top of page

Kasus Morfea Tipe Linier (En Coup de Sabre) pada Wanita Berusia 20 Tahun


Kasus Morfea Tipe Linier (En Coup de Sabre) pada Wanita Berusia 20 Tahun Sumber: Medicinus Vol. 36 ISSUE 2, AUGUST 2023 Achmad Satya Negara, Arie Kusumawardhani Bagian/KSM Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret / RSUD Dr. Moewardi, Surakarta

Abstrak Latar belakang: Morfea merupakan penyakit inflamasi kronis yang ditandai dengan sklerosis pada kulit yang termasuk dalam kelompok penyakit sklerotik idiopatik. Wujud kelainan kulit pada frontoparietal linear morphea berupa plak linier atrofi unilateral pada dahi yang dapat meluas hingga alis, hidung, bibir, dan kulit kepala hingga menyebabkan terjadinya alopesia sikatrik. Tujuan laporan kasus ini adalah memberi gambaran tentang penegakan diagnosis frontoparietal linear morphea. Kasus: Seorang perempuan berusia 20 tahun datang dengan keluhan bercak berwarna coklat kehitaman di dahi. Pemeriksaan histopatologi menunjukkan pada lapisan epidermis tampak gambaran hiperkeratosis tipe basket-weave dan pendataran rete ridge serta sel-sel berpigmen di sel basal dermal-epidermal junction. Dari hasil pemeriksaan fisik dan histopatologi, pasien didiagnosis dengan frontoparietal linear morphea. Pasien diberikan terapi corticosteroid topikal dan sistemik. Diskusi: Morfea merupakan penyakit fibrosis langka pada kulit dan jaringan di bawahnya, di mana dapat terjadi penebalan difus, indurasi, dan atrofi. Pemeriksaan biopsi histopatologi dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis dan menyingkirkan diagnosis banding. Biopsi histopatologi penyakit morfea fase awal dapat menunjukkan adanya inflamasi, dermis terlihat padat dengan serabut kolagen yang menebal disertai sebukan sel radang, terutama limfosit perivaskular di antara serabut kolagen, pendataran rete ridges epidermis, dan atrofi. Terapi topikal dengan corticosteroid sebagai antiinflamasi dapat diberikan pada lesi aktif morfea liner tahap awal. Kata kunci: morfea, idiopatik, frontoparietal linear morphea

Abstract Background: Morphea is a chronic inflammatory disease characterized by sclerosis of the skin which belongs to the group of idiopathic sclerotic diseases. Frontoparietal linear morphea is a unilateral atrophy linear plaque on the forehead that can extend to the eyebrows, nose, lips, and scalps, causing alopecia. The aim of this case report is to establish the diagnosis of frontoparietal linear morphea. Case: A 20-year- old woman presented with a dark brown spot on her forehead. Histopathological examination showed a basket-weave hyperkeratosis and flattening of the rete ridges of epidermal layer, and pigmented cells in the basal cells of the dermal-epidermal junction. Based on the results of physical examination and histopathology, patient was diagnosed with linear morphea en coup de sabre. Patient was treated with topical and systemic corticosteroid. Discussion: Morphea is a rare fibrotic disease of the skin and underlying tissue, characterized with diffuse thickening, induration, or atrophy. Histopathological biopsy examination can be used to confirm the diagnosis and rule out differential diagnosis. Histopathological biopsy of early-phase morphea can show inflammation, the dermis looks dense with thickened collagen fibers accompanied by inflammatory cells, especially perivascular lymphocytes between collagen fibers, flattening of the epidermal rete ridges, and atrophy. Topical therapy with corticosteroid as anti-inflammatory drug can be used in active lesions of early-stage linear morphea. Keywords: morphea, idiopathic, frontoparietal linear morphea

Pendahuluan Morfea atau skleroderma lokalisata merupakan penyakit inflamasi kronis yang ditandai dengan sklerosis pada kulit dan termasuk dalam kelompok penyakit kulit sklerotik idiopatik.1,2 Etiologi morfea sebagian besar adalah idiopatik, namun dapat juga disebabkan oleh trauma, radiasi, infeksi virus seperti varicella zoster virus dan bakteri Borrelia burgdorferi yang merupakan penyebab penyakit Lyme.3,4 Prevalensi morfea di seluruh dunia berkisar antara 0,34-2,7 kasus per 100.000 populasi per tahun.5 Penyakit morfea dapat ditemukan pada seluruh kelompok usia, namun puncak insidensi ditemukan pada kelompok usia 20-40 tahun.4 Morfea lebih sering menyerang perempuan ras Kaukasian dengan rasio perbandingan perempuan dan laki-laki sebesar 2-4:1.6

