top of page

Peran Kepatuhan Penggunaan Proton Pump Inhibitor (PPI) dalam Keberhasilan Terapi GERD


Peran Kepatuhan Penggunaan Proton Pump Inhibitor (PPI) dalam Keberhasilan Terapi Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) Sumber: Medicinus Vol. 36 ISSUE 1, APRIL 2023 apt. Puji Rahayu, S.Farm.

Gangguan lambung merupakan salah satu penyebab umum yang menjadi alasan pasien untuk berkonsultasi ke dokter. Salah satu gangguan lambung yang cukup sering dijumpai adalah gastroesophageal reflux disease (GERD), yakni kondisi di mana terjadi aliran balik isi lambung ke arah esofagus yang menyebabkan keluhan dan/atau komplikasi pada penderitanya dan menimbulkan gejala khas berupa heartburn dan regurgitasi. Heartburn ditandai dengan sensasi rasa panas seperti terbakar di dada yang mengarah ke leher, sedangkan regurgitasi merupakan kembalinya isi lambung ke kerongkongan dan mulut yang dapat disertai dengan rasa asam maupun pahit.1 Prevalensi GERD menunjukkan angka yang bervariasi dan berbeda di berbagai bagian dunia dan relatif stabil dari waktu ke waktu, walaupun tampak adanya tren peningkatan yang merepresentasikan fenomena pertumbuhan populasi dan juga penuaan (aging).2

Secara objektif, GERD dapat dijelaskan apabila terdapat tanda-tanda kerusakan mukosa dan/atau abnormalitas esofagus sebagai akibat adanya paparan terhadap asam dari refluks. Tanda kerusakan mukosa akan tampak saat dilakukan endoskopi. Walaupun demikian, GERD juga diketahui dapat menyebabkan manifestasi klinis di luar esofagus (extraesophageal manifestations) seperti batuk, suara serak, laringitis, dan faringitis. Gejala GERD yang relatif tidak spesifik bahkan kadang tumpang tindih dengan gejala penyakit lain yang menjadi salah satu tantangan tersendiri dalam penegakan diagnosis GERD.1 Diagnosis yang tepat akan membantu penderita GERD agar mendapatkan tata laksana yang sesuai untuk memperbaiki gejala dan meningkatkan kualitas hidup, mengingat GERD merupakan salah satu penyakit yang diketahui berdampak signifikan pada penurunan kualitas hidup dalam berbagai aspek, termasuk di dalamnya aspek fisik, emosional, fungsi sosial, dan produktivitas.3

Tata laksana GERD terkini: fokus pada peran PPI Secara umum, pasien dengan gejala klasik GERD berupa heartburn dan regurgitasi yang tidak menunjukkan alarm symptoms (disfagia, penurunan berat badan yang sulit dijelaskan, tanda perdarahan, muntah, dan/atau anemia) akan diberikan terapi empiris dengan obat penghambat pompa proton (proton pump inhibitor/PPI) atau PPI trial sebagai bagian dari proses diagnosis GERD. The American College of Gastroenterology (ACG) merekomendasikan pemberian terapi empiris PPI selama 8 minggu dengan dosis satu kali sehari sebelum makan. Apabila pemberian terapi empiris PPI tidak menghasilkan respons yang diharapkan setelah 8 minggu, PPI trial dihentikan selama 2-4 minggu dan pasien direkomendasikan menjalani tindakan endoskopi untuk menegakkan diagnosis. Endoskopi juga direkomendasikan pada pasien yang mengalami kekambuhan gejala setelah periode PPI trial berakhir.1

Tata laksana GERD melibatkan pendekatan dengan mempertimbangkan berbagai faktor seperti tingkat keparahan gejala yang muncul, temuan endoskopi, serta ada atau tidaknya kelainan fisiologis. Pendekatan terapi yang digunakan meliputi pendekatan nonfarmakologis, terapi farmakologis, pembedahan, atau terapi endoskopi. Pendekatan nonfarmakologis dapat berupa modifikasi gaya hidup dengan pengaturan diet (jenis dan waktu), posisi tubuh saat makan ataupun tidur serta pengelolaan berat badan untuk mencapai berat badan ideal. Beberapa rekomendasi yang disarankan, antara lain program penurunan berat badan pada pasien obesitas, menghindari makan 2-3 jam sebelum tidur, menghindari makanan yang memicu gejala refluks (contoh: kopi, coklat, soda, makanan pedas, asam, dan berlemak), berhenti merokok, serta tidur dengan posisi kepala yang lebih tinggi dan miring ke kiri. Modifikasi gaya hidup yang mendampingi terapi farmakologis diharapkan memberikan outcome klinis yang lebih baik dan konsisten pada penderita GERD.1

Tujuan dari terapi farmakologi untuk pasien GERD adalah mencegah komplikasi dan mengurangi morbiditas pada pasien. Terapi farmakologis yang paling diandalkan dalam tata laksana GERD adalah penggunaan obat yang bekerja untuk netralisasi dan/atau reduksi sekresi asam lambung (acid suppressant), di antaranya seperti penggunaan antasida, proton pump inhibitor (PPI), dan H2 receptor antagonist. PPI merupakan golongan obat yang paling banyak digunakan di antara terapi farmakologis yang tersedia. Hal ini dikarenakan PPI secara konsisten menunjukkan perbaikan gejala heartburn dan regurgitasi, serta penyembuhan yang lebih baik dibandingkan dengan obat golongan H2 receptor antagonist. Berdasarkan hal tersebut, pedoman pengobatan GERD dari The American College of Gastroenterology juga lebih merekomendasikan penggunaan PPI seperti omeprazole, esomeprazole, pantoprazole, lansoprazole, atau rabeprazole untuk terapi erosive esophagitis dibandingkan dengan golongan H2 receptor antagonist seperti ranitidine, cimetidine, atau famotidine.1,4

Rekomendasi yang kuat penggunaan PPI dalam kasus GERD berkaitan erat dengan mekanisme kerja PPI sebagai penghambat produksi asam lambung yang poten. PPI bekerja dengan menghambat H+/K+-ATPase (proton pump) yang terlibat dalam tahapan final sekresi asam lambung. Penghambatan ini bersifat irreversible dan menyebabkan efek penekanan asam lambung yang dihasilkan dari pemberian PPI dapat bertahan lebih lama, walaupun waktu paruh dari golongan obat ini relatif pendek.5

Esomeprazole yang merupakan hasil pemurnian dari senyawa rasemat omeprazole adalah salah satu molekul PPI yang sering digunakan dalam tata laksana GERD. Esomeprazole terbukti poten dan efektif untuk digunakan pada berbagai kasus yang membutuhkan penekanan produksi asam lambung seperti terapi GERD, pencegahan dan terapi pada ulkus lambung akibat penggunaan obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS), pengobatan infeksi Helicobacter pylori, ulkus duodenum, sindrom Zollinger-Ellison, serta pada kasus perdarahan saluran cerna bagian atas. Berbagai penelitian membuktikan bahwa esomeprazole secara efektif dapat mengurangi gejala GERD dan meningkatkan pH intragastric yaitu dapat mencapai pH>4 lebih cepat serta bertahan lebih lama dibandingkan dengan PPI lainnya dalam dosis standar. Selain itu, esomeprazole memiliki profil tolerabilitas yang baik dengan potensi interaksi obat yang lebih rendah dibandingkan dengan senyawa rasemat induknya, omeprazole.5,6

Hingga saat ini, PPI masih menjadi landasan dalam tata laksana GERD. Namun, pada sekitar 20-42% kasus, pemberian PPI tidak memberikan respons seperti yang diharapkan, yang ditandai dengan gejala refluks yang persisten, munculnya gejala baru, ataupun terjadinya perburukan seperti esofagitis. Hal ini dikarenakan respons pasien terhadap PPI dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti variasi intrinsik metabolisme PPI, adanya non-acid reflux, bile reflux, hipersensitivitas visceral, dan penundaan pengosongan lambung. Selain faktor-faktor tersebut, faktor lain yang juga menyebabkan terjadinya kegagalan terapi dengan PPI yaitu ketidakpatuhan pasien terhadap pengobatan (noncompliance). Menurut WHO, penggunaan obat yang rasional tidak hanya memerlukan peresepan yang tepat, namun juga memerlukan kerja sama pasien untuk patuh dalam penggunaan obat serta menaati petunjuk dokter dan tenaga kesehatan lain terkait pengaturan diet, perubahan gaya hidup, serta jadwal kontrol ke dokter.7

Upaya meningkatkan kepatuhan penggunaan obat untuk mencapai keberhasilan pengobatan GERD Kepatuhan pasien dalam menggunakan obat dan perubahan gaya hidup adalah poin yang sangat penting untuk menunjang keberhasilan terapi GERD. Terdapat banyak faktor yang memengaruhi tingkat kepatuhan pasien terhadap pengobatan, antara lain:

  • faktor demografis,

  • kemampuan finansial,

  • kurangnya pengetahuan pasien akan penyakit GERD, meliputi: perjalanan penyakit, keparahan penyakit, dan potensi terjadinya komplikasi penyakit GERD,

  • kurangnya pengetahuan terhadap terapi (dapat disebabkan karena tingkat pendidikan yang kurang baik), aturan pemakaian dan efek samping penggunaan obat, serta penggunaan terapi lain yang bersamaan untuk penyakit penyerta,

  • hubungan antara pasien dengan tenaga kesehatan yang kurang solid,

  • faktor penyedia layanan, misalnya kurang kompeten, kurang empatik,

  • aktor fasilitas kesehatan, seperti pedoman formularium,

  • faktor sosial dan budaya,

  • preferensi pasien,

  • penggunaan obat-obatan over the counter (OTC) atau pengobatan alternatif.7

Ketidakpatuhan dalam penggunaan obat dapat berupa pemakaian obat yang tidak teratur, pemakaian obat di luar waktu yang ideal, atau penghentian terapi obat. Terdapat kecenderungan di mana dijumpai pasien berusia lanjut memiliki kepatuhan yang relatif baik dibandingkan dengan pasien usia muda. Pasien GERD yang bergejala dan menunjukkan keparahan yang lebih berat mempunyai tingkat kepatuhan menggunakan obat yang lebih tinggi. Tingkat kepatuhan penggunaan obat yang rendah sangat berpengaruh terhadap kegagalan terapi PPI, yang akan berakibat pada meningkatnya biaya kesehatan dan terjadinya komplikasi yang lebih berat pada kemudian hari, seperti terjadinya stricture, ulserasi, perforasi, metaplasia (Barrett’s esophagus), serta keganasan seperti esophageal carcinoma.4,7

Permasalahan terkait kepatuhan penggunaan obat, termasuk PPI, perlu ditangani sesuai dengan penyebabnya. Edukasi dan pemantauan penggunaan obat oleh tenaga kesehatan dapat membantu meningkatkan pemahaman pasien serta menemukan berbagai kendala yang terjadi saat menggunakan obat. Tenaga kesehatan berempati ketika menjelaskan tentang penyakit dan tujuan penggunaan obat serta melakukan follow up saat konsultasi kembali. Komunikasi yang dijalin antara tenaga kesehatan dengan pasien sebaiknya berpusat pada pasien dengan cara:

  • menggali, memahami, dan memvalidasi perspektif pasien, misalnya kekhawatiran, perasaan, atau harapan,

  • memahami konteks psikologis dan sosial pasien,

  • mencapai pemahaman bersama tentang masalah pasien dan pengobatannya, dan

  • melibatkan pasien dalam pemilihan dan pengambilan keputusan terkait kesehatannya.

Komunikasi yang berpusat pada pasien secara positif akan memengaruhi kepuasan pasien, ingatan, pemahaman, serta kepatuhan yang berujung pada meningkatnya peluang mencapai keberhasilan terapi.8

Secara khusus untuk pasien yang menerima terapi PPI, tenaga kesehatan perlu memberikan informasi bahwa penggunaan PPI akan memberikan hasil yang optimal bila diberikan setidaknya 30 menit sebelum makan. Sebagian tenaga kesehatan berpandangan bahwa hubungan antara penggunaan PPI dan makanan ini tidak bermakna sehingga seringkali PPI diberikan sebelum tidur tanpa menambahkan informasi perlu diberi jarak yang cukup dengan waktu makan terakhir. Faktanya, asupan makanan akan menstimulasi produksi asam dan aktivitas pompa proton oleh sel parietal, dan PPI hanya dapat berikatan pada pompa proton yang sedang aktif mengeluarkan asam lambung. Untuk itu, pemberian PPI 30 menit sebelum makan akan menghasilkan efek penghambatan pompa proton yang lebih optimal.1,7 Jika dengan pemakaian yang benar serta kepatuhan minum obat yang baik gejala GERD masih berlanjut, maka sebagai alternatif, PPI dapat ditingkatkan dosisnya dan diberikan dua kali sehari (30 menit sebelum sarapan pagi dan 30 menit sebelum makan malam). Penggantian dari PPI yang satu menjadi PPI jenis lain (switching) dapat dilakukan apabila pemberian PPI awal dinilai tidak memberikan respons seperti yang diharapkan. Namun, bila switching juga tidak mampu menghasilkan respons yang diinginkan, ACG tidak mendukung dilakukannya switching ke jenis PPI lainnya lagi. GERD yang tidak responsif, dinilai dari heartburn dan/atau regurgitasi yang persisten bahkan setelah 4-8 minggu terapi menggunakan double-dose PPI, dapat dikategorikan sebagai refractory GERD.1,7


Kesimpulan Tata laksana GERD melibatkan pendekatan yang komprehensif, meliputi modifikasi gaya hidup dan terapi menggunakan obat-obatan untuk mengurangi gejala. PPI menjadi golongan obat yang paling diandalkan untuk mencapai keberhasilan pengobatan GERD. Penggunaan PPI pada kasus GERD memerlukan edukasi dan pemantauan terapi untuk memastikan kepatuhan penggunaan obat. Diagnosis yang tepat, terapi yang efektif, pendampingan pasien dalam modifikasi gaya hidup, serta mendorong kepatuhan dalam menggunakan obat merupakan bagian dari peran tenaga kesehatan yang sangat penting dalam mendukung keberhasilan terapi. Komunikasi antara tenaga kesehatan dengan pasien hendaknya berpusat pada pasien dengan mempertimbangkan perspektif dan value serta melibatkan pasien dalam pengambilan keputusan terkait pengobatan.


DAFTAR PUSTAKA

  1. Katz PO, et al. ACG Clinical Guideline for the Diagnosis and Management of Gastroesophageal Reflux Disease. Am J Gastroenterol. 2022;117:27–56.

  2. GBD 2017 Gastro-oesophageal Reflux Disease Collaborators. The global, regional, and national burden of gastrooesophageal reflux disease in 195 countries and territories, 1990–2017: a systematic analysis for the Global Burden of Disease Study 2017. Lancet Gastroenterol Hepatol. 2020;5:561–81.

  3. Quigley EMM and Hungin APS. Review article: quality-of-life issues in gastro-oesophageal reflux disease. Aliment Pharmacol Ther. 2005; 22(Suppl. 1):41–7.

  4. Patti MG. Gastroesophageal Reflux Disease. 2021. (cited 2022, Feb 3). Available from: https://emedicine.medscape.com/ article/176595-overview.

  5. Shin JM and Sachs G. Pharmacology of Proton Pump Inhibitors. Curr Gastroenterol Rep. 2008;10(6):528–34.

  6. McKeage K, et al. Esomeprazole a review of its use in the management of gastric acid-related disease in adults. Drugs. 2008;68(11):1571-607.

  7. Domingues G & Moraes-Filho JPP. Noncompliance is an impact factor in the treatment of gastroesophageal reflux disease. Expert Rev. Gastroenterol. Hepatol. 2014;8(7):761–5.

  8. Klenzak S, et al. Management of gastroesophageal reflux disease: Patient and physician communication challenges and shared decision making. World J Clin Cases. 2018;6(15):892–900.

bottom of page