top of page

Tata Laksana Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) dalam Masa Pandemi COVID-19



Haryanto Surya

Ahli Penyakit Dalam Siloam Hospital, Lippo Village, Tangerang


Abstrak

Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) merupakan gejala atau komplikasi dari aliran balik isi lambung ke arah esofagus sampai ke rongga mulut dan dapat juga mengiritasi saluran pernapasan. Tingkat keparahan dari GERD ditentukan oleh durasi paparan esofagus dan organ lainnya oleh asam lambung. Durasi paparan tersebut dipengaruhi oleh kemampuan pengosongan esofagus. Proton pump inhibitor (PPI) masih dianggap sebagai terapi empiris yang superior dibandingkan terapi lain untuk mengatasi gejala GERD. Terdapat beberapa isu terkait penggunaan PPI yang menyebabkan kekhawatiran dalam pemberian terapi PPI di masa pandemi Covid-19, seperti yang menyatakan bahwa penggunaan PPI berisiko meningkatkan keparahan pneumonia, berpotensi menyebabkan terjadinya secondary infection, hingga terjadinya ARDS. Sejauh terapi dengan PPI telah dinilai dengan seksama melalui penilaian risiko yang menyeluruh, penggunaan PPI selama masa pandemi Covid-19 dapat dilakukan pada indikasi yang sesuai menggunakan dosis efektif terendah untuk mencapai kontrol pH lambung dan kualitas hidup yang baik pada penderita GERD.


Kata Kunci: Gastroesophageal Reflux Disease, GERD, Covid-19, Proton Pump Inhibitor, PPI


PENDAHULUAN

Hingga menjelang akhir tahun 2020, pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) masih terus mengalami peningkatan secara signifikan, termasuk di Indonesia. Berdasarkan laporan dari World Health Organization (WHO) pada pertengahan Oktober 2020, terdapat 38,3 juta kasus yang dilaporkan terjadi di seluruh dunia dengan lebih dari 340 ribu kasus dilaporkan tercatat di Indonesia.1,2


Walaupun banyak dikaitkan dengan manifestasi gangguan pernapasan, Covid-19 juga banyak dilaporkan menimbulkan gejala berupa MEDICAL REVIEWDESEMBER 2020 VOL. 33 ISSUE 3 medicinus 75 MEDICAL REVIEW gangguan di saluran cerna. Keterkaitan antara Covid-19 dengan manifestasi gejala pada saluran gastrointestinal adalah karena banyak ditemukan ekspresi enzim angiotensin-converting 2 (ACE2) yang merupakan entry point utama masuknya virus SARS-CoV-2 pada sel epitelial saluran gastrointestinal.5


Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) menjadi masalah klinis yang umum dialami oleh jutaan orang di dunia, termasuk di Amerika Utara dengan estimasi angka kejadian 18,1-27,8%.3 Di Asia Tenggara, angka kejadian GERD pada tahun 2005 mencapai 6,3-18,3%, di mana angka kejadian di Indonesia hampir mencapai 3% dari seluruh populasi.4 GERD didefinisikan sebagai gejala atau komplikasi dari

aliran balik isi lambung yang bersifat asam ke arah esofagus sampai ke rongga mulut dan dapat juga mencapai dan mengiritasi saluran pernapasan.3,5

Hingga saat ini, terapi farmakologis yang diandalkan dalam penatalaksanaan GERD, sebagai salah satu gangguan pada gastrointestinal, masih didominasi oleh golongan proton pump inhibitor (PPI) yang diberikan secara empiris.6 Dalam situasi pandemi Covid-19 ini, cukup banyak studi untuk mengamati keterkaitan penggunaan beberapa terapi farmakologis yang dapat memengaruhi risiko infeksi SARS-CoV-2, salah satunya adalah penggunaan PPI.7 Oleh karena itu, tulisan ini akan membahas terkait tata laksana terkini GERD dan penggunaan PPI dalam masa pandemi Covid-19.


