top of page

Modalitas Terapi Striae


Modalitas Terapi Striae Sumber: Medicinus Vol. 36 ISSUE 2, AUGUST 2023 Ambar Aliwardani, Putti Fatiharani Dewi, Fiska Rosita, Indah Julianto Bagian/KSM Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret / RSUD Dr. Moewardi, Surakarta

Abstrak Striae atau strechmark merupakan lesi kulit jinak berupa guratan peradangan paralel tegak lurus dengan arah ketegangan kulit yang memiliki morbiditas kosmetik dan dapat meningkatkan risiko infeksi sekunder pada kasus yang berat. Berbagai modalitas terapi telah diperkenalkan seperti terapi topikal, terapi fisik menggunakan alat, laser, dan yang terbaru berupa terapi seluler menggunakan platelet-rich plasma. Berbagai pilihan modalitas terapi dilaporkan memberikan hasil yang bervariasi. Kata kunci: striae, strechmark, retinoid, laser, platelet-rich plasma

Abstract Striae or strechmark is a form of benign skin lesion manifested as inflammatory streaks perpendicular to the direction of skin tension which has cosmetic morbidity and possesses risk of secondary infection in severe case. Various therapeutic modalities have been introduced, such as topical therapy, physical therapy using devices, lasers, and the latest is celullar therapy using platelet-rich plasma. Such varied treatment modalities are reported to have varied results. Keywords: striae, strechmark, retinoid, laser, platelet-rich plasma

Pendahuluan Striae atau strechmark adalah lesi kulit jinak akibat gangguan pada jaringan ikat dermis yaitu serabut elastik dan kolagen. Prevalensi striae bervariasi antara 11-88% pada semua kelompok usia. Berdasarkan jenis kelamin, striae dua kali lebih banyak terjadi pada wanita dibandingkan pria. Prevalensi pada ibu hamil sebesar 43-88%, wanita dewasa tidak hamil sebesar 35%, remaja wanita 77%, remaja pria 6-68%; dan pria dewasa sebesar 11%.1,2 Striae memiliki etiologi multifaktorial, dan dihubungkan dengan tingkat pigmentasi kulit, tipe kulit Fitzpatrick V-VI, etnis tertentu, serta riwayat keluarga.2,3

Proses terjadinya striae melewati dua fase yaitu fase inflamasi awal (striae rubra) dan fase lanjut (striae alba). Striae umumnya berkembang pada awal masa remaja atau pada masa kehamilan serta pada kondisi medis seperti sindrom Cushing, sindrom Marfan, penggunaan steroid topikal jangka panjang, dan perubahan tubuh.1,2

Striae umumnya dikeluhkan karena mengganggu penampilan dan dapat menyebabkan infeksi sekunder. Beberapa modalitas terapi striae telah diperkenalkan, mulai dari terapi topikal, terapi fisik, laser, dan yang terbaru berupa terapi seluler menggunakan platelet rich plasma (PRP). Berbagai pilihan modalitas terapi dilaporkan memberikan hasil yang bervariasi.2,4

Anatomi Kulit Struktur kulit manusia terdiri dari tiga lapisan utama, dari yang paling superfisial yaitu epidermis, dermis, dan hipodermis. Lapisan dermis tersusun oleh jaringan ikat padat yang terbentuk oleh kumpulan serabut kolagen dan elastik. Tipe kolagen terbanyak yang ditemui pada dermis adalah kolagen tipe I dan III. Serabut elastik dibentuk dari elastin dan mikrofibril fibrilin. Elastin memiliki susunan yang berbeda dengan kolagen yang memungkinkan kulit untuk meregang, mengerut, dan bergeser antarlapisan kulit.5 Patogenesis striae terjadi di lapisan dermis, di mana lapisan ini mengalami atrofi akibat putusnya jaringan ikat padat sehingga terbentuk formasi skar (Gambar 1).2,6,7

Gambar 1. (A) Kulit normal: tampak susunan serabut kolagen dan elastin dermis. (B) Kulit striae: tampak serabut kolagen dan elastin pada lapisan dermis yang terputus sehingga menyebabkan formasi atrofi pada permukaan kulit.7

Etiologi Etiologi pasti dari striae masih menjadi perdebatan karena keragaman kondisi klinis pada proses pembentukannya.12 Striae dapat muncul pada beragam kondisi seperti predisposisi genetik (umumnya defek jaringan ikat contohnya sindrom Marfan), masa pubertas, perubahan habitus tubuh (misalnya perubahan berat badan yang cepat, latihan beban, obesitas), kehamilan, obat-obatan seperti penggunaan steroid topikal, terapi human immunodeficiency virus (HIV), kemoterapi, terapi tuberkulosis, kontrasepsi, neuroleptik, kondisi medis (anoreksia nervosa, demam tifoid, demam rematik, penyakit hati kronis, hormon adrenokortikal berlebih pada sindrom Cushing), prosedur bedah (mammoplasty, transplantasi organ, bedah jantung, jahitan dengan tegangan kuat), dan idiopatik. 1,4,8

