Penurunan risiko ini dapat bertambah lebih dari 50% apabila dikaitkan dengan progresivitas LVH.12

Komplikasi

Adanya hipertensi intradialisis yang berulang seharusnya dapat dikenali lebih awal untuk mencegah hipertensi yang terus menerus terjadi selama proses dialisis. Apabila kondisi ini berlangsung terus menerus, maka akan dapat meningkatkan kejadian edema paru, perawatan di rumah sakit yang lebih sering, gangguan kardiovaskular, dan kematian. Oleh karena itu, hipertensi intradialisis dapat menjadi penanda kejadian komplikasi jangka pendek.

Kesimpulan

Hipertensi intradialisis saat ini mulai dikenal sebagai fenomena yang persisten dan berulang pada pasien hemodialisis. Terdapat banyak bukti yang menunjukkan bahwa hipertensi intradialisis berhubungan dengan risiko peningkatan kejadian kardiovaskular. Manajemen terapi pasien hipertensi intradialisis juga meliputi penilaian awal seperti berat kering pasien, modifikasi dialisat natrium, pemberian obat antihipertensi, dan pemantauan secara berkala kondisi hemodinamik dan hasil laboratorium pasien. Perlu dipertimbangkan modalitas lain sebagai pengganti hemodialisis apabila pasien tetap mengalami hipertensi intradialisis yang berulang.


DAFTAR PUSTAKA

  1. Kidney Disease: Improving Global Outcome (KDIGO). KDIGO 2021 Clinical Practice Guideline For The Management of Blood Pressure in Chronic Kidney Disease. Kidney International Supplements. 2021;99(3):1-92.

  2. Hill NR, Fatoba ST, Oke JL, et al. Global Prevalence of Chronic Kidney Disease - A Systematic Review and Meta-Analysis. PLoS One. 2016;11(7):e0158765. doi:10.1371/journal.pone.0158765.

  3. GBD Chronic Kidney Disease Collaboration. Global, regional, and national burden of chronic kidney disease, 1990-2017: a systematic analysis for the Global Burden of Disease Study 2017. Lancet. 2020;395(10225):709-33. doi:10.1016/S0140-6736(20)30045-3.

  4. Webster AC, Nagler EV, Morton RL, Masson P. Chronic Kidney Disease. Lancet. 2017; 389:1238-52. doi: 1016/S0140-6736(16)32064-5.

  5. Situasi Penyakit Ginjal Kronis. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. Jakarta Kemenkes. 2017:1-12.

  6. Jameson JL, Kasper DL, Longo DL, Fauci AS, Hauser SL et al., editors Harrison’s Principle Of Internal Medicine. 20th edition. New York: McGraw Hill. 2018:2111-20.

  7. Bello A, Alrukhaimi MN, Ashutantang G, Basnet S, Correa-Rotter R, Douthat W, et al. Complication of Chronic Kidney Disease: Current States, Knowledge Gap, and Strategy for Action. Kidney International Supplements. 2017;(1):2-32. doi: 11016/j.kisu.2017.07.007.

  8. Saha M, Allon M. Diagnosis, Treatment, and Prevention of Hemodialysis Emergencies. Clinical Journal of The American Society of Nephrology. 2016;12(2):357-69. doi:10.2215/CJN.05260516.

  9. Assimon MM, Wang L, Flythe JE. Intradialytic Hypertension Frequency and Short Term Clinical Outcomes Among Individuals Receiving Maintenance American Journal of Hypertension. 2018;31(3):329-39. doi:10.1093/ajh/hpx186.

  10. Van Buren PN. Redefining the Burden of Intradialytic Hypotension in The Modern Era of Hemodialysis. American Journal of Nephrology. 2019;49(6):494-6. doi:10.1159/000500878.

  11. Georgianos PI, Sarafidis PA, Zoccali C. Intradialysis Hypertension in End-Stage Renal Disease Patients Clinical Epidemiology, Pathogenesis and Treatment. Hypertension. 2015:66(3):456-63. doi:10.1161/HYPERTENSIONAHA.115.05858.

  12. Sarafidis PA, Persu A, Agarwal R, Burnier M, et al.. Hypertension in dialysis patients: a consensus document by the European Renal and Cardiovascular Medicine (EURECA-m) working group of the European Renal Association–European Dialysis and Transplant Association (ERA-EDTA) and the Hypertension and the Kidney working group of the European Society of Hypertension (ESH). J Hypertens. 2017;35(4): 657- doi: 10.1097/HJH.00000000001283.

  13. Feehally J, Floege J, Tonelli M, Johnson RJ. Comprehensive Clinical Nephrology. Sixth Edition. New York Elsevier. 2019. 903-1102.

  14. Van Buren PN, Inrig JK. Mechanism and Treatment of Intradialytic Hypertension. Blood Purification. 2016;41(1-3):188-93. doi:10.1159/000441313.

  15. Kandarini Y, Widiana R, Suwitra K. Association Between Ultrafiltration Volume and Intradialytic Hypertenison in Maintenance Medicina. 2017;48(2):152-6. doi: 10.15562/medi.v48i2.47.

  16. Tomic M, Galesic K, Markota I, Markota NP, Zelenika A. The Influence of Erythropoietin on Levels of Endothelin-1 and Nitric Oxide in Patients on Hemodialysis. Dialysis and Transplantation. 2009;38(11):456-60. doi: 10.1002/dat.20378.

  17. Kowalczyk A, Kleniewsa P, Kolodziejczyk M, Skibsa B, Goraca A. The Role of Endhotelin-1 and Endhotelin Receptor Antagonists in Inflammatory Response and Sepsis. Arch. Immunology Therapy Exp. 2015;63(1):41-52. doi:10.1007/s00005-014-0310-1.

  18. Sebastian S, Filmalter C, Harvey J, Chothia MY. Intradialytic Hypertension During Chronic Kidney Haemodialysis and Subclinical Fluid Overload Assessed By Bioimpedance Spectroscopy. Clinical Kidney Journal. 2016;9(4):636-43. doi:10.1093/ckj/sfw052.

  19. Van Buren PN, Pathophysiology and Implications of Intradialytic Hypertension. Curr Opin Nephrol Hypertens. 2017;26(4):303-10. doi:10.1097/MNH.0000000000000334.

  20. Rubinger D, Backenroth R, Sapoznikov D. Sympathetic Nervous System Function and Disfunction in Chronic Hemodialysis Patients. Seminars in Dialysis. 2013;26(3):333-43. doi:10.1111/sdi.12093.

  21. Bucharles SG, Wallbach KS, Moraes TP, Filho RP. Hypertension in Patients on Dialysis: Diagnosis, Mechanism, and Management. J Bras Nefrol. 2019;41(3):400-11. doi:10.1590/2175-8239-jbn-2018-0155.

  22. Agarwal R, Flynn J, Pogue V, Rahman M, Reisin E, Weir MR. Assessment and Management of Hypertension in Patients on Dialysis. Journal American Society of Nephrology. 2014;25(8):1630-46. doi:10.1681/ASN.2013060601.

  23. Taniyama Y. Management of Hypertension for Patients Undergoing Dialysis Therapy. Biomed Central. Renal Replacement Therapy. 2016;21(2):1-6. doi:10.1186/s41100-016-0034-2.

0 tampilan
bottom of page