Morfea dibedakan menjadi beberapa kelompok yaitu morfea generalisata, morfea linier, morfea sirkumskripta, serta variasi jarang lainnya seperti tipe profunda, gutata, dan nodular.7 Morfea linier merupakan tipe morfea yang sering ditemukan pada anak-anak dan remaja, sementara sebagian besar morfea pada dewasa bertipe sirkumsripta dan generalisata.1 Predileksi morfea linier yaitu regio frontalis (frontoparietal linear morphea) dan trunkus.8 Wujud kelainan kulit morfea linier (frontoparietal linear morphea) berupa plak linier atrofi unilateral pada dahi yang dapat meluas hingga alis, hidung, bibir, kulit kepala, serta jaringan otot, lemak, dan tulang di bawahnya, hingga menyebabkan terjadinya alopesia sikatrik, atrofi, kontraktur, dan ankilosis.1,5,6,7

Diagnosis morfea ditegakkan berdasarkan gambaran klinis, pemeriksaan laboratorium, dermoskopi, dan pemeriksaan histopatologi. Pemeriksaan laboratorium dapat membantu menegakkan diagnosis serta melakukan follow-up pada pasien morfea.2,8 Pemeriksaan antinuclear antibody (ANA) dapat menunjukkan peningkatan titer pada 40-80% pasien.7 Pemeriksaan antihistone antibodies (AHA) menunjukkan peningkatan titer 32-39% pada morfea tipe linier.2 Pemeriksaan dermoskopi dapat membantu menegakkan diagnosis morfea pada pasien berkulit gelap, di mana batas plak morfea kurang begitu jelas pada pemeriksaan klinis biasa.9,10 Pemeriksaan histopatologi morfea menunjukkan gambaran yang beragam tergantung pada fase penyakit.2,6

Pemilihan terapi morfea tergantung lokasi, kedalaman, serta perluasan penyakit. Terapi morfea harus diberikan sejak awal sebelum munculnya komplikasi dan dilanjutkan sampai dengan aktivitas penyakit menghilang.8 Corticosteroid topikal poten merupakan terapi yang sering digunakan untuk morfea.2 Alternatif terapi morfea lainnya dapat menggunakan methotrexate, mycophenolate mofetil, dan fototerapi apabila pemberian corticosteroid tidak menunjukkan adanya perubahan. Tingkat kekambuhan morfea berkisar antara 28-44% dalam waktu 16-20 bulan setelah penghentian terapi.6 Komplikasi morfea paling sering meliputi mialgia, arthralgia, dan nyeri otot. Komplikasi neurologi pada morfea linier en coup de sabre (ECDS) dapat berupa kejang, nyeri kepala, neuropati perifer, malformasi vaskular, dan vaskulitis sistem saraf pusat.11 Berdasarkan uraian tersebut tujuan pelaporan kasus ini adalah untuk memahami dan menegakkan diagnosis morfea sehingga dapat tercapai tata laksana kasus yang tepat.

Kasus Pasien I, seorang pelajar berusia 20 tahun yang berdomisili di Premulung, datang ke bagian poliklinik kulit dan kelamin RSUD Dr. Moewardi (RSDM) Surakarta dengan keluhan muncul bercak berwarna coklat kehitaman pada dahi. Berdasarkan hasil autoanamnesis, pasien mengeluh muncul bintik coklat kehitaman pada dahi sejak 10 bulan yang lalu. Bercak tersebut lama kelamaan semakin banyak, melebar, lalu menyatu membentuk garis linier dari kulit kepala sampai ke arah pangkal hidung. Keluhan pasien tersebut tidak disertai dengan rasa gatal, nyeri kepala, maupun pandangan kabur. Delapan bulan kemudian pasien merasa timbul skar di area dahi dan mulai ada kerontokan rambut, pasien memeriksakan diri ke dokter spesialis kulit dan telah diberikan krim racikan, namun belum ada perbaikan. Pasien merasa skar bertambah lebar dan tidak membaik, oleh karena itu pasien berobat ke poliklinik kulit dan kelamin RSDM Surakarta untuk pemeriksaan lebih lanjut.

Hasil anamnesis riwayat penyakit terdahulu, pasien tidak pernah mengalami sakit serupa sebelumnya, tidak memiliki riwayat alergi, kejang, maupun penurunan visus. Riwayat anggota keluarga yang mengalami sakit kulit serupa disangkal. Riwayat mendapatkan trauma, infeksi cacar air, atau campak juga disangkal.