Patofisiologi Patofisiologi striae meliputi faktor genetik, mekanik, dan hormonal.1,2,8 Striae berhubungan secara genetik dengan etnis dan riwayat keluarga. Derajat keparahan striae wanita ras Kaukasia dilaporkan memiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan ras Afrika; tipe kulit Fitzpatrick V-VI lebih berisiko dan cenderung mengalami striae gravidarum yang lebih berat; sedangkan etnis India dan Malaysia lebih berisiko mengalami striae dibanding etnis Tionghoa.3,8 Alasan yang mendasari kerentanan kulit yang lebih gelap untuk mengalami striae masih belum diketahui dengan jelas. Individu dengan striae dilaporkan memiliki riwayat keluarga dengan kondisi kulit yang serupa. Riwayat pada orang tua dan saudara kandung secara signifikan meningkatkan risiko terjadinya striae.9

Faktor genetik seperti sindrom Ehlers-Danlos, sindrom Marfan, serta displasia ektodermal dilaporkan memiliki hubungan dengan terbentuknya striae. Pada striae yang terkait gen terdapat perubahan genetik yang mengode kolagen, elastin, dan fibrilin. Sindrom Marfan adalah suatu kumpulan gejala yang disebabkan oleh gangguan pada jaringan ikat sistemik. Gangguan tersebut disebabkan oleh adanya mutasi pada gen fibrilin (FBN)-1 yang terletak pada kromosom 15 di mana fibrilin-1 adalah salah satu komponen mikrofibril yang berperan dalam kekuatan dan fleksibilitas jaringan ikat. Gangguan pada sintesis FBN-1 menyebabkan pemecahan dan ketidakteraturan serabut elastis sehingga terbentuk striae.8,10

Striae dapat terbentuk akibat pengaruh mekanik. Daya regang mekanik menyebabkan pemecahan dan kerusakan serabut kolagen dan elastik serta reaksi inflamasi sehingga terbentuk striae. Kakeksia dan penyebab lain dari penurunan berat badan yang drastis adalah dua contoh kondisi di mana terjadi penurunan komponen dermal yang akan memengaruhi kemampuan peregangan kulit sehingga terbentuk striae. Peningkatan berat badan akan menyebabkan penebalan jaringan subkutan sehingga terjadi peregangan kulit yang berlebihan dan berperan terhadap terbentuknya striae.8

Faktor hormonal dan biokimia pada striae sebagian besar berhubungan dengan kehamilan, pubertas, dan penggunaan corticosteroid.2 Striae pada kehamilan disebut dengan striae gravidarum. Striae gravidarum sering terjadi pada perut, payudara, dan paha, di mana merupakan area yang paling banyak mengalami peregangan kulit. Hormon estrogen, relaksin, dan adrenokortikal mengurangi ikatan antarserabut kolagen sehingga menyebabkan pembentukan striae di area peregangan. Studi menyebutkan bahwa hormon relaksin dan estrogen serta hormon kortisol yang meningkat selama kehamilan menyebabkan akumulasi mukopolisakarida yang meningkatkan absorpsi air oleh jaringan ikat sehingga akan mudah terbelah apabila terdapat stres mekanik. Hal tersebut terjadi karena absorpsi air yang terlalu banyak mengurangi kohesi antarserabut jaringan ikat.8,11

Sindrom Cushing disebabkan terutama karena obat-obatan steroid. Efek katabolik hormon adrenokortikotropik dan kortisol memodulasi aktivitas fibroblas dan menyebabkan penurunan sekresi mukopolisakarida, perubahan serabut elastis, dan penurunan jumlah kolagen matriks dermis. Peningkatan kadar kortisol mengaktifkan transkripsi dan translasi protein enzim yang bertugas memberikan efek katabolisme protein sehingga menurunkan jumlah kolagen akibat adanya modulasi aktivitas fibroblas, yang akhirnya menyebabkan penurunan elastisitas kulit yang menjadi dasar terbentuknya striae.8

Ketidakseimbangan glukokortikoid karena penggunaan corticosteroid juga relevan dengan pembentukan striae. Penggunaan steroid topikal menghasilkan respons katabolik fibroblas menurunkan elastin dan kolagen. Pemberian topikal steroid poten pada kulit juga terbukti menurunkan kadar mukopolisakarida. Penggunaan steroid intravena dapat menyebabkan striae dengan mekanisme yang serupa dengan penggunaan topikal.1,2,12

Gambaran Klinis Striae mengalami perkembangan melalui tiga tahap yang berbeda, yaitu tahap akut yang ditandai dengan striae rubra dan sedikit hipertropik, tahap subakut yang ditandai dengan striae purpura, serta dilanjutkan dengan tahap kronis yang ditandai dengan hipopigmentasi (alba) dan striae atrophican (Gambar 2). Striae rubra adalah daerah kulit rata dengan warna merah jambu yang terasa gatal dan sedikit terangkat. Pada perjalanan klinisnya, striae akan cenderung bertambah panjang dan berwarna ungu lebih gelap, kemudian berkembang menjadi striae alba yang tampak putih, datar, dan cekung. Striae tidak memiliki folikel rambut, struktur adneksa, dan undulasi dermal yang normal.12,13

Gambar 2. (A) Striae atrophican. (B) Striae distensae. (C) Striae gravidarum. (D) Striae rubra. (E) Striae alba. (F) Striae caerulae.14


Striae muncul dengan arah perpendicular atau tegak lurus dengan arah tegangan kulit. Striae umumnya akan semakin menghilang seiring berjalannya waktu. Lokasi predileksi striae bervariasi tergantung pada kondisi tertentu (Gambar 3). Pada ibu hamil, striae lebih sering muncul di area abdomen, payudara, dan paha. Pada remaja putri predileksinya adalah di area paha, bokong, dan payudara, sedangkan pada remaja putra sering muncul di bagian punggung.12

Gambar 3. Distribusi anatomis striae distensae. Area yang terkena terutama pada regio mammae, aksila, abdomen, gluteus, femoral, kruris, dan patellar.12

Diagnosis Tahapan diagnosis striae dimulai dengan menganalisis riwayat perjalanan klinis, faktor risiko, dan menilai gambaran klinis melalui pemeriksaan fisik. Penegakan diagnosis dapat dibantu dengan pemeriksaan penunjang berupa dermoskopi dan pemeriksaan histopatologi.

  • Dermoskopi Striae dapat diidentifikasi dengan jelas melalui pemeriksaan dermoskopi. Pada pemeriksaan dermoskopi, striae menunjukkan perubahan melanositik jaringan yang disebabkan karena gaya geser atau peregangan sehingga menyebabkan pecahnya melanosit dan apoptosis.12 Metode pemeriksaan dermoskopi menunjukkan pola jaringan melanin yang berbeda pada kulit yang tampak normal dan striae. Pola-pola ini sangat bergantung pada tipologi kulit. Kulit normal dari subjek yang kulitnya lebih gelap menunjukkan gambaran sarang lebah (honeycomb) yang menonjol dan berpola sama, yang terdiri dari garis-garis tipis dan coklat yang membatasi daerah-daerah poligonal yang berwarna lebih terang. Gambaran dermoskopi pada striae diidentifikasi dan diklasifikasikan sebagai striae alba (putih), striae rubra (merah), striae cerulae (biru), dan striae nigra (hitam). Striae alba menunjukkan gambaran berkabut putih dengan struktur diskret dan sedikit pembuluh darah dermal. Striae rubra akan memberikan gambaran garis-garis dilatasi pembuluh darah yang melebar pada sudut 90° ke arah lesi. Striae cerulae menunjukkan garis melintang berwarna kebiruan. Striae nigra menunjukkan gambaran melanotik yang jelas dan masih berhubungan dengan jaringan melanotik honeycomb pada struktur kulit normal (Gambar 4).12,15

  • Histopatologi Pemeriksaan histopatologi pada striae dapat dilakukan melalui biopsi kulit. Striae menunjukkan kelainan pada tiga komponen inti yang berkaitan dengan kekuatan tarikan dan elastisitas kulit, yaitu kolagen, elastin, serta fibrillin, termasuk juga perubahan dalam degranulasi sel mast serta makrofag di sekitar serabut elastis di pertengahan dermal, yang mengakibatkan elastolisis.13 Histologi kulit normal menunjukkan proyeksi epidermal (rete ridges) yang jelas terlihat. Serabut kolagen dan elastin tersusun secara acak dan tipis pada papila dermis, sementara kumpulan kolagen tebal mendominasi retikuler dermis. Pada striae rubra, serabut elastis tipis mendominasi dengan perubahan struktural pada kolagen serta terdapat edema dermal dan peningkatan aktivitas mikrovaskular sehingga muncul eritema. Pada striae alba terdapat atrofi epidermis dengan hilangnya rete ridges, serabut kolagen padat dan serabut elastis yang tersusun pararel terhadap epidermal junction, serta penurunan mikrovaskular yang menyebabkan warna pucat (Gambar 5).13