PATOFISIOLOGI

Penyakit GERD ditandai dengan adanya aliran balik isi lambung yang bersifat asam menuju ke esofagus. Dalam sebagian kasus, fenomena terjadinya refluks isi lambung dapat dianggap normal, namun fenomena ini dapat dicurigai sebagai gejala GERD saat paparan terhadap esofagus terjadi. Pada kondisi normal, terjadinya refluks dapat dicegah oleh barrier antirefluks, yang dinamakan sebagai zona pendukung dari katup penutup gastroesogafus. Apabila terjadi gangguan pada komponen-komponen tersebut, maka refluks akan lebih sering terjadi dan menyebabkan esofagus lebih sering terpapar oleh cairan lambung yang sangat asam. Apabila terjadi terus-menerus, maka komplikasi dari penyakit GERD dapat terjadi seperti inflamasi, erosi esofagus bahkan perforasi.8


Gambar 1. Tampilan skematik dari esofagus.9



Gangguan yang terjadi pada lower esophageal sphincter (LES) umumnya menjadi penyebab primer terjadinya GERD. Meskipun banyak faktor lain yang mungkin juga ikut berperan, namun yang paling umum terjadi adalah terjadinya relaksasi pada bagian bawah LES atau yang disebut sebagai transient lower esophageal Sphincter Relaxations (TSLERs).3 Lower esophageal sphincter (LES) merupakan lapisan otot pada bagian distal esofagus yang menjaga tekanan pada bagian atas esofagus lebih tinggi dibandingkan tekanan intraabdominal, sehingga mencegah terjadinya refluks isi lambung (gambar 1).9 Frekuensi dari terjadinya refluks asam lambung dapat meningkat pada saat fase postprandial. Begitu juga dengan adanya faktor fisiologis lain seperti hiatal hernia, gangguan pada proses pengosongan esofagus, serta terjadinya penundaan dalam pengosongan isi lambung.3


Ketika refluks terjadi, gejala dan luka yang terbentuk dipengaruhi oleh durasi paparan esofagus oleh isi lambung serta tingkat keasaman dari isi lambung yang kembali naik ke esofagus. Durasi lamanya esofagus terpapar isi lambung dipengaruhi oleh efektivitas dari pembersihan esofagus yang melibatkan proses peristaltik, salivasi, dan ada atau tidaknya hiatus hernia.8


Durasi lamanya mukosa esofagus terpapar oleh cairan isi lambung disebut sebagai reflux exposure time or bolus contact time. Adanya paparan tersebut dapat menyebabkan iritasi yang menyebabkan luka ataupun inflamasi. Bagaimanapun juga, ambang batas sensasi nyeri dan inflamasi yang muncul dipengaruhi oleh integritas dari epitel masing-masing individu. Hingga saat ini, upaya pertama yang dilakukan saat refluks terjadi berfokus pada penyesuaian pH dari cairan lambung.8


Gangguan pada pengosongan esofagus dapat disebabkan oleh proses peristaltik yang tidak berjalan dengan baik, sehingga pengembalian isi lambung yang naik akibat refluks menjadi terhambat. Sedangkan, saliva yang mengandung bikarbonat sebagai buffer asam dan growth factor, apabila berkurang maka fungsinya untuk penetralisasi pH dan untuk pengosongan esofagus akan terganggu. Hal ini umum terjadi pada saat tidur malam.8


GEJALA GERD

Pasien dengan keluhan GERD dapat dikenali dengan melihat gejala umum maupun atipikal yang muncul. Umumnya, gejala yang paling sering muncul adalah dada terasa panas dan terbakar (heartburn) serta sering diasosiasikan dengan rasa masam di bagian belakang mulut dengan atau tanpa regurgitasi dari refluks. GERD juga merupakan penyebab umum kasus-kasus noncardiac chest pain (NCCP), sehingga penting untuk membedakan antara nyeri dada yang mungkin disebabkan karena gangguan jantung atau yang disebabkan oleh etiologi lain berdasarkan algoritma diagnosis agar dapat memberikan penanganan yang tepat.12


Meskipun gejala umum GERD sangat mudah dikenali, manifestasi extraesophageal juga sering terjadi, akan tetapi tidak selalu dikenali. Sindrom extraesophageal meliputi beberapa area, termasuk antara lain paru (asma, batuk kronis, bronkiolitis obliterans, pneumonia, dan fibrosis). Gangguan respirasi menjadi salah satu sindrom yang paling menantang pada GERD.3


Sangat penting untuk melakukan screening alarm symptoms pada pasien GERD yang kemudian akan menentukan apakah pasien perlu menjalani endoskopi atau tidak. Alarm symptoms meliputi beberapa hal, yaitu:11

1. Gejala GERD yang menetap atau semakin parah meskipun terapi sudah tepat

2. Dysphagia dan odynophagia

3. Penurunan BB yang tidak dapat dijelaskan lebih dari 5%

4. Perdarahan saluran cerna atau anemia

5. Adanya massa, penyempitan, atau ulkus pada imaging studies

6. Muntah yang terus menerus (7-10 hari)

7. Screening Barret’s esophagus pada pasien dengan kriteria tertentu


Gejala GERD seharusnya dianggap berbeda dari dispepsia. Dispepsia diartikan sebagai ketidaknyamanan epigastrik tanpa rasa terbakar pada dada atau regurgitasi asam, dan berlangsung lebih dari sebulan. Dispepsia dapat diasosiasikan dengan kembung, sendawa, mual, dan muntah. Dispepsia adalah entitas yang mungkin ditangani secara berbeda dari GERD dan mungkin memerlukan evaluasi endoskopi, termasuk uji Helicobacter pylori. 12


DIAGNOSIS


GERD umumnya didiagnosis secara klinis dengan gejala umum dan respons terhadap penekanan asam. Rasa terbakar pada dada dengan atau tanpa regurgitasi umumnya cukup untuk menduga GERD, terutama saat gejalanya semakin parah setelah makan siang atau saat pasien berada dalam posisi telentang. Terapi empiris PPI umum diberikan kepada pasien GERD, dengan berdasarkan gejala yang dialami. Investigasi lebih lanjut diperlukan saat terjadi kegagalan dalam terapi yang diberikan, diagnosis yang tidak pasti, dan adanya komplikasi yang dialami. Investigasi lanjutan dapat berupa endoskopi, esophageal HRM, disertai dengan kontrol pH pasien dengan rawat jalan12


Diagnosis GERD umumnya berdasarkan klasifikasi Montreal dan yang terbaru menggunakan Konsensus Lyon. Konsensus Lyon menyediakan kerangka untuk penilaian klinis dan uji fungsi esofagus yang menggambarkan fenotipe GERD tiap individu. Beberapa tes MEDICAL REVIEWDESEMBER 2020 VOL. 33 ISSUE 3 medicinus 77 MEDICAL REVIEW diagnostik yang bisa dilakukan yaitu endoskopi, esofagus HRM, dan monitoring pH ambulatory. Sebaliknya, radiografi barium sudah tidak dianjurkan lagi untuk digunakan dalam mendiagnosis GERD. Monitoring pH ambulatory dianggap sebagai gold standard dalam diagnosis refluks asam, karena memungkinkan kita untuk mendeteksi kejadian refluks asam dan korelasinya terhadap gejala yang timbul. Ini bisa membantu mengarahkan diagnosis pada pasien simtomatik dengan temuan endoskopik normal. Monitoring pH ambulatory dapat dilaksanakan dengan reprodusibilitas (84-93%), sensitivitas (96%), dan spesifisitas (96%) yang baik. Untuk menyelesaikan tesnya, satelit pH (kateter atau kapsul nirkabel) diletakkan dalam esofagus selama 24-48 jam. Persen waktu dengan pH esofagus di bawah 4 menjadi parameter utama dalam diagnosis GERD. Keunggulannya adalah dapat mendeteksi perubahan pH saat berdiri dan telentang. Lebih jauh lagi, satelit pH dapat merekam jumlah kejadian refluks, tingkat proksimal refluks, serta durasi refluks. Tes ini dapat dilakukan dengan atau tanpa terapi PPI.3,12


GEJALA SISTEM PENCERNAAN DAN COVID-19

Ditemukannya reseptor ACE2 di saluran pencernaan pada pasien terinfeksi SARS-CoV-2 (Covid-19) menjadi suatu hal yang menjadi perhatian. Reseptor ACE2 banyak ditemukan pada hidung, orofaring, bronkial, paru-paru, ginjal dan juga pada usus, yakni ditemukan pada bagian serabut enterosit usus halus.10


Gambar 2. Mekanisme ikatan SARS-CoV-2 pada reseptor ACE210


Struktur S (bagian S1 &S2) menjadi struktur utama dari virus SARS-CoV-2 yang akan berinteraksi dengan reseptor ACE2. Letak reseptor ACE2 berdampingan dengan transporter asam amino B0AT1, yang merupakan transporter esensial asam amino ke dalam enterosit. Saat terjadi penyumbatan pada ACE2, terjadi malfungsi transportasi asam amino, sehingga menyebabkan defisiensi triptofan dan penurunan produksi peptida antimikroba.10


TERAPI

Mayoritas pasien GERD hingga saat ini menerima terapi empiris dengan pengobatan proton pump inhibitor (PPI). Jika pasien memiliki gejala yang persisten dan cukup tinggi tingkat keparahannya (disfagia, anoreksia, penurunan berat badan secara drastis) dianjurkan untuk dilakukan investigasi lebih lanjut dengan endoskopi.6


Modifikasi Gaya Hidup

Pedoman untuk memodifikasi gaya hidup masih menjadi pilihan terapi nonfarmakologis pada pasien GERD. Rokok, coklat, minuman bersoda, bawang, makanan pedas, dan alkohol seringkali menjadi pembahasan dalam penanganan pasien GERD. Faktanya systematic review menyatakan bahwa, mengurangi hal-hal tersebut belum cukup untuk membantu memperbaiki parameter klinis dan fisiologis pasien GERD.6


Tabel 1. Modalitas Terapi GERD6


Obesitas menjadi faktor risiko utama yang dapat memperburuk kondisi GERD. Peningkatan berat badan dapat memperburuk gejala GERD, sebaliknya penurunan berat badan terbukti sebagai salah satu modifikasi gaya hidup yang mampu memperbaiki keluhan GERD. Modifikasi gaya hidup lain yang dapat diterapkan antara lain menaikkan posisi kepala saat tidur serta menghindari makan selama rentang waktu 3 jam sebelum tidur malam.6


Terapi Farmakologis

GERD yang belum tertangani dengan modifikasi gaya hidup membutuhkan terapi dengan agen farmakologis. Pilihan obat seperti golongan antasida, histamine 2 receptor antagonist (H2RA), proton pump inhibitor (PPI), dan sucralfate bisa diberikan. Sampai saat ini, PPI masih menjadi pilihan terapi farmakologis yang efektif dan direkomendasikan oleh pedoman pengobatan untuk GERD. Penelitian menunjukan bahwa terapi PPI lebih superior dibandingkan dengan terapi H2RA dalam meringankan gejala erosive esophagitis (EE) maupun nonerosive reflux disease (NERD).6


Esomeprazole merupakan salah satu PPI yang menghasilkan peningkatan perbaikan kondisi klinis pasien erosive esophagitis lebih tinggi 5 dan 10% dalam 4 dan 8 minggu dibandingkan dengan PPI lain (omeprazole, lansoprazole, dan pantoprazole). Terapi dengan esomeprazole memberikan angka kesembuhan sebesar 57-80% pada pasien dengan EE dan sebesar 50% pada pasien NERD.6

Tabel 2. Terapi PPI terkini6


Optimalisasi Terapi PPI

Optimalisasi pemberian terapi PPI harus dilakukan ketika terapi sebelumnya tidak maksimal, dan terjadi refractory GERD. Hal utama yang harus dilakukan adalah mengedukasi pasien mengenai kepatuhan pasien dalam mengonsumsi obat PPI. Waktu meminum obat PPI yang tepat juga cukup penting untuk diedukasikan kepada pasien. Banyak pasien yang mengabaikan waktu optimal untuk mengonsumsi PPI, yakni 30 menit sebelum makan, namun tidak sedikit pasien yang mengonsumsi lebih dari 1 jam sebelum makan, saat makan, atau sebelum tidur. Salah satu strategi dalam mengontrol pH intragastric dengan terapi PPI adalah dengan membaginya menjadi beberapa dosis. Akan tetapi, strategi tersebut memiliki risiko terhadap penurunan kepatuhan pasien.6


PPI & Covid-19

Salah satu fungsi fisiologis dari asam lambung adalah sebagai barrier pertahanan yang dapat membantu membunuh mikroorganisme yang masuk melalui saluran cerna, sehingga kemudian bisa menghambat agen penginfeksi untuk mencapai usus dan menyebabkan penyakit. Oleh karena itu, asam lambung dapat dianggap sebagai garda terdepan dalam mekanisme pertahanan terhadap patogen. Beberapa penelitian yang dipublikasikan pada masa pandemi Covid-19 ini menyatakan bahwa konsumsi PPI berisiko meningkatkan kerentanan terhadap virus.7 Meskipun demikian, hubungan sebab akibat yang mutlak belum dapat ditentukan, mengingat proses infeksi merupakan proses multifaktorial.14 Sejauh terapi dengan PPI telah melalui penilaian rasio manfaat dibanding risiko secara menyeluruh, PPI tetap dapat diberikan pada indikasi yang sesuai dengan menggunakan dosis efektif terendah, untuk mencapai kontrol pH lambung dan kualitas hidup yang baik pada pasien GERD.14,7Pasien yang dalam terapi dengan PPI juga harus diedukasi untuk menerapkan protokol pencegahan infeksi dengan disiplin serta menerapkan pola hidup bersih dan sehat.


KESIMPULAN


Penegakkan diagnosis GERD semestinya dilakukan dengan tepat untuk mampu memberikan tata laksana yang efektif. Munculnya sensasi dada terasa seperti terbakar dan panas, menjadi peringatan pertama pasien mengalami GERD, terlebih apabila pasien merasakan gejala tersebut segera setelah makan atau saat pasien sedang dalam posisi tidur. Frekuensi munculnya rasa masam pada bagian esofagus menjadi peringatan lainnya yang membantu mengarahkan diagnosis awal dari GERD.


Modifikasi gaya hidup pasien, dimulai dari pola makan, penyesuaian berat badan, serta membatasi makan makanan yang dapat memacu sekresi asam lambung direkomendasikan untuk disampaikan kepada pasien yang membutuhkan. Adapun terapi empiris segera dapat diberikan ketika diagnosis GERD sudah ditegakkan. Pemberian PPI terbukti superior untuk menangani GERD dibandingkan dengan pemberian H2RA. Waktu optimal untuk konsumsi PPI, yaitu 30 menit sebelum makan, menjadi hal penting yang perlu dipahami oleh pasien, agar tujuan terapi dapat tercapai secara optimal.


Terkait kekhawatiran penggunaan PPI di masa pandemi Covid-19, direkomendasikan untuk melakukan penilaian rasio manfaat dan risiko yang menyeluruh pada pasien. Sejauh sesuai dengan indikasi, dan menggunakan dosis efektif terendah, terapi PPI tetap dapat diberikan di masa pandemi Covid-19 untuk memperbaiki gejala dan meningkatkan kualitas hidup pasien GERD, disertai edukasi untuk penerapan protokol pencegahan infeksi.


DAFTAR PUSTAKA

  1. World Health Organization (WHO). Coronavirus Disease (Covid-19): Global Epidemiological Situation. Available from https://www.who.int/emergencies/diseases/novel-coronavirus-2019/situation-reports cited Oct 16th 2020.

  2. World Health Organization (WHO). Coronavirus Disease (Covid-19) Indonesia Situation Report–29. Available from https://www.who.int/docs/default-source/searo/indonesia/who-situation-report-29.pdf?sfvrsn=9cef81ce_2 cited Oct 16th 2020.

  3. Clarrett DM & Hachem C. Gastroesophageal Reflux Disease (GERD). Mo Med. 2018 115(3):214–8.

  4. Hapsari FCP, Putri LA, Rahardja C, Utari AP, Syam AF. Prevalence of Gastroesophageal Reflux Disease and its Risk Factors in Rural Area. The Indonesian Journal of Gastroenterology, Hepatology and Digestive Endoscopy 2017;18(1): 9-14.

  5. Yang L and Tu L. Implications of Gastrointestinal Manifestations of Covid-19. Lancet Gastroenterol Hepatol. 2020;5(7):629–30.

  6. Sandhu DS and Fass R. Current Trends in the Management of Gastroesophageal Reflux Disease. Gut Liver 2018;12(1):7- 16.

  7. Charpiat B, Bleyzac N, Tod M. Proton Pump Inhibitors are Risk Factors for Viral Infections: Even for Covid-19? Clin Drug Investig. 2020:1-3.

  8. Tack J and Pandolfino JE. Pathophysiology of