Hasil pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien kesadaran compos mentis dengan berat badan 45 kg, tinggi badan 153 cm, dan status gizi cukup. Tanda vital pasien dalam batas normal. Status dermatologi pada regio frontalis tampak patch hiperpigmentasi dengan batas tegas disertai skar atrofi pada daerah kulit kepala (Gambar 1). Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, diagnosis banding pada pasien ini adalah morfea tipe frontoparietal linear morphea, lentigo simpleks, dan liken sklerosus.

Diagnosis morfea tipe frontoparietal linear morphea ditegakkan dari wujud kelainan kulit di mana pemeriksaan penunjang digunakan untuk menyingkirkan diagnosis banding. Hasil pemeriksaan dermoskopi pada area lesi di dahi didapatkan ‘pigmented network’ dan terdapat titik berwarna biru keabuan yang tersebar di sepanjang lesi (Gambar 2). Pemeriksaan biopsi histopatologi dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis apabila gejala klinisnya kurang khas. Sediaan mikroskopis diambil dari jaringan kulit dahi yang diwarnai dengan hematoxylin dan eosin (HE). Gambaran histopatologi menunjukkan pada lapisan epidermis tampak gambaran hiperkeratosis tipe basket-weave dan pendataran rete ridge, serta sel-sel berpigmen di sel basal dermal-epidermal junction. Pada lapisan dermis tampak adanya fibrosis (Gambar 3). Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium. serta pemeriksaan histopatologi, diagnosis kerja yang ditegakkan adalah morfea tipe frontoparietal linear morphea.

Pasien diterapi menggunakan methylprednisolone 16 mg secara oral sekali sehari, Asthin Force® per oral sekali sehari, dan krim mometasone furoate 0,1 % dua kali sehari selama 3 bulan. Kelainan kulit penderita secara perlahan mulai berkurang hiperpigmentasinya serta tidak ditemukan lesi baru (Gambar 4). Pasien menunjukkan adanya perbaikan pada bulan pertama pengobatan dan dilanjutkan hingga 3 bulan.

Gambar 1. Status lokalis (A-E) Regio frontalis tampak patch hiperpigmentasi dengan batas tegas disertai skar atrofi pada daerah kulit kepala (panah biru).

Gambar 2. Dermoskopi pasien. Pemeriksaan dermoskopi menunjukkan (A) jaringan pigmen berwarna coklat atau coklat kehitaman dengan pola ‘pigmented network’ (kotak hitam), dan (B) terdapat titik berwarna keabuan yang tersebar di sepanjang lesi (panah kuning).

Gambar 3. Pemeriksaan histopatologi dengan pewarnaan hematoxylin & eosin (HE). (A) Pada epidermis tampak ortokeratosis tipe basket-weave (panah hijau) (HE, 10x), (B) Tampak ortokeratosis (panah hijau) dan degenerasi vakuolar sel basal disertai dropping melanin


Pembahasan Morfea merupakan penyakit fibrosis langka pada kulit dan jaringan yang mendasarinya, ditandai dengan adanya penebalan difus, indurasi, dan atrofi.8.12 Insidensi tahunan morfea di Inggris dan Irlandia pada tahun 2005-2007 sebesar 3,4 kasus per 1 juta populasi.13 Morfea lebih sering ditemukan pada perempuan daripada laki-laki.2 Zulian dkk. (2006) melaporkan bahwa pada Januari 2002 hingga Desember 2003 terdapat 750 kasus morfea, di mana 529 kasus (70,5%) terjadi pada perempuan.14 Insidensi morfea linier tipe frontoparietal linear morphea di Semarang pada tahun 2010 didapatkan 1 kasus dari 10 kasus baru skleroderma lokalisata pada serorang wanita berusia 25 tahun. Morfea dapat terjadi pada semua usia, dengan puncak insidensi ditemukan pada usia 20-40 tahun dengan perbandingan antara wanita dan pria adalah 3:1.15 Laporan kasus ini membahas insiden morfea pada perempuan berusia 20 tahun tanpa riwayat serupa sebelumnya maupun riwayat trauma pada daerah dahi.