Gambar 4. Gambaran dermoskopi striae. (A) Striae nigra: tampak pola melanotik pada striae yang merupakan lanjutan kumpulan melanotik kulit normal di sebelahnya. (B) Striae alba: tampak gambaran perkabutan putih diskret. (C) Striae rubra: tampak pelebaran pembuluh darah tegak lurus dengan aksis striae. (D) Striae caerulae tampak striae berwarna kebiruan.15

Gambar 5. Gambaran histopatologi dengan pengecatan hematoxylin & eosin. (a) Kulit normal: tampak kumpulan serabut kolagen dan elastin bertambah tebal secara bertahap mengarah ke area dermis yang lebih dalam. (b) Striae rubra: pada lapisan dermis tampak limfosit perivaskular dan terdapat peningkatan glikosaminoglikan (c) Striae alba: tampak serabut kolagen teregang, tersusun sejajar dengan dermoepidermal junction, dan terdapat sedikit infiltrasi limfosit.13


Modalitas terapi Terapi pada striae bertujuan untuk meningkatkan produksi kolagen kulit dan aktivitas fibroblas dengan memperbaiki kekuatan jaringan, mengurangi vaskularisasi lesi terutama striae rubra, meningkatkan pigmentasi pada striae alba, memperbaiki proliferasi sel, perfusi darah, efek antiinflamasi, dan meningkatkan hidrasi kulit.2 Modalitas terapi striae bervariasi dalam hal jenis dan tingkat keberhasilannya. Modalitas terapi tersebut meliputi terapi topikal, fisik, sinar/laser, dan platelet-rich plasma (PRP).13

Terapi Topikal Beberapa modalitas terapi topikal yang dapat diberikan antara lain retinoid, ekstrak Centella asiatica, hyaluronic acid, gel silikon, formulasi berbahan dasar minyak, dan chemical peeling.

  • Retinoid Retinoid dapat meningkatkan jumlah kolagen dermal melalui modulasi tumor growth factor-beta (TGF-β) yang mengatur sintesis fibroblas pada matriks ekstraseluler. Stimulasi fibroblas menyebabkan peningkatan kadar kolagen tipe I dan III. Retinoid yang digunakan adalah tretinoin topikal pada konsentrasi 0,025-0,1%. Dosis harian (satu kali sehari malam hari) tretinoin 0,1% selama 6 bulan pada striae rubra dilaporkan mengurangi skor keparahan striae dibandingkan kontrol plasebo. Tretinoin topikal 0,05% dibandingkan injeksi PRP intralesi menunjukkan perbaikan klinis yang signifikan pascapengobatan, namun perbaikan klinis dan kepuasan pasien pada kelompok PRP lebih baik dibandingkan tretinoin topikal.13 Dosis yang lebih rendah yaitu 0,025% tidak memberikan hasil akhir signifikan setelah 7 bulan pengamatan.12 Tretinoin dilaporkan lebih efektif digunakan pada striae rubra.14 Efek samping penggunaan tretinoin adalah muncul eritema pada lesi, kulit mengelupas, dan gatal. Tretinoin relatif aman digunakan namun terdapat perbedaan pendapat dari beberapa studi dengan level of evidence (LOE) 1.13,16

  • Ekstrak Centella asiatica Tanaman pegagan atau Centella asiatica mengandung cepanes yang memiliki sifat antiinflamasi, thiosulfate (memiliki aktivitas antiseptik fibrinolitik), dan asiaticoside yang mampu meningkatkan jumlah kolagen tipe I serta maturasi bekas luka. Centella asiatica menstimulasi aktivitas fibroblas dan bekerja antagonis terhadap efek glukokortikoid.1 Ekstrak Centella asiatica yang digunakan dalam sediaan topikal dapat dicampur dengan zat aktif lain. Penggunaan ekstrak pegagan pada striae rubra menunjukkan perbedaan signifikan serta tidak ditemui efek samping setelah 12 minggu. Ekstrak Centella asiatica tergolong aman digunakan dan efektivitasnya dalam terapi striae didukung oleh studi dengan LOE 1.1,12,13

  • Hyaluronic acid Hyaluronic acid memiliki kemampuan meningkatkan retensi air di kulit, mempercepat penyembuhan luka, menstimulasi aktivitas fibroblas dan produksi kolagen untuk mengembalikan hilangnya kolagen yang disebabkan oleh perubahan hormon atau peregangan mekanik.2 Hyaluronic acid tersedia dalam bentuk topikal berupa krim yang dikombinasikan dengan bahan lain. Penggunaan kombinasi hyaluronic acid dapat membantu mencegah striae gravidarum, relatif aman digunakan, dan efektivitasnya dalam terapi striae didukung oleh studi dengan LOE 1.13,16

  • Gel silikon Gel silikon dan balutan oklusif diyakini memiliki mekanisme yang sama seperti perawatan bekas luka, karena striae merupakan bentuk jaringan parut kulit.1 Penggunaan gel silikon untuk striae selama 6 minggu menunjukkan peningkatan kadar kolagen tipe I yang signifikan serta penurunan melanin secara histologis.12 Efek samping yang dilaporkan berupa sensasi kulit kering. Gel silikon tergolong aman digunakan dan efektivitasnya dalam terapi striae didukung oleh studi dengan LOE 1.13,16

  • Formulasi kosmetik berbahan dasar minyak Kosmetik berbahan dasar minyak seperti cocoa butter, lemak nabati yang berasal dari tanaman coklat, dapat berfungsi membantu melembapkan kulit.1,13 Penggunaan cocoa butter yang diaplikasikan satu kali sehari pada trimester kedua kehamilan sampai saat persalinan dapat membantu mencegah striae gravidarum.11,16 Penggunaan kosmetik dengan formulasi berbahan dasar minyak seperti cocoa butter relatif aman digunakan, namun bukti klinis yang ada belum dapat mendukung peranannya dalam terapi striae (LOE 1).1,12,16

  • Chemical peeling Chemical peeling atau kemoeksfoliasi adalah metode ablasi menggunakan agen kimiawi. Pada kasus striae, chemical peeling menyebabkan keratokoagulasi, denaturasi protein pada dermis, mengaktifkan sitokin proinflamasi, dan merangsang produksi serta deposisi kolagen dan elastin baru. Beberapa agen yang dapat digunakan adalah glycolic acid, ascorbic acid, zinc sulphate, tyrosine, tretinoin, dan trichloroacetic acid (TCA).12,17 Penggunaan Easy Peel® (carboxylic acid, L-ascorbic acid, hydantoin, citric acid, sodium laureth sulfate, cocamide, saponin, hexylene glycol, dan eksipien, ditambah 3,2 ml TCA 50%) setiap bulan dan maksimal 8 kali menunjukkan perbaikan lesi striae menjadi lebih halus dan warnanya lebih merata. Efek samping yang dilaporkan berupa rasa tidak nyaman saat pengolesan, eritema akut, dan hiperpigmentasi. Tidak terdapat laporan timbul jaringan parut akibat konsentrasi TCA yang tinggi. Penggunaan chemical peeling sebaiknya dikombinasikan dengan terapi lain untuk mencapai perbaikan klinis yang lebih maksimal. Chemical peeling relatif aman digunakan dengan LOE 2-4.1,13

Terapi Fisik

Beberapa modalitas terapi fisik yang dapat diberikan adalah mikrodermabrasi, microneedling, subsisi, dan radiofrekuensi (RF).

  • Mikrodermabrasi Mikrodermabrasi menggunakan agen fisik seperti alumunium oxide bertujuan untuk mencapai perbaikan kulit.1 Trauma yang ditimbulkan pada proses mikrodermabrasi akan memicu neokolagenesis serta deposisi elastin dan memfasilitasi agen topikal untuk menembus dermis dengan lebih efektif.11 Mikrodermabrasi menggunakan kristal korundum pada striae rubra dan alba seminggu sekali selama 8 minggu berturut-turut menunjukkan lesi kulit menjadi lebih lembut dan halus dengan efek samping minimal. Studi lain melaporkan mikrodermabrasi yang dilakukan setiap minggu dengan total 5 kali sesi terapi menunjukkan perbaikan klinis pada 12 minggu pascaperlakuan. Perbaikan tampak lebih jelas pada kasus striae rubra dibanding striae alba. Mikrodermabrasi tergolong aman digunakan serta didukung studi klinis dengan LOE 2.1,12,13

  • Microneedling Microneedling merupakan salah satu teknik terapi jaringan parut secara mekanik menggunakan jarum-jarum kecil pada suatu alat untuk memberikan kerusakan mikro pada kulit, khususnya lapisan dermis, untuk memicu proses inflamasi yang diikuti dengan proses neokolagenesis dan remodelling. Jarum-jarum kecil digunakan untuk memberikan efek kerusakan pada dermis tanpa harus banyak merusak lapisan epidermis. Microneedling menghasilkan penebalan epidermal dan dermal melalui stimulasi produksi kolagen tipe I dan III serta produksi elastin.12,18 Microneedling untuk striae pada tipe kulit Fitzpatrick I-V dengan perawatan setiap bulan (1-3 kali rangkaian terapi) menunjukkan perbaikan klinis setelah rata-rata 1,8 kali terapi. Perbedaan tipe kulit Fitzpatrick tidak memengaruhi hasil penelitian secara signifikan, hasil signifikan tampak terutama pada area kulit yang tebal (paha dan gluteus) dibandingkan area kulit yang tipis (payudara). Efek samping berupa eritema yang bersifat sementara. Microneedling relatif aman digunakan dan didukung oleh hasil studi klinik LOE 2-4.1,12

  • Subsisi Subsisi adalah teknik bedah yang dikembangkan untuk mengobati bekas luka yang cekung ke dalam. Sebuah studi membandingkan subsisi dan krim tretinoin 0,1% pada pasien striae alba. Setelah 3 bulan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antarkelompok perlakuan dan dilaporkan efek samping berupa nekrosis pada striae sehingga terapi tersebut tidak direkomendasikan.12

  • Radiofrekuensi Radiofrekuensi (RF) bekerja dengan memanaskan kandungan air dalam jaringan untuk menyebabkan cedera termal dan denaturasi sebagian dari serabut kolagen dan elastik sehingga terjadi remodeling serta aktivasi seluler yang merangsang neokolagenesis fibroblas.1,13 Striae alba yang diterapi dengan RF nanofraktional (Venus VivaTM) tiga sesi dengan jarak 4 minggu (total 12 minggu) menunjukkan peningkatan signifikan pada jumlah kolagen dan elastin dengan efek samping berupa hiperpigmentasi pascainflamasi. RF tergolong aman digunakan dan didukung oleh studi dengan LOE 1.12,13,19

Terapi Sinar

Modalitas terapi sinar yang dapat diberikan pada striae meliputi sinar nonkoheren, laser non-ablatif, dan laser ablatif.

  • Sinar nonkoheren Berbagai sumber sinar nonkoheren menghasilkan efek fotobiomodulator yang dapat memicu remodelling kolagen dermis. Sinar inframerah, intense pulse light (IPL), dan sinar ultraviolet adalah beberapa jenis sinar nonkoheren yang bisa digunakan.13 Penggunaan sinar inframerah menggunakan panjang gelombang 800-1800 nm, IPL Vasculight Plus menggunakan panjang gelombang 515 dan 1200 nm, sinar ultraviolet B gelombang pendek (narrow-band UV B/NBUVB) menggunakan panjang gelombang 290-320 nm dengan laser UVB eksimer XeCl 308 nm menunjukkan hasil yang bervariasi. Sinar nonkoheren relatif aman digunakan dengan LOE beragam antara 1-4.1,12,13,17

  • Laser non-ablatif Laser 308-nanometer (nm) xenon chloride (XeCl) excimer mampu memperbaiki lesi hipopigmentasi dengan cara menyebabkan cedera kulit serta merangsang pembentukan kolagen dan elastin. Laser 585 dan 595 nm pulsed-dye laser (PDL) bermanfaat untuk remodelling kolagen dan mengurangi eritema, namun tidak menghilangkan tekstur seperti bekas luka dan atrofi terkait dengan striae. Laser 1410, 1450, 1540; dan 1550 nm Erbium:Glass (Er:Glass) menghasilkan energi cahaya yang menembus ke dalam dermis superfisial untuk memproduksi “zona mikrotermal” yang menyebabkan nekrosis epidermis lokal bersamaan dengan denaturasi kolagen. Jaringan nekrosis dikeluarkan dan terjadi neokolagenesis.13 Laser Neodymium-Doped YAG (Nd:YAG) 1064 nm mampu meningkatkan kolagen kulit pada striae immature.1,12 Laser Nd:YAG fraksional 1064 nm dan Er:Glass 156 nm menunjukkan perbaikan klinis pada kasus striae, namun pada penggunaan laser Nd:YAG nyeri yang dilaporkan lebih minimal.19 Perbaikan klinis striae dengan laser Nd:YAG 1064 nm dilaporkan terjadi setelah 4 sesi terapi (interval 3 minggu) didukung dengan peningkatan serabut elastik dan kolagen pada evaluasi histologi.1,12 Penggunaan laser non-ablatif memiliki efikasi yang beragam. Pemilihan terapi yang bertujuan untuk mengurangi vaskularitas striae direkomendasikan menggunakan PDL, laser copper bromide, dan laser Nd:YAG 1064 nm (LOE 2-4), sedangkan untuk meningkatkan melanin/pigmentasi direkomendasikan laser excimer xenon chloride (XeCl) 308 nm (LOE 1).1,12,13,17

  • Laser ablatif Laser ablatif seperti laser dengan panjang gelombang 10600 nm CO2 adalah perawatan efektif untuk jaringan parut karena mampu mengikis lapisan epidermal dan dapat menembus jauh ke dermis. Ablasi dan koagulasi jaringan menstimulasi neokolagenesis serta deposisi elastin. Studi membandingkan laser ablatif CO 10600 nm (eCO2TM) dan Er:YAG (SpectraTM) selama minimal 2 sesi (interval 4 minggu) pada striae gravidarum tipe kulit Fitzpatrick II dan IV menunjukkan perbaikan klinis, namun tidak ada perbedaan signifikan dari kedua jenis laser. Efek samping yang dilaporkan berupa hiperpigmentasi sementara. Studi klinik yang mendukung penggunaan laser ablatif memiliki LOE 2 dan 4.13 Semua jenis laser ablatif tergolong aman digunakan, namun dibandingkan dengan laser non-ablatif, laser ablatif memiliki hasil klinis yang lebih beragam. Risiko tinggi hiperpigmentasi menjadi perhatian pasien dengan kulit berwarna.1,12,13,17


Terapi platelet-rich plasma (PRP) Platelet-rich plasma mengandung berbagai faktor pertumbuhan seperti platelet degradation growth factor (PDGF-a, PDGF-b) yang terbukti menjadi agen kemotaktik makrofag dan fibroblas, meningkatkan glikosaminoglikan dan deposisi fibronektin, transforming growth factor (TGF-b1 dan 2), epidermal growth factor (EGF), fibroblast growth factor (FGF), dan vascular endothelial growth factor (VEGF). PRP yang diaktifkan meningkatkan ekspresi matrix metalloproteinase (MMP) terutama MMP-1 yang selanjutnya akan memfasilitasi pembuangan fragmen kolagen yang rusak di MES sehingga deposisi kolagen baru lebih optimal.17,20 Injeksi PRP relatif aman dan efektif karena memiliki efek samping minimal tanpa risiko reaksi alergi karena menggunakan komponen dari darah pasien sendiri. Terapi ini menjadi modalitas yang dinilai efektif untuk striae terutama pada pasien dengan tipe kulit Fitzpatrick III dan IV dengan risiko mengalami hiperpigmentasi setelah pengobatan lain seperti CP atau laser.13

Kombinasi RF fraksional plasma dengan PRP setiap 2 minggu dengan total 4 sesi menunjukkan pengurangan ukuran striae hingga 74% 2 bulan pascasesi. Efek samping berupa hiperpigmentasi pascainflamasi yang membaik setelah 4 minggu.13 PRP secara intradermal dengan teknik nappage pada area striae dengan jarum insulin 31G diikuti microneedling sampai 2-4 mm melebih batas lesi striae dengan dermaroller 1 mm hingga tampak titik-titik perdarahan, kemudian diaplikasikan TCA dengan konsentrasi 35% pada batas lesi selama 1 menit. Evaluasi klinis pada minggu kesembilan setelah 3 sesi (interval 3 minggu) terapi menunjukkan perbaikan menyeluruh pada lesi.21

Kesimpulan Terapi striae dilakukan untuk mengatasi masalah penampilan dan risiko infeksi sekunder pada kasus yang berat. Modalitas terapi striae meliputi terapi topikal, fisik, sinar/ laser, dan PRP. Terapi topikal berupa retinoid topikal 0,05% dan chemical peeling TCA 35%; baik tunggal maupun kombinasi memberikan hasil perbaikan klinis yang signifikan. Terapi fisik menggunakan mikrodermabrasi dan microneedling memberikan hasil yang lebih unggul dari subsisi maupun radiofrekuensi. Laser sinar nonkoheren yaitu sinar inframerah, intense pulse light (IPL), dan sinar ultraviolet tergolong aman digunakan dengan efek samping minimal. Penggunaan laser non-ablatif yang direkomendasikan untuk mengurangi vaskularisasi striae adalah PDL, laser copper bromide, dan laser Nd:YAG 1064 nm, sedangkan untuk meningkatkan melanin/pigmentasi yang direkomendasikan adalah penggunaan laser excimer xenon chloride (XeCl) 308 nm. Laser ablatif memiliki risiko hiperpigmentasi pascatindakan. Modalitas terapi kombinasi injeksi PRP dengan MDA menunjukkan efikasi lebih tinggi dengan durasi perawatan yang lebih pendek.

DAFTAR PUSTAKA

  1. Al-Himdani S, Ud-Din S, Gilmore S, Bayat A. Striae Distensae: A Comprehensive Review and Evidence-based Evaluation of Prophylaxis and Treatment. Br J Dermatol. 2014;170(3):527-47.

  2. Lu H, Guo J, Hong X, Chen A, Zhang X, Shen S. Comparative effectiveness of different therapies for treating striae distensae a systematic review and network meta analysis. Medicine. 2020;99(39):e22256.

  3. Tang-Lin L, Liew HM, Koh MJ, Allen JC, Tan TC. Prevalence of Striae Gravidarum in A Multi-ethnic Asian Population and The Associated Risk Factors. Australas J Dermatol. 2017;58(3):e154-5.

  4. Lokhande AJ, Mysore V. Striae Distensae Treatment Review and Update. Indian Dermatol. Online J. 2019;10(4):380-95.

  5. Mescher AL. Skin: Epidermis and Dermis. Dalam: Mescher AL, editor. Junquiera's Basic Histology Text & Atlas. Edisi ke-13. USA: McGrawHill; 2013.h.100.

  6. Maari C, Powel J. Dermal Connective Tissue Disoreder. Dalam: Kang S, Amagai M, Bruckner AL, Enk AH, Marholis DJ, McMichael AJ, Orringer JS, editor. Fitzpatrick’s Dermatology. Edisi ke-9. New York: McGraw Hill Education. 2019.h.1197.

  7. Anejo health communications. Strech mark. 2020. Tersedia dari https://anejo.eu/products/physical/charts/dermatology/stretch-marks/stretch-marks/. Diunduh Januari 2021.

  8. Gilmore SJ, Vaughan BL, Madzvamuse A, Maini PK. A Mechanochemical Model of Striae Distensae. Math Biosci. 2012;240:141–7.

  9. Kocaöz S, Beşer NG, Kizilirmak A. Striae Gravidarum in Primigravid Women: Prevalence, Risk Factors, Prevention Interventions and Body Image. J Matern Fetal Neonatal Med. 2019;2019:1-7.

  10. Ledoux M, Beauchet A, Fermanian C, Boileau C, Jondeau G, Saiag P. A Case-Control Study of Cutaneous Signs in Adult Patients with Marfan Disease: Diagnostic Value of Striae. J Am Acad Dermatol. 2011;64:290–5.

  11. Farahnik B, Park K, Kroumpouzos G, Murase J. Striae Gravidarum: Risk factors, Prevention, and Management. Int J Womens Dermatol. 2017;3(00):77–85.

  12. Ross NA, Ho D, Fisher J, Mamalis A, Heilman E, Saedi N, dkk. Striae Distensae: Preventative and Therapeutic Modalities to Improve Aesthetic Appearance. Dermatol Surg. 2017;43(00):635–48.

  13. Hague A, Bayat A. Therapeutic Targets in The Management of Striae Distensae: A Systematic Review. J Am Acad Dermatol. 2017;77(3):559-68.

  14. Medi DC. Type of strech marks: striae classification. 2020. Tersedia dari https://www.dietscoach.com/2020/06/stretch-marks-types.html. Diunduh Januari 2021.

  15. Hermanns JF, Pierard G. High-resolution Epiluminescence Colorimetry of Striae Distensae. J Eur Acad Dermatol Venereol. 2006;20(00):282–7.

  16. Ud-Din S, Mcgeorge D, Bayat A. Topical Management of Striae Distensae (Stretch Marks): Prevention and Therapy of Striae Rubrae and Albae. J Eur Acad Dermatol Venereol. 2016;30:211–22.

  17. Keen MA. Striae Distensae: What's new at horizon? BJMP 2016;9(3):a919.

  18. Alster TS, Li MK. Microneedling Treatment of Striae Distensae in Light and Dark Skin with Long-term Follow Up. Dermatol Surg. 2019;00:1-7.

  19. Pongsrihadulchai N, Chalermchai T, Ophaswongse S, Pongsawat S, Udompataikul M. An Efficacy and Safety of Nanofractional Radiofrequency for The Treatment of Striae Alba. J Cosmet Dermatol. 2016;00:1-7.

  20. Hodeib AA, Hassan GFR, Ragab MNM, Hasby EA. Clinical and Immunohistochemical Comparative Study of The Efficacy of Carboxytherapy VS Platelet-rich Plasma in Treatment of Stretch Marks. J Cosmet Dermatol. 2018;17(6):1008-15.

  21. Ibrahim Z, El-Tatawy RA, El-Samongy MA, Ali DAM. Comparison between the Efficacy and Safety of Platelet-Rich Plasma VS. Microdermabrasion in the Treatment of Striae Distensae: Clinical and Histopathological Study. J Cosmet Dermatol. 2015;14: 336–46.

bottom of page