top of page

Obesitas pada Diabetes Melitus Tipe 2 dengan Risiko Penyakit Kardiovaskular

ree

Obesitas pada Diabetes Melitus Tipe 2 dengan Risiko Penyakit Kardiovaskular

Ā 

Wira Gotera[1], I Wayan Gustafa[2], Ida Bagus Aditya Nugraha[1]

[1]Departemen/KSM Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/ RSUP Prof. dr. I.G.N.G. Ngoerah, Denpasar, Bali, Indonesia[2]Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/ RSUP Prof. dr. I.G.N.G. Ngoerah, Denpasar, Bali, Indonesia

Ā 

ABSTRACT

Obesity is a multifactorial disease with a complex pathogenesis related to biological, psychosocial, socioeconomic, environmental factors, and heterogeneity in the pathways and mechanisms by which it leads to adverse health outcomes. Individuals with excess intra-abdominal or visceral adipose tissue have a significantly higher risk of developing insulin resistance which leads to the occurrence of diabetes. Diabetes along with obesity increases the risk of cardiovascular disease. Management of obesity and diabetes is important to reduce the morbidity and mortality from cardiovascular disease.

Keywords: cardiovascular disease, obesity, type 2 diabetes mellitus, visceral adipose


ABSTRAK

Obesitas adalah penyakit multifaktorial dengan patogenesis kompleks yang berkaitan dengan faktor biologis, psikososial, sosioekonomi, lingkungan, serta heterogenitas jalur dan mekanisme yang menyebabkan dampak buruk pada kesehatan. Individu dengan kelebihan jaringan adiposa intra-abdominal atau pada visera memiliki risiko lebih tinggi terkena resistansi insulin yang berujung pada terjadinya diabetes. Diabetes dan obesitas meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular. Penatalaksanaan obesitas dan diabetes penting untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas akibat penyakit kardiovaskular.

Kata kunci: adiposa visera, diabetes melitus tipe 2, obesitas, penyakit kardiovaskular


PENDAHULUAN

Penyakit kardiovaskular masih menjadi salah satu penyebab mortalitas tertinggi di seluruh dunia. Terdapat sekitar 17,3 juta kematian per tahun karena penyakit kardiovaskular, yang selanjutnya diperkirakan akan meningkat menjadi lebih dari 23,6 juta kematian pada tahun 2030.[1] Obesitas dan diabetes melitus tipe 2 merupakan kondisi kronis yang memiliki dampak multisistemik dan berkaitan erat dalam meningkatkan risiko peningkatan mortalitas serta risiko terjadinya penyakit kardiovaskular.[2]Ā 

Obesitas menjadi salah satu faktor risiko terjadinya diabetes melitus yang penting. Pada pasien dengan kelebihan berat badan berpotensi mengalami peningkatan risiko tiga kali lipat lebih tinggi mengalami diabetes melitus sedangkan pada pasien obesitas memiliki risiko tujuh kali lipat jika dibandingkan pasien tanpa kondisi tersebut. Dilaporkan sebanyak 90% orang dewasa dengan diabetes masuk dalam kategori kelebihan berat badan dan obesitas.[2]

Menurut data terbaru, diprediksikan hampir 14% pria dan 20% wanita dari populasi dunia (lebih dari 1 miliar orang) akan menderita obesitas pada 2030 dengan persentase orang dewasa dengan obesitas sebesar 18%. Perkembangan modernisasi, urbanisasi, dan percepatan pertumbuhan sosial-ekonomi mendukung peningkatan taraf hidup yang lebih baik. Akan tetapi, pada saat yang bersamaan, perkembangan tersebut berdampak terjadinya perubahan gaya hidup seperti sedentary lifestyle, konsumsi makanan cepat saji dan hal ini terjadi secara global.[5]

Pasien diabetes melitus tipe 2 cenderung memiliki lingkar pinggang lebih besar dan jaringan adiposa abdominal/visceral yang lebih banyak dibandingkan pada individu tanpa diabetes. Obesitas visceral maupun diabetes melitus tipe 2, merupakan predisposisi terjadinya penyakit kardiovaskular sehingga kehadiran keduanya secara bersamaan semakin meningkatkan risiko timbulnya penyakit kardiovaskular.[6] Diabetes dan obesitas menunjukkan adanya interaksi kompleks antara keduanya dalam modulasi penyakit kardiovaskular.


OBESITAS

Obesitas jika dinilai secara klinis melalui pengukuran body mass index (BMI) yang dihitung melalui rasio berat badan dalam kilogram dibagi dengan tinggi badan dalam meter persegi (kg/m2). Seseorang dikatakan mengalami obesitas jika memiliki BMI di atas 30 kg/m2. Sedangkan obesitas berat didefinisikan jika BMI ≄40 kg/m2. Prevalensi obesitas berat lebih banyak terjadi pada perempuan dibandingkan laki-laki. Namun, istilah obesitas dalam nilai ukuran BMI tidak cukup untukĀ  mendeskripsikan perbedaan bentuk obesitas dalam konteks masa jaringan adiposa, distribusi lemak tubuh, fungsi jaringan adiposa, dan gaya hidup pasien.[6]

Obesitas saat ini dikenal sebagai penyakit kronis, kambuhan, dan multifaktorial serta berpotensi membahayakan hampir setiap sistem organ sehingga dapat memengaruhi kesehatan fisik dan mental. Pada beberapa kondisi, hal iniĀ  tidak dapat dengan mudah diatasi hanya melalui penurunan berat badan.[5] Individu dengan BMI 30-40 kg/m2 akan memiliki risiko yang sangat berbeda tergantung dari distribusi lemak tubuh, kualitas nutrisi, tingkat aktivitas fisik, dan ketahanan kardiorespirasi.[6]

Di sebagian besar negara maju, seperti beberapa bagian Eropa dan Amerika Utara, prevalensi obesitas terutama disebabkan oleh pertumbuhan sosial ekonomi. Namun di banyak negara berkembang, peningkatan prevalensi obesitas disebabkan oleh kegagalan kebijakan penanggulangan obesitas, serta pencegahan, pengobatan, dan manajemen komprehensif yang tidak memadai. Perbedaan persepsi tentang obesitas di antara budaya yang berbeda juga menjadi faktor penentu yang penting.[5]

Akumulasi jaringan adiposa dapat terjadi melalui proses pembesaran sel adiposa yang sudah ada sebelumnya (hipertrofi), diferensiasi adipogenik dari sel prekursor menjadi sel adiposa baru (hiperplasia), atau kombinasi dari kedua fenomena tersebut.[6] Perluasan ruang lemak visceral pada tubuh manusia terutama terjadi melalui proses hipertrofi jaringan adiposa. Hipertrofi jaringan adiposa menjelaskan hubungan yang kuat antara akumulasi lemak visceral dan abnormalitas metabolik yang dihubungkan dengan obesitas. Individu dengan ukuran jaringan adiposa yang lebih kecil menunjukkan jumlah karakteristik sindrom metabolik yang lebih rendah walaupun massa lemak tubuh meningkat.[6]


DIABETES MELITUS TIPE 2

Diabetes melitus tipe 2 ditandai dengan resistansi insulin serta dikaitkan dengan sekresi insulin yang abnormal sehingga menyebabkan peningkatan glukosa darah (hiperglikemia) sebagai manifestasi utama.[5] Diabetes diketahui melibatkan mekanisme seluler dan molekuler yang kompleks yang mengarah pada gangguan homeostasis glukosa di dalam tubuh. Resistansi insulin adalah ciri utama diabetes melitus tipe 2 dan dapat berkembang di berbagai organ, termasuk otot rangka, hati, jaringan adiposa, dan jantung. Pasien diabetes juga mengalami penurunan nyata dalam jumlah sel β, salah satunya akibat dari proses apoptosis yang cepat. Pada pasien dengan diabetes, massa sel β ditemukan menurun sekitar 40% pada individu kurus dan 65% pada individu gemuk dibandingkan pada pasien non-diabetes.[1]

Individu dengan kelebihan jaringan adiposa intra-abdominal atau visceral memiliki risiko yang jauh lebih tinggi untuk mengalami resistansi insulin dan sindrom metabolik.[1] Populasi obesitas yang meningkat pesat di seluruh dunia dipastikan berkontribusi terhadap peningkatan prevalensi diabetes yang terjadi melalui peningkatan kerentanan genetik/epigenetik, perubahan lingkungan mikro yang merusak persinyalan insulin, penurunan fungsi sel β, dan disregulasi microbiome-gut-brain axis.[5]

Individu dengan diabetes memiliki jumlah adiposa visceral yang lebih besar daripada individu yang tidak menderita diabetes, walaupun dengan berat badan normal. Jumlah jaringan adiposa visceral secara independen berkaitan dengan risiko penyakit kardiovaskular dalam 10 tahun yang lebih tinggi.[7] Sindrom metabolik dan resistansi insulin telah diakui sebagai faktor risiko morbiditas dan kematian akibat penyakit kardiovaskular. Diabetes melitus tipe 2 yang disertai dengan kelebihan adiposa visceral dan lemak ektopik jelas merupakan fenotipe yang berisiko tinggi untuk mengalami penyakit kardiovaskular.[6]

Perubahan metabolik yang dapat terjadi pada diabetes melitus tipe 2 meliputi gangguan fungsi endotel, peradangan subklinis, perubahan adipokin, perkembangan dislipidemia aterogenik, peningkatan kadar asam lemak bebas, dan perubahan trombosis serta fibrinolisis.[1] Keseluruhan perubahan metabolik ini berkontribusi pada peningkatan risiko terjadinya penyakit kardiovaskular.


OBESITAS PADA DIABETES MELITUS TIPE 2Ā 

Terdapat banyak kesamaan antara obesitas dan diabetes melitus tipe 2 dalam komponen genetik yang memainkan peran penting dalam patogenesisnya, yang dapat lebih jauh dipengaruhi dan diperkuat oleh faktor lingkungan. Nilai BMI ibu yang lebih tinggi sebelum kehamilan, asupan kalori yang lebih besar, kenaikan berat badan selama kehamilan yang lebih signifikan, dan hiperglikemia maternal menunjukkan kaitan erat dengan obesitas pada anak.

Selain itu, hiperglikemia maternal dan diabetes melitus gestasional dikaitkan dengan prekursor diabetes melitus tipe 2 (misalnya resistansi insulin) pada keturunannya. Pada masa dewasa, pertambahan usia dihubungkan dengan penurunan responsivitas sel β terhadap karbohidrat yang sebagian menjelaskan terjadinya peningkatan intoleransi glukosa seiring dengan pertambahan usia.[5] 

Distribusi jaringan adiposa lebih berperan penting terhadap terjadinya resistansi insulin.[8] Obesitas ditandai dengan penumpukan jaringan adiposa yang berlebihan. Pada dasarnya, penumpukan lemak yang berlebihan dan perluasan jaringan adiposa dihubungkan dengan perubahan lingkungan mikro pada obesitas yang ditandai dengan proses peradangan abnormal, fibrosis, hipoksia, gangguan pengaturan sekresi adipokin, dan gangguan fungsi mitokondria.[9] Kondisi ini memainkan peran penting dalam patogenesis diabetes melitus tipe 2 melalui gangguan pada persinyalan insulin, memicu resistansi insulin, mengurangi aktivitas pengangkutan glukosa yang dirangsang insulin, dan mempercepat disfungsi sel.[5]Ā 

Peradangan ringan yang disebabkan oleh obesitas memengaruhi banyak organ dan melibatkan aktivasi sistem kekebalan tubuh yang berdampak pada keseimbangan metabolisme dan mengakibatkan kerusakan jaringan melalui peningkatan fibrosis dan nekrosis pada saat yang bersamaan.[10] Secara lokal, kerusakan bertahap dari reaksi inflamasi di dalam pankreas menyebabkan hilangnya massa sel β dan disfungsi seluler yang menyebabkan terjadinya diabetes melitus tipe 2.[5] Pada akhirnya, peradangan sistemik pada obesitas berperan sebagai penyebab resistansi insulin, defisiensi insulin, dan disregulasi homeostasis energi.

Lipotoksisitas dapat menginduksi disfungsi mitokondria melalui pengurangan massa mitokondria dan produksi adenosine triphosphate (ATP) dengan produksi spesi oksigen reaktif (ROS) yang berlebih. Kondisi ini memperburuk sensitivitas insulin, karena mitokondria berperan penting dalam mengatur adipogenesis, sintesis asam lemak, esterifikasi, dan lipolisis adiposit.[5]Ā Ā 

Obesitas juga menimbulkan gangguan pada proses autophagy. Autophagy merupakan suatu mekanisme mempertahankan kualitas sel dan fungsi organ sebagai proses homeostatis melalui pembuangan dan daur ulang komponen seluler sambil menghilangkan sel-sel berbahaya yang mengandung protein, lipid, dan organel yang berpotensi toksik. Peningkatan pembuangan lipid intraseluler dan penurunan lipolisis dan proteolisis melalui peningkatan autophagy dapat menyebabkan akumulasi lemak visceral dan resistansi insulin.[11] Disfungsi autophagy berkontribusi pada ekspansi jaringan adiposa yang berlebihan, peradangan ringan, dan dislipidemia metabolik, sehingga mengakibatkan hiperinsulinemia dan terjadinya diabetes melitus tipe 2. Pada akhirnya, terjadinya eksaserbasi disfungsi autophagy, akumulasi ROS, dan kerusakan mitokondria secara bertahap dapat memperburuk resistansi insulin yang menyebabkan terjadinya diabetes melitus tipe 2 beserta progresivitasnya.[5]

ree

Gambar 1. Gangguan proses autophagy dalam patogenesis diabetes melitus tipe 2.[5]


DIABETES MELITUS TIPE 2 DENGAN OBESITAS DAN PENGARUHNYA TERHADAP RISIKO PENYAKIT KARDIOVASKULAR

Sejumlah jaringan adiposa yang terletak di rongga abdomen disebut juga dengan jaringan adiposa visceral. Jaringan adiposa visceral berlebih, terlepas dari berapapun nilai BMI-nya, merupakan faktor prediktor terjadinya diabetes melitus tipe 2 dan penyakit kardiovaskular.[6] Tingginya proporsi lemak tubuh bagian atas yang dievaluasi melalui rasio lingkar pinggang terhadap lingkar pinggul (waist-to-hip ratio) menjadi faktor prediktor peningkatan risiko intoleransi glukosa, resistansi insulin, hipertensi, dan hipertrigliseridemia yang berdampak langsung pada peningkatan risiko terjadinya penyakit kardiovaskular. Namun, lingkar pinggang tidak dapat digunakan sebagai ukuran tunggal dalam menilai kadar adiposa menggantikan BMI. Data lingkar pinggang dapat digunakan untuk melengkapi data BMI dalam klasifikasi risiko. Dalam setiap data kategori BMI, peningkatan lingkar pinggang dihubungkan dengan peningkatan risiko mortalitas. [6,12]

Beberapa studi pencitraan kardiometabolik dengan computed tomography (CT) dan magnetic resonance imaging (MRI) telah mengonfirmasi kelebihan adiposa visceral berkaitan erat dengan abnormalitas metabolik. Kelebihan adiposa visceral dapat ditemukan tidak hanya pada pasien obesitas, tetapi juga pada pasien dengan kelebihan berat badan (overweight) dan bahkan pada individu normal. Pada nilai BMI dan kadar total lemak tubuh yang normal, individu dengan kadar jaringan adiposa visceral yang tinggi memperlihatkan adanya resistansi insulin, hiperinsulinemia, intoleransi glukosa, inflamasi, peningkatan tekanan darah, dan dislipidemia aterogenik tipikal (trigliserida dan kadar apolipoprotein tinggi), peningkatan proporsi small dense LDL (low densisty lipoprotein), serta penurunan kadar HDL (high density lipoprotein). [6,13]

ree

Gambar 2. Hubungan antara obesitas dengan risiko penyakit kardiovaskular.[6]


Kadar trigliserida darah merupakan suatu penanda yang sederhana dan sangat berguna untuk mengevaluasi kelebihan adiposa visceral pada individu dengan lingkar pinggang yang lebih besar. Berdasarkan pemeriksaan CT-scan pada individu dengan peningkatan kadar trigliserida, obesitas visceral dapat terjadi pada individu dengan lingkar pinggang lebih dari 90 cm pada laki-laki dan lebih dari 85 cm pada perempuan. Kondisi ini selanjutnya didefinisikan sebagai hypertriglyceride waist. Kondisi hypertriglyceride waist tidak hanya prediktif terhadap kelebihan jaringan adiposa visceral, akan tetapi berkaitan juga dengan perubahan risiko kardiometabolik, seperti peningkatan risiko penyakit kardiovaskular.[6]Ā 

Terdapat sejumlah faktor yang berkontribusi dalam menjelaskan hubungan antara kelebihan adiposa visceral dengan komplikasi metabolik. Konsep disfungsi jaringan adiposa dikatakan sebagai penentu utama komplikasi metabolik. Disfungsi jaringan adiposa didefinisikan sebagai hipertrofi adiposa, gangguan adiposagenesis, penyerapan asam lemak bebas yang rendah, penurunan sintesis trigliseridemia, resistansi terhadap efek inhibisi insulin pada proses lipolisis, fibrosis jaringan lemak, stimulasi autopagositosis adiposa, infiltrasi sel imun, dan sekresi sitokin inflamasi.[6,14]

ree

Gambar 3. Efek obesitas terhadap penyakit kardiovaskular.[6]


Infiltrasi sel imun dan perubahan pada sitokin inflamasi jaringan adiposa memiliki aspek penting terhadap terjadinya disfungsi jaringan adiposa.Ā  Keseimbangan jaringan adiposa melibatkan interaksi yang kompleks dari berbagai sel imun, tidak hanya pada sel makrofag, tetapi juga B cells, natural killer, regulatory T cells, eosinophils, dan innate lymphoid cells. Terdapat bukti yang kuat bahwa infiltrasi sel imun berkontribusi terhadap pola inflamasi ringan yang sering kali dihubungkan dengan abdominal-visceral obesity yang mengubah kemampuan metabolik sel adiposa dalam penyimpanan dan perluasan lemak secara efisien.[6,15]Ā 

Disfungsi jaringan adiposa secara keseluruhan mengubah diferensiasi adipogenik, kapasitas ekspansi jaringan adiposa, dan akhirnya penyimpanan serta retensi jaringan lemak. Eksaserbasi dismetabolik yang paling berat ditemukan pada pasien dengan kadar jaringan adiposa visceral dan lemak hati yang tinggi. Jaringan adiposa visceral yang tinggi dihubungkan dengan peningkatan risiko hipertensi, infark miokardium/angina, diabetes melitus tipe 2, dan dislipidemia.[6]

Distribusi kelebihan jaringan adiposa merupakan suatu faktor penentu penting terhadap terjadinya risiko kardiovaskular. Adiposa visceral dan ektopik menunjukkan risiko kardiovaskular yang lebih besar dibandingkan dengan adiposa subkutan.[6]


Kelebihan Jaringan Adiposa Visceral dan Penyakit Arteri Koroner

Pada individu-individu obesitas dengan penyakit arteri koroner, distribusi lemak lebih berkorelasi langsung dengan mortalitas dibandingkan dengan nilai dari BMI. Jaringan adiposa visceral merupakan faktor risiko kardiovaskular, terlepas dari jumlah total massa lemak tubuh ataupun tingkat jaringan lemak subkutan. Kelebihan lemak, terutama jaringan adiposa visceral mempercepat proses progresivitas aterosklerosis beberapa dekade sebelum munculnya manifestasi klinis penyakit arteri koroner. Terlebih lagi, tingginya kerentanan dari lesi aterosklerosis pada arteri koroner dan aorta telah terjadi pada pasien dengan kelebihan jaringan adiposa visceral, terlepas dari faktor risiko penyakit kardiovaskular lainnya yang menunjukkan peran utama jaringan adiposa visceral dalam patogenesis penyakit aterosklerosis.[6]

Durasi kelebihan jaringan adiposa visceral yang lebih lama telah dihubungkan dengan penyakit arteri koroner subklinis dan progresivitasnya tidak dipengaruhi oleh derajat adipositas. Seperti jaringan adiposa visceral, akumulasi jaringan lemak ektopik kardiak telah dihubungkan dengan komplikasi metabolik dan kardiak, termasuk penyakit arteri koroner. Akan tetapi, mekanisme pasti peranan lemak ektopik kardiak terhadap terjadinya penyakit arteri koroner belum diketahui secara pasti.[6]

Jaringan adiposa visceral memicu peradangan sistemik dan vaskular yang menjadi dasar dari semua aspek perkembangan aterosklerosis, mulai dari terbentuknya fatty streak hingga aterotrombosis. Peradangan yang disebabkan oleh obesitas meningkatkan oksidasi low-density lipoprotein (LDL) yang selanjutnya memicu proses aterogenesis. Disfungsi endotel pada obesitas, terutama disebabkan oleh berkurangnya ketersediaan nitrite oxide pada kondisi inflamasi dan stres oksidatif yang juga merupakan dasar dari terjadinya perkembangan aterosklerosis.[16]

Pada MESA (Multi-Ethnic Study of Atherosclerosis), jaringan adiposa perikardial dihubungkan dengan peningkatan risiko penyakit kardiovaskular dan penyakit aterosklerosis. Kelebihan deposit jaringan adiposa epikardial yang diukur melalui pemeriksaan ultrasonografi, CT-scan, dan MRI telah dihubungkan dengan abnormalitas aliran darah miokardium, kerentanan plak koroner, kalsifikasi arteri koroner, dan tingkat keparahan dari penyakit arteri koroner. Adipositokin, inflamasi, dan mediator sistemik, seperti spesi oksigen reaktif mungkin mendukung perkembangan lingkungan yang secara lokal pro-aterogenik melalui mekanisme parakrin dan vasokrin sehingga mendukung patogenesis dari penyakit arteri koroner. [6]


Kelebihan Jaringan Adiposa Visceral dan Gagal Jantung

Di antara individu dengan obesitas berat, hampir sepertiganya memiliki bukti klinis gagal jantung, yang kemungkinannya meningkat secara drastis seiring dengan peningkatan durasiĀ  obesitas berat.[6] Individu-individu dengan obesitas berisiko dua kali lebih besar mengalami gagal jantung dibandingkan dengan individu dengan berat badan normal.[6]

Berdasarkan Framingham Heart Study, setiap peningkatan 1 unit BMI dihubungkan dengan 5% peningkatan risiko gagal jantung pada laki-laki dan 7% pada perempuan. Setiap 10 cm peningkatan lingkar pinggang dihubungkan dengan peningkatan insiden gagal jantung, dengan insiden yang lebih besar dimulai pada rentang BMI kategori overweight (BMI ≄ 25 kg/m2). SekitarĀ  50% individu dengan obesitas mengalami gagal jantung dengan preserved ejection fraction (HFpEF). Jaringan adiposa visceral secara independen dihubungkan dengan insiden HFpEF namun tidak pada gagal jantung dengan penurunan ejeksi fraksi (HFrEF).[6]

Prevalensi abnormalitas fungsi miokardium subklinis pada obesitas dilaporkan sebesar 37–54%. Abnormalitas fungsi miokardium subklinis pada pasien obesitas asimtomatik dengan diabetes melitus telah dihubungkan dengan progresivitas dari penyakit kardiovaskular. Durasi obesitas yang lebih lama dan tingkat keparahannya (BMI >40 kg/m2) telah diidentifikasi sebagai faktor predisposisi terhadap disfungsi kardiak dan gagal jantung.[6]

Obesitas visceral memiliki sejumlah efek lokal pada miokardium, termasuk menginduksi hipertrofi kardiomiosit, fibrosis miokardium, dan aktivasi jalur inflamasi yang berkaitan dengan infiltrasi makrofag dan ekspresi gen sitokin. Akumulasi lemak visceral yang berlebihan dan lemak ektopik pada perikardium/epikardium dan hati menghasilkan lebih banyak volume darah yang bersirkulasi dan faktor inflamasi proaterogenik lokal dan sistemik, yang bertindak untuk meningkatkan stroke volume, tekanan dinding jantung, dan cedera miokardium, yang mengarah pada hipertrofi ventrikel kiri konsentris, remodeling ventrikel kiri, dan akhirnya menyebabkan gagal jantung sistolik dan diastolik.[16] Dibandingkan individu-individu yang tidak obesitas dengan HFpEF, individu obesitas dengan HFpEF menunjukkan kelebihan volume yang lebih besar, remodeling biventrikular yang lebih berat, disfungsi ventrikel kanan yang lebih berat, dan kapasitas olahraga yang lebih rendah.[6,17]

Obesitas berat memengaruhi struktur dan fungsi jantung seperti yang telah dibuktikan terkait dengan remodeling ventrikel kiri dan penurunan fungsi sistolik ventrikel kiri, seperti halnya disfungsi diastolik ventrikel kiri, yang pada akhirnya dapat menyebabkan gagal jantung.[6]


Obesitas dan Aritmia

Dalam suatu metaanalisis yang melibatkan 125.000 orang, individu-individu dengan obesitas memiliki 50% peningkatan prevalensi fibrilasi atrium. Setiap peningkatan satu unit BMI dihubungkan dengan peningkatan 4% risiko timbulnya fibrilasi atrium onset baru. Setiap lima unit peningkatan BMI menimbulkan peningkatan 29% insiden fibrilasi atrium. Kelebihan adiposa juga merupakan faktor risiko penting progresivitas fibrilasi atrium paroksismal menjadiĀ  permanen yang diiringi dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas.

Overweight dan obesitas meningkatkan risiko terjadinya fibrilasi atrium melalui beberapa mekanisme, termasuk remodeling struktural dan elektrikal dari atrial yang berkontribusi pada terjadinya substrat aritmogenik. Deposit lemak ektopik pada kardiak juga dihubungkan dengan prevalensi dan kecenderungan timbulnya fibrilasi atrium permanen dan bergejala. Mekanisme peningkatan adiposa epikardial dalam meningkatkan kejadian dan keparahan fibrilasi atrium masih belum diketahui secara pasti. Jaringan adiposa epikardial menimbulkan fibrilasi atrium melalui suatu proses remodeling struktural dan elektrikal dari atrium. Mekanisme patofisiologi proses ini melibatkan infiltrasi jaringan adiposa, efek parakrin jaringan adiposa profibrotik dan proinflamasi, serta stres oksidatif.[6]

Obesitas berat juga dikaitkan dengan peningkatan mortalitas pasien dengan henti jantung di rumah sakit, baik karena fibrilasi nonventrikel atau aritmia fibrilasi ventrikel.


Obesitas dan Henti Jantung Mendadak

Pada Framingham Heart Study, rata-rata kematian mendadak tahunan dikatakan 40 kali lipat lebih tinggi pada individu-individu dengan obesitas. Baik obesitas ringan maupun berat dihubungkan dengan risiko terjadinya takikardia ventrikel dan fibrilasi ventrikel yang lebih besar. Terdapat beberapa mekanisme yang menimbulkan hal ini, termasuk di antaranya peningkatan iritabilitas elektrik jantung, abnormalitas potensial aksi, dan adanya gangguan keseimbangan simpatovagal yang menimbulkan disritmia yang lebih sering dan lebih kompleks, walaupun tanpa adanya gejala dan tanda gagal jantung yang nyata.[6]Ā 

Hipertrofi ventrikel kiri sebagai akibat dari obesitas telah terbukti menimbulkan peningkatan ektopi ventrikel. Obesitas juga dikaitkan dengan repolarisasi ventrikel yang tertunda sebagaimana dibuktikan dengan perpanjangan interval QT/QTc, yang telah terbukti secara independen memprediksi mortalitas kardiovaskular.[6]

Obesitas merupakan faktor risiko independen untuk takiaritmia ventrikel pada pasien dengan kardiomiopati iskemik yang ditangani implantable cardioverter defibrilator (ICD). Jaringan adiposa epikardial dilaporkan terkait dengan peningkatan insiden kontraksi ventrikel prematur, takikardia ventrikel/fibrilasi, dan kematian karena kematian jantung mendadak.[6,18]


PENATALAKSANAAN

Terapi untuk mengelola dan mengobati obesitas dan diabetes melitus tipe 2 yang ada saat ini memiliki beberapa kesamaan, mulai dari intervensi gaya hidup, farmakoterapi, dan operasi bariatrik yang semakin populer serta dengan teknik yang semakin maju. Intervensi gaya hidup selalu menjadi pilihan pertama, atau lebih tepatnya, menjadi landasan untuk pengelolaan obesitas dan diabetes melitus tipe 2 dikarenakan biayanya yang murah dan efek samping yang minimal. Inti dari intervensi gaya hidup terletak pada strategi perubahan perilaku, yang meliputi pemantauan mandiri berat badan, kadar glukosa darah, diet, dan aktivitas fisik.[5]

Faktanya, intervensi gaya hidup yang intensif mampu mengurangi kejadian diabetes melitus tipe 2 sebesar 58% selama 3 tahun. Oleh karena itu, pencegahan diabetes melitus tipe 2 pada obesitas menjadi sangat penting untuk mencegah penyakit metabolik dan komplikasi kardiovaskular.[4]

Perubahan pada lingkar pinggang telah direkomendasikan sebagai target terapi yang lebih baik daripada penurunan berat badan, karena penurunan lingkar pinggang dapat terjadi bahkan tanpa adanya penurunan berat badan. Perubahan berat badan tidak cukup sensitif untuk melihat perubahan pada lemak visceral/ektopik yang disebabkan oleh modifikasi gaya hidup pada pasien diabetes melitus tipe 2 dengan obesitas.[6] Penurunan berat badan yang signifikan dari intervensi gaya hidup atau operasi penurunan berat badan mampu menyebabkan banyak perubahan dalam kinerja dan morfologi jantung yang terkait dengan kelebihan adiposa.[6]Ā 

Berbagai strategi tersedia untuk mencegah perkembangan prediabetes menjadi diabetes pada obesitas, setidaknya dalam jangka pendek, yang didasarkan pada olahraga dan diet, farmakologis, dan intervensi lainnya. Dalam setidaknya dua meta-analisis, ditunjukkan bahwa pendekatan yang paling efektif untuk mencegah perkembangan prediabetes menjadi diabetes selama obesitas adalah melalui penurunan berat badan yang signifikan, yang biasanya dikaitkan dengan bariatric metabolic surgery (BMS).[4]

Penurunan berat badan yang dilakukan melalui metode pembedahan mampu mencegah onset gagal jantung serta memperbaiki gejala gagal jantung dan kapasitas olahraga. Pada sebuah studi retrospektif, penurunan berat badan secara pembedahan menurunkan risiko gagal jantung dan perawatan akibat gagal jantung, baik pada gagal jantung dengan penurunan ejeksi fraksi maupun gagal jantung dengan ejeksi fraksi normal.[6,19]

Individu dengan obesitas berat (BMI ≄40 kg/m2) yang memiliki berat badan 100 atau 200 pon (45–90 kg) atau kelebihan berat badan, memiliki masalah kardiovaskular yang lebih kompleks dan menghadapi tantangan yang berbeda dalam sistem perawatan kesehatan.[6]

Akumulasi lemak berlebih di bagian visceral dan ektopik menyebabkan pelepasan faktor proinflamasi lokal dan sistemik yang menyebabkan remodeling ventrikel kiri, hipertrofi konsentrik ventrikel kiri, dan akhirnya gagal jantung diastolik dan sistolik. Identifikasi obesitas risiko tinggi dan keberadaan prekursor subklinis dari gagal jantung struktural/fungsional sangat penting, karena pengobatan yang dimulai pada tahap subklinis dapat mencegah perkembangan gagal jantung dan meningkatkan hasil akhir terapi.[6]

Selain memantau perubahan pada pinggang, pasien yang berisiko tinggi dan mengalami obesitas dengan ciri-ciri sindrom metabolik sangat diuntungkan dengan peningkatan kebugaran kardiorespirasi, yang telah terbukti menjadi faktor pelindung yang kuat terhadap penyakit kardiovaskular pada individu yang mengalami atau tidak mengalami obesitas. Pada individu yang kelebihan berat badan dan obesitas sedang dengan kelebihan adipositas visceral dan lemak ektopik, meningkatkan kualitas nutrisi, meningkatkan tingkat aktivitas fisik, meningkatkan kebugaran kardiorespirasi, dan mengurangi lingkar pinggang adalah hasil yang sangat diharapkan yang dapat memprediksi penurunan risiko penyakit kardiovaskular.[6]

Terdapat tiga pilihan pengobatan untuk individu dengan obesitas berat: (1) terapi modifikasi gaya hidup, (2) farmakoterapi, dan (3) bedah bariatrik. Terapi modifikasi gaya hidup dapat berguna untuk memperbaiki risiko kardiovaskular dan kondisi komorbiditas tetapi sering gagal untuk mencapai penurunan berat badan yang berkelanjutan dan pemulihan metabolisme yang tahan lama. Sebagai contoh, individu dengan obesitas berat yang menjalani intervensi gaya hidup intensif dalam uji coba Look AHEAD (Action for Health in Diabetes) dan berhasil mencapai penurunan berat badan selama 4 tahun sebesar ≄10% dari berat badan awal mengalami perbaikan yang signifikan pada beberapa faktor risiko kardiovaskular bahkan dalam konteks obesitas berat yang menetap.[6]


Penatalaksanaan Farmakologis

Kelas baru terapi penurun glukosa yang awalnya dikembangkan untuk pasien diabetes melitus tipe 2 telah menunjukkan hasil yang menjanjikan untuk pengobatan penyakit jantung terkait obesitas. Agonis reseptor GLP-1 (glucagon-like peptide-1) dan inhibitor SGLT2 (sodium-glucose cotransporter 2) telah menunjukkan efikasi untuk menurunkan berat badan dan mengurangi kejadian kardiovaskular.[6,20]

Kelas baru terapi antidiabetes, seperti inhibitor SGLT-2 dan agonis reseptor GLP-1 (GLP1-RA) telah menunjukkan efek antiobesogenik, baik sebagai monoterapi atau dalam kombinasi, dan kedua agen ini juga mampu memberikan efek menguntungkan pada aterosklerosis dan risiko penyakit kardiovaskular.[4]

Sebuah meta analisis menunjukkan bahwa inhibitor SGLT-2 mampu mengurangi risiko kematian kardiovaskular atau rawat inap untuk gagal jantung sebesarĀ  23% dengan manfaat yang sebanding pada pasien dengan dan tanpa penyakit kardiovaskular aterosklerotik dan pada pasien dengan dan tanpa riwayat gagal jantung. Penurunan risiko relatif (relative risk reduction) sebesar 10% dalam 3 poin kejadian penyakit kardiovaskular utama (kematian kardiovaskular, infark miokardium nonfatal, dan stroke nonfatal) dan pengurangan risiko 13% pada mortalitas kardiovaskular dilaporkan dalam meta analisis pasien dengan diabetes melitus tipe 2 yang menggunakan agonis reseptor GLP-1.[6]

Inhibitor SGLT-2 (dapagliflozin, canagliflozin, dan empagliflozin) dapat menurunkan kadar glukosa plasma dengan cara menghambat reabsorpsi glukosa dan natrium di ginjal, sehingga mengakibatkan glukosuria. Sementara itu, GLP1-RA (misalnya, exenatide, liraglutide, dan semaglutide) memiliki efek untuk menurunkan berat badan dengan efek sekunder pada rasa kenyang, yang melibatkan banyak organ (otak, sistem kardiovaskular, duodenum, dan ginjal). Efek dari kedua obat dalam mengurangi berat badan dan penumpukan lemak, yaitu sekitar ā‰ˆ2,8 kg dan ā‰ˆ4,5 kg pada individu obesitas tanpa diabetes, utamanya disebabkan oleh hilangnya jaringan adiposa subkutan dan visceral.[4]


Penatalaksanaan Operasi

Perawatan bedah untuk obesitas lebih efektif daripada pendekatan medis standar untuk menginduksi penurunan berat badan yang berkelanjutan dan remisi kondisi metabolik/komorbiditas yang tahan lama.[6] Bariatric metabolic surgery (BMS) berhasil menunjukkan kemampuan mencegah diabetes serta mencegah komplikasi mikro dan makroangiopati diabetes, dan untuk mencegah kejadian kardiovaskular.[4]

Sebagai pilihan terapi yang efektif untuk obesitas dan diabetes melitus tipe 2, operasi bariatrik bermanfaat lebih dari sekadar membantu menurunkan berat badan, tetapi juga memulihkan fungsi sel β pankreas dengan mengembalikan fungsi metabolisme dan menormalkan kadar glucagon-like peptide 1 (GLP-1).[5]

Operasi penurunan berat badan ditemukan lebih unggul daripada terapi medis intensif dalam hal kontrol glikemik, penurunan berat badan, penurunan penggunaan obat (antidiabetes, antihipertensi, dan penurun lipid), dan peningkatan kualitas hidup selama masa follow up 5 tahun. Untuk obesitas berat, saat ini pembedahan menjadi pilihan dan satu-satunya modalitas pengobatan yang efektif.[6]Ā 

Berbagai prosedur operasi penurunan berat badan mendorong berkurangnya berat badan melalui 2 mekanisme umum sesuai dengan jenis operasi: (1) operasi restriktif membatasi jumlah makanan yang yang dikonsumsi dengan mengurangi ukuran lambung, dan (2) operasi malabsorptif membatasi penyerapan nutrisi dengan menata ulang atau memotong bagian usus kecil.[6] Sleeve gastrectomy adalah prosedur restriktif paling populer di seluruh dunia. Prosedur ini mendorong penurunan berat badan melalui mengurangi volume makan dan mengurangi nafsu makan.[6]Ā 

Dalam jangka panjang, perawatan bedah obesitas dikaitkan dengan penurunan insiden diabetes melitus tipe 2 dan dengan penurunan angka kematian secara keseluruhan. Dalam Obesitas Swedia Subjects Study, operasi penurunan berat badan menyebabkan penurunan 30% kejadian kardiovaskular dan penurunan 50% kematian kardiovaskular pada individu dengan obesitas berat. [6] Pedoman saat ini mengusulkan penanganan secara bedah untuk orang dewasa dengan BMI ≄40 atau ≄35 kg/m2 dengan komorbiditas terkait obesitas, seperti hipertensi sistemik, diabetes melitus tipe 2, dan obstructive sleep apnea yang sulit dikendalikan dengan gaya hidup dan farmakoterapi.[6]

Penurunan berat badan yang diinduksi oleh prosedur operasi disertai dengan remodeling jaringan adiposa yang luas dan peningkatan sekresi sitokin yang berasal dari jaringan adiposa, dapat diukur mulai dari sekitar 3 bulan dan hingga 1 tahun setelah operasi.[6] Efek jangka panjang melibatkan penurunan berat badan dan remodeling jaringan adiposa termasuk pengurangan ukuran adiposit subkutan dan peningkatan turunan jaringan adiposa sitokin, dikaitkan dengan peningkatan sensitivitas insulin perifer.[6,21]

ree

Gambar 4. Efek jangka pendek dan jangka panjang dari operasi bariatrik.[6]

Ā 

KESIMPULAN

Obesitas merupakan salah satu faktor risiko timbulnya penyakit diabetes, maupun kardiovaskular. Peradangan kronis jangka panjang dan ekspansi jaringan adiposa visceral berkontribusi pada perkembangan dan progresivitas diabetes melitus tipe 2 dengan meningkatkan resistansi insulin, fibrosis, disfungsi adiposit, dan kematian sel. Pencegahan perkembangan penyakit diabetes saat ini dapat dilakukan melalui berbagai pendekatan, seperti modifikasi gaya hidup, penggunaan obat, dan operasi bariatrik atau metabolik yang memiliki efek yang signifikan terhadap penurunan berat badan yang tentunya akan berdampak pula pada pencegahan perkembangan diabetes.Ā 


DAFTAR PUSTAKA

  1. Pandey A, Chawla S, Guchhait P. Type-2 diabetes: Current understanding and future perspectives. International Union of Biochemistry and Molecular Biology Life. 2015;67(7):506-13. doi:10.1002/iub.1396.

  2. Grant B, Sandelson M, Agyemang-Prempeh B, Zalin A. Managing obesity in people with type 2 diabetes. Clin Med (Lond). 2021;21(4):e327-e231. doi:10.7861/clinmed.2021-0370.

  3. Ginsberg HN, MacCallum PR. The obesity, metabolic syndrome, and type 2 diabetes mellitus pandemic: Part I. Increased cardiovascular disease risk and the importance of atherogenic dyslipidemia in persons with the metabolic syndrome and type 2 diabetes mellitus. J Cardiometab Syndr. 2009;4(2):113-9. doi:10.1111/j.1559-4572.2008.00044.x.

  4. La Sala L, Pontiroli AE. Prevention of diabetes and cardiovascular disease in obesity. Int J Mol Sci. 2020;21(21):8178. Published 2020 Oct 31. doi:10.3390/ijms21218178.

  5. Ruze R, Liu T, Zou X, et al. Obesity and type 2 diabetes mellitus: connections in epidemiology, pathogenesis, and treatments. Front. Endocrinol. 2023, 14:1161521.

  6. Piché ME, Tchernof A, Després JP. Obesity phenotypes, diabetes, and cardiovascular diseases [published correction appears in Circ Res. 2020 Jul 17;127(3):e107. doi: 10.1161/RES.0000000000000421]. Circ Res. 2020;126(11):1477-500. doi:10.1161/CIRCRESAHA.120.316101.

  7. Brown OI, Drozd M, McGowan H, et al. Relationship among diabetes, obesity, and cardiovascular disease phenotypes: a UK Biobank Cohort Study.Ā Diabetes Care. 2023;46(8):1531-40. doi:10.2337/dc23-0294.

  8. Al Amiri E, Abdullatif M, Abdulle A, Al Bitar N, Afandi EZ, Parish M, et al. The prevalence, risk factors, and screening measure for prediabetes and diabetes among Emirati overweight/obese children and adolescents. BMC Public Health. 2015, 15:1298.

  9. Sun K, Kusminski CM, Scherer PE. Adipose tissue remodeling and obesity. J Clin Invest (2011) 121(6):2094–101.

  10. Saltiel AR, Olefsky JM. Inflammatory mechanisms linking obesity and metabolic disease. J Clin Invest. 2017, 127(1):1–4.

  11. Kosacka J, Kern M, Klƶting N, Paeschke S, Rudich A, Haim Y, et al. Autophagy in adipose tissue of patients with obesity and type 2 diabetes. Mol Cell Endocrinol (2015) 409:21–32.

  12. Emerging Risk Factors Collaboration, Wormser D, Kaptoge S, et al. Separate and combined associations of body-mass index and abdominal adiposity with cardiovascular disease: collaborative analysis of 58 prospective studies. Lancet. 2011;377(9771):1085-1095. doi:10.1016/S0140-6736(11)60105-0

  13. DesprĆ©s JP. Body fat distribution and risk of cardiovascular disease: an update. Circulation. 2012;126:1301–13.Ā 

  14. Tchernof A, DesprĆ©s JP. Pathophysiology of human visceral obesity: an update. Physiol Rev. 2013;93:359–404.Ā 

  15. Kohlgruber A, Lynch L. Adipose tissue inflammation in the pathogenesis of type 2 diabetes. Curr Diab Rep. 2015;15:92.

  16. Powell-Wiley TM, Poirier P, Burke LE, et al. Obesity and cardiovascular disease: a scientific statement from the American Heart Association.Ā Circulation. 2021;143(21):e984-e1010.

  17. Obokata M, Reddy YNV, Pislaru SV, Melenovsky V, Borlaug BA. Evidence supporting the existence of a distinct obese phenotype of heart failure with preserved ejection fraction. Circulation. 2017;136:6–19.

  18. Fuller B, Garland J, Anne S, Beh R, McNevin D, Tse R. Increased epicardial fat thickness in sudden death1 from stable coronary artery atherosclerosis. Am J Forensic Med Pathol. 2017;38:162–6.Ā 

  19. Shimada YJ, Tsugawa Y, Brown DF, Hasegawa K. Bariatric surgery and emergency department visits and hospitalizations for heart failure exacerbation: population-based, self-controlled series. J Am Coll Cardiol. 2016;67:895–903.

  20. Ghosh RK, Ghosh GC, Gupta M, Bandyopadhyay D, Akhtar T, Deedwania P, Lavie CJ, Fonarow GC, Aneja A. Sodium glucose co-transporter 2 inhibitors and heart failure. Am J Cardiol. 2019;124:1790–6.Ā 

  21. Grenier-Larouche T, Carreau AM, GeloĆ«n A, Frisch F, Biertho L, Marceau S, Lebel S, Hould FS, Richard D, Tchernof A, et al. Fatty acid metabolic remodeling during type 2 diabetes remission after bariatric surgery. Diabetes. 2017;66:2743–55.Ā 

DAPATKAN KABAR TERBARU SEPUTAR DUNIA MEDIS

Anda berhasil mendaftar!

DIKELOLA OLEH PT GLOBAL URBAN ESENSIAL
bottom of page