Etiologi sebagian besar kasus morfea adalah idiopatik. Beberapa faktor pencetus morfea antara lain infeksi, autoimun, radiasi, trauma, dan genetik.4 Infeksi bakteri seperti Borrelia burgdorferi, cytomegalovirus, dan parvovirus B-19 dapat menyebabkan kerusakan vaskular akibat pelepasan berlebih dari cytokine profibrotik seperti transforming growth factor (TGF)-ß, platelet-derived growth factor (PDGF)-α, dan PDGF-ß yang akan merangsang fibroblas.15,16 Morfea juga sering dikaitkan dengan penyakit rheumatoid arthritis, skleroderma, lupus eritematosus sistemik, dan tiroiditis. Riwayat penyakit rematik dan autoimun pada keluarga didapatkan pada 12,1-24,3% kasus morfea.13 Radiasi juga dapat mencetuskan terjadinya morfea, diperkirakan radiasi mengaktifkan fibroblas atau menyebabkan respons isomorfik akibat trauma pada jaringan.3 Kerusakan jaringan yang berasal dari trauma dapat meningkatkan kerusakan yang berkaitan dengan endogenous toll-like receptor ligand sehingga mengaktifkan sinyal bawaan fibroblas yang akan meningkatkan respons fibrinogenik dan memulai fibrogenesis.17 Zulian (2006) melaporkan adanya faktor mekanik lokal yang terjadi mendekati onset terjadinya morfea seperti trauma, gigitan serangga, dan pascavaksinasi pada 10% pasien morfea.14 Penelitian Grabell dkk. (2014) melaporkan 52 orang (16%) dari 329 pasien morfea mengeluhkan adanya trauma kulit atau gesekan pada lesi kulit sebelum morfea terjadi.17 Franco dkk. (2016) melaporkan kasus morfea linier tipe frontoparietal linear morphea pada laki-laki sejak berusia 8 tahun tanpa adanya kelainan neurologi maupun oftalmik, serta menyangkal adanya riwayat infeksi dan trauma.18 Pasien pada kasus ini menyangkal adanya infeksi seperti cacar air, trauma, penyakit autoimun, paparan radiasi, dan riwayat keluarga sebelumnya. Pasien tidak pernah mengeluhkan adanya ruam kemerahan pada daerah wajah terutama pipi, keluhan kaku, dan nyeri pada persendian, kaku tubuh di pagi hari lebih dari 30 menit, sesak napas, dan penyakit jantung, sehingga tidak ada catatan yang mengarah pada diagnosis penyakit lupus eritematosus sistemik ataupun rheumatoid arhtritis. Penyebab morfea pada pasien ini mengarah pada faktor idiopatik.

Etiopatogenesis morfea belum begitu diketahui secara pasti. Proses sklerosis kulit pada morfea terdiri atas tiga tahapan, yaitu lesi mikrovaskular primer, pengendalian fungsi fibroblas oleh sel T CD4+ yang melepaskan interleukin (IL-4) dan transforming growth factor β (TGF-β), serta pelepasan kolagen oleh fibroblas.2,8 Infeksi, hipoksia, trauma, radiasi, reactive oxygen species, dan autoantibodi sel antiendotelial berperan pada pembentukan ulang (remodeling) jaringan. Tahapan remodeling tersebut antara lain: (1) aktivasi limfosit T, limfosit B, dan sel mononuclear; (2) sekresi mediator proinflamasi dan growth factor; dan (3) apoptosis sel endotel beserta fibroblas.19 Faktor pemicu morfea mengaktifkan ekspresi cytokine IL-4; IL-5; dan TGF-β yang akan mengaktifkan fibroblas serta meningkatkan sintesis kolagen. Transformasi cluster of differentiation (CD) 34+ fibrosit menjadi CD34- miofibroblast yang diinduksi oleh TGF-β menyebabkan penebalan dan sklerosis pada jaringan pengikat.13,20 Faktor genetik dan lingkungan diperkirakan dapat menyebabkan kerusakan sel endotel yang mengarah pada peningkatan regulasi molekul adhesi sel seperti vascular cell adhesion molecule (VCAM)-1, intercellular adhesion molecule (ICAM), dan e-selectin, serta chemokine yang mengaktifkan sel T-helper (Th). Sel Th1, Th2; dan Th17 akan melepaskan IL-1, IL-2, IL-4, IL-6, IL-8, IL-12, IL-13, IL-17, tumor necrosis factor (TNF)-α, interferon (IFN)-α; dan IFN-γ yang menyebabkan inflamasi serta aktivasi fibroblas dan miofibroblas, yang mengarah pada fibrosis.3

Pada kasus ini masih belum jelas patogenesisnya, secara idiopatik belum diketahui faktor mana yang berperan dalam terjadinya kasus morfea. Penyakit morfea dapat dibedakan menjadi morfea sirkumskripta, morfea linier, serta morfea generalisata yang terbagi lagi menjadi tipe plak koalesen, pansklerotik, dan campuran.1 Jenis morfea yang paling banyak ditemukan pada masa anak-anak dan dewasa muda adalah morfea linier, yaitu sekitar 40-70% dari seluruh kasus.7 Morfea linier yang menyerang wajah dan kulit kepala dapat dibedakan menjadi dua yaitu frontoparietal linear morphea dan sindroma Parry-Romberg. Frontoparietal linear morphea adalah variasi lokal dari skleroderma berupa indurasi linier pada dahi dan/atau kulit kepala unilateral pada garis paramedian. Sindroma Parry-Romberg atau atrofi hemifasial progresif merupakan bentuk morfea linier yang parah dan ditandai dengan hilangnya jaringan pada salah satu bagian wajah.7,13 Morfea linier sering mengikuti garis Blaschko berupa alur atrofi linier yang tampak pada daerah frontoparietal dengan hiper- atau hipopigmentasi.5,17

Gejala morfea umumnya asimtomatik, terkadang gatal, dan jarang terasa nyeri.3 Lesi awal morfea berupa area kemerahan pada kulit yang kemudian menebal, mengalami dispigmentasi, dan atrofi. Tanda atrofi kulit pada morfea meliputi kulit menjadi lebih bersinar atau halus, vena yang terlihat, dan hilangnya folikel rambut.21 Sklerosis progresif pada morfea dapat menyebabkan skar alopesia.22 Lesi morfea linier dapat meluas hingga pipi, hidung, atau bibir atas berupa pigmentasi linier.5 Morfea linier dapat melibatkan dermis, jaringan subkutaneus, otot, serta tulang di bawahnya, menyebabkan gangguan fungsional serta kosmetik.1 Louis dkk. (2018) melaporkan kasus morfea linier tipe frontoparietal linear morphea pada perempuan 26 tahun dengan keluhan perubahan kulit kepala dan alopesia progresif yang melibatkan kulit kepala regio frontal paramedian.23 Corralo dan Tosti (2018) melaporkan dua kasus morfea disertai kerontokan rambut progresif pada kulit kepala.22 Pada kasus ini pasien mengeluh adanya bercak berwarna coklat kehitaman pada dahi yang menyatu membentuk garis linier dari kulit kepala dan meluas sampai ke arah pangkal hidung, disertai rasa gatal serta adanya kerontokan rambut yang membuat pasien merasa terganggu secara kosmetik. Pemeriksaan fisik regio frontalis tampak patch hiperpigmentasi dengan batas tegas disertai skar atrofi. Pada daerah kulit kepala tidak didapatkan atrofi.

Pemeriksaan laboratorium tergolong pemeriksaan yang tidak rutin dilakukan untuk menegakkan diagnosis karena tidak terdapat hasil spesifik yang mengarah pada morfea.24 Peningkatan jumlah sel darah putih dapat ditemukan pada 37,5% pasien morfea dan terjadi peningkatan sedimentasi eritrosit pada 25% pasien.13 Penegakan diagnosis morfea hanya dilakukan melalui anamnesis dan gambaran ujud kelainan kulit lesi. Gambaran histopatologi morfea dapat menunjukkan berbagai variasi tergantung pada tahap penyakit dan lokasi biopsi.4 Tahap awal penyakit morfea dapat menunjukkan adanya inflamasi, dermis terlihat padat dengan serabut kolagen yang menebal disertai sebukan sel radang, terutama limfosit perivaskular di antara serabut kolagen, pendataran rete ridges epidermis, dan atrofi.17,25 Pada tahap lanjut, sel radang hampir sepenuhnya menghilang kecuali di daerah subkutaneus, atrofi pada epidermis dan adneksa kulit, serta fibrosis dan sclerosis pada jaringan subkutaneus.17 Pada pasien ini tampak gambaran lapisan epidermis hiperkeratosis tipe basket-weave dan pendataran rete ridge, serta sel-sel berpigmen di sel basal dermal-epidermal junction. Pada lapisan dermis tampak adanya fibrosis. Hasil pemeriksaan histopatologi pada pasien ini sesuai dengan gambaran histopatologi morfea tahap awal.

Kasus ini didiagnosis banding dengan lentigo simpleks dan liken sklerosus. Lentigo simpleks merupakan lesi melanositik berwarna coklat yang dianggap sebagai prekursor nevus melanositik.26 Lentigo simpleks dapat ditemukan saat lahir maupun berkembang saat masa kanak- kanak atau dewasa.24 Wujud kelainan kulit pada lentigo simpleks berupa makula berwarna coklat muda atau coklat kehitaman berbentuk oval, berdiameter 3-5 mm, yang dapat ditemukan di seluruh tubuh, tidak ditemukan lesi yang berbentuk linier serta atrofi pada kulit.26 Distribusi lentigo simpleks dapat unilateral, parsial, atau segmental maupun generalisata. Lentigo simpleks berhubungan dengan sejumlah kelainan seperti lentigines, kelainan konduksi elektrokardiografi, hipertelorisme okuler, stenosis katup pulmonal, kelainan genitalia, retardasi mental, dan tuli (sindrom LEOPARD), sindrom Carney, sindrom Peutz-Jeghers, dan sindrom Laugier- Hunziker.24 Munculnya lesi berwarna coklat kehitaman yang makin melebar, dengan tidak adanya riwayat trauma pada jaringan kulit sebelumnya mengarahkan diagnosis banding lentigo simpleks pada pasien ini.

Liken sklerosus merupakan penyakit inflamasi pada dermis superfisial atau submukosa yang menyebabkan atrofi seperti skar berwarna putih gading.7 Etiologi liken sklerosus diperkirakan berkaitan dengan penyakit autoimun, di mana ditemukan adanya antibodi spesifik yang menargetkan matriks protein-1 (M-1) ektraseluler.27 Liken sklerosus sering ditemukan pada daerah kelamin berupa gambaran “hour-glass”, namun dapat pula ditemukan pada area tubuh lain. Lesi pada area wajah dapat ditemukan dengan makula, papula, atau plak berwarna putih porselen atau ivory. Pada sebagian besar pasien kondisi ini relatif asimtomatik dengan sedikit gejala klinis berupa rasa gatal atau rasa terbakar.28 Lesi awal liken sklerosus di luar area genital berupa lesi tunggal poligonal, berwarna keputihan, mengkilat, sedikit meninggi, dan terdapat papul interfolikuler.

Pemeriksaan dermoskopi lentigo menunjukkan jaringan berwarna coklat kehitaman, hiperplasia melanositik basiler, serta peningkatan pigmentasi pada epidermis dan melanofag, sedangkan pemeriksaan dermoskopi liken sklerosus menunjukkan bercak putih terang/putih kekuningan dan sumbat folikel keratotik putih kekuningan.7,24,26 Pasien pada kasus ini menunjukkan gambaran dermoskopi pigmen berwarna coklat atau coklat kehitaman dengan pola ‘pigmented network’ dan terdapat titik berwarna keabuan yang tersebar di sepanjang lesi, menunjukkan adanya jaringan fibrosis pada morfea.10

Lentigo simpleks secara histopatologi ditandai dengan hiperpigmentasi keratinosit basilar dan peningkatan kepadatan unit melanosit di epidermal-dermal junction. Histopatologi liken sklerosus menunjukkan penebalan epidermis dengan ortohiperkeratosis dan degenerasi vakuolar pada lapisan basal. Perbedaan histopatologi liken sklerosus dengan morfea yaitu pada liken sklerosus ditemukan adanya penurunan serabut elastis dan pada fase awal dapat ditemukan infiltrat inflamasi pada zona hialinisasi yang terdiri atas limfosit, makrofag, dan sel mast.7 Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, histopatologi, dan dermoskopi pada pasien ini diagnosis lentigo simpleks dan liken sklerosus dapat disingkirkan.

Berbagai pilihan terapi yang tersedia untuk morfea meliputi corticosteroid topikal, calcipotriol topikal, calcitriol oral, tacrolimus topikal, corticosteroid sistemik, methotrexate, mycophenolate mofetil, cyclosporine, dan fototerapi.13 Pilihan terapi yang paling banyak digunakan dalam morfea adalah methotrexate dan corticosteroid.5 Terapi topikal dengan corticosteroid sebagai antiinflamasi dapat diberikan pada lesi aktif morfea linier tahap awal.17,29 Corticosteroid topikal poten sehari sekali selama 4 minggu merupakan terapi lini pertama yang direkomendasikan pada kasus morfea superfisial.2 Corticosteroid sistemik berupa methylprednisolone atau prednisone 1-2 mg/kg/hari dapat diberikan untuk morfea linier.7 Methotrexate direkomendasikan pada pasien morfea yang berat serta pasien dengan imunosupresi.3 Pasien kami terapi menggunakan methylprednisolone 16 mg secara oral sekali sehari, Asthin Force® secara oral sekali sehari, dan krim mometasone furoate 0,1 % dua kali sehari selama 3 bulan. Corticosteroid yang diberikan bertujuan untuk menghambat bertambahnya progresi penyakit. Asthin Force® digunakan untuk mencegah penumpukan mediator inflamasi akibat radikal bebas pada daerah lesi.30 Penekanan berbagai faktor inflamasi dan aktivitas imunitas yang berlebihan serta tidak diperlukan akan berangsur mengurangi inflamasi yang dialami pasien sehingga diharapkan mampu mencapai perbaikan kelainan kulit.

Gambar 4. Regio frontalis tampak patch hiperpigmentasi dengan batas tegas disertai skar atrofi pada daerah kulit kepala, (C-D) Kondisi pasien setelah 3 bulan


Komplikasi morfea linier yang sering terjadi adalah kerusakan pada jaringan otot dan tulang yang mendasarinya sehingga dapat menyebabkan disabilitas dan kecacatan.3 Komplikasi neurologi seperti kejang, nyeri kepala, neuropati perifer, malformasi vaskular dan vaskulitis, serta komplikasi mata meliputi sklerosis struktur adneksa dan uveitis anterior, dapat terjadi pada frontoparietal linear morphea.11 Prognosis morfea tergolong cukup baik, namun diperkirakan 30% pasien morfea mengalami kekambuhan apabila terapi tidak adekuat.8 Hasil follow-up pada pasien setelah 3 bulan menunjukkan perbaikan kelainan kulit berupa mulai berkurangnya hiperpigmentasi serta tidak ditemukan lesi baru.

Ringkasan Seorang perempuan berusia 20 tahun, datang ke bagian Poliklinik Kulit dan Kelamin RSDM Surakarta dengan keluhan bercak berwarna coklat kehitaman pada dahi. Berdasarkan hasil autoanamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan histopatologi, pasien didiagnosis dengan morfea linier tipe frontoparietal linear morphea. Pasien mendapatkan pengobatan dengan methylprednisolone 16 mg secara oral sekali sehari, Asthin Force® satu kali sehari, dan krim mometasone furoate 0,1 % dua kali sehari selama 3 bulan. Tiga bulan setelah mendapatkan terapi, hiperpigmentasi mulai berkurang dan tidak ditemukan adanya lesi baru.

DAFTAR PUSTAKA

  1. Cyrus N dan Jacobe HT. Morphea and lichken sclerosus. Dalam: Kang S, Amagai M, Bruckner AL, Enk AH, Margolis DJ, McMichael AJ, Orringer JS, penyunting. Fitzpatrick’s Dermatology. Edisi ke-9. United States: McGraw-Hill; 2019.h.1106-16.

  2. Mertens JS, Seyger MMB, Thurlings RM Radstake TRDJ, de Jong EMGJ. Morphea and eosinophilic fasciitis: an update. Am J Clin Dermatol. 2017;18(1):491-512.

  3. Fett N. Scleroderma: nomenclature, etiology, pathogenesis, prognosis and treatments: facts and controversies. Clin in Dermatol. 2013;31(1):432-7.

  4. Sehgal VN, Srivastava G, Aggarwal AK, Behl PN, Choudhary M, Bajaj P. Localized scleroderma / morphea. Int J Dermatol. 2002;41(8):467-75.

  5. Marsol IB. Update on the classification and treatment of localized scleroderma. Actas Dermosifiliogr. 2013;104(8):654-66.

  6. Careta MF dan Romiti R. Localized scleroderma: clinical spectrum and therapeutic update. An Bras Dermatol. 2015;90(1):62-73.

  7. Rocken M dan Ghoreschi K. Morphea and liken sclerosus. Dalam: Bolognia JL, Jorizzo JL, Schaffer JV, penyunting. Dermatology. Edisi ke-3. USA: Elsevier; 2012.h.657-70.

  8. Salgado PR dan Romero MTG. Morphea: a practical review of its diagnosis, classification and treatment. Gac Med Mex. 2019;155(5):483-91.

  9. Bhat YJ, Akhtar S, Hassan I. Dermoscopy of morphea. Indian Dermatol Online J. 2019;10(1):92-3.

  10. Wang YK, Hao JC, Liu J, Liu YH, Jin HZ. Dermoscopic features of morphea and extragenital liken sclerosus in Chinese patients. Chinese Med J. 2020;133(17):2109-11.

  11. Browning JC. Pediatric morphea. Dermatol Clin. 2013;31(2):229-37.

  12. Fett N dan Werth VP. Update on morphea: epidemiology, clinical presentation and pathogenesis. J Am Acad Dermatol. 2011;64(2):217-28.

  13. Aranegui B dan Reyes JJ. Morphea in childhood: an update. Actas Dermosifiliogr. 2018;109(4):312-22.

  14. Zulian F, Athreya BH, Laxer R, Nelson AM, Oliveira SKF, Punaro MG, Cuttica R, dkk. Juvenile localized scleroderma: clinical and epidemiological features in 750 children: an international study. Rheumatology. 2006;45(1):614-20.

  15. Tjahyono E, Suhartono, Budiastuti A, Himbawani M. Frontoparietal linear morphea. Berkala IKKK. 2011;23(1):80-3.

  16. Valinotti JCS, Tollefson MM, Reed AM. Updates on morphea: role of vascular injury and advances in treatment. Autoimmune Dis. 2013;46(7):1-8.

  17. Grabell D, Hsieh C, Andrew R, Martires K, Kim A, Vasquez R, dll. The role of skin trauma in the distribution of morphea lesions: a cross-sectional survey of the morphea in adults and children cohort IV. J Am Acad Dermatol. 2014;71(3):493-8.

  18. Franco JPA, Serra MS, Lima RB, D’Acri AM, Martins CJ. Scleroderma frontoparietal linear morphea treated with polymethylmethacrylate - case report. An Bras Dermatol. 2016;91(2):209-11.

  19. Leitenberger JJ, Cayce RL, Haley RW, Huet BA, Bergstresser PR, Jacobe HT. Distinct autoimmune syndromes in morphea. Arch Dermatol. 2009;145(5):545-50.

  20. Parti R, Regitnig P, Tauber G, Potscher M, Radisic VB, Kapp KS. Radiation-induced morphea: a rare but severe late effect of adjuvant breast irradiation. Strahlenther Onkol. 2018;194(11): 1060-5.

  21. Suzanne C. Scleroderma in children and adolescent: localized scleroderma and systemic sclerosis. Pediatr Clin N Am. 2018;65(1):757-81.

  22. Louis MP, Sperling LC, Wilke MS, Hordinsky MK. Distinctive histopathologic findings in linear morphea (frontoparietal linear morphea) alopecia. J Cutan Pathol. 2013;40(1):580-4.

  23. Corralo DS dan Tosti A. Trichoscopic features of linear morphea on the scalp. Skin Appendage Disord. 2018;4(1):31-3.

  24. Cuda JD, Moore RF, Busam KJ. Melanocytic nevi. Dalam: Kang S, Amagai M, Bruckner AL, Enk AH, Margolis DJ, McMichael AJ, Orringer JS, penyunting. Fitzpatrick’s Dermatology. Edisi ke-9. United States: McGraw-Hill; 2019. h.1967-9.

  25. Vasquez R, Sendejo C, Jacobe H. Morphea and other localized forms of scleroderma. Curr Opin Rheumatol. 2012;24(6):685-93.

  26. Carli P dan Salvini C. Lentigines including lentigo simplex, reticulated lentigo and actinic lentigo. Dalam: Soyer HP, Argenziano G, Wellenhof RH, Johr RH, penyunting. Color Atlas of Melanocytic Lesions of the Skin. Berlin: Springer; 2007.h.290-4.

  27. Kreuter A, Wischenwski J, Terras S, Altmeyer P, Stucker M, Gambichler T. Coexistence of liken sclerosus and morphea: a retrospective analysis of 472 patients with localized scleroderma from a German tertiary referral center. J Am Acad Dermatol. 2012;67(6):1157-62.

  28. Pope E dan Laxer RM. Diagnosis and management of morphea and liken sclerosus and atrophicus in children. Pediatr Clin North Am. 2014;61(2):309-19.

  29. Wardhana dan Datau EA. A patient with plaque type morphea mimicking systemic lupus erythematosus. Acta Medica Ind. 2015;47(2):146-52.

  30. Owczarczyk-Saczonek A, Kasprowicz-Furmańczyk M, Kruszewska A, Krajewska- Włodarczyk M, Bechtold A, Klimek P & Placek W. The Correction of Facial Morphea Lesions by Hyaluronic Acid: A Case Series and Literature Review. Dermatol Ther (Heidelb). 2020;10:1423–34.

bottom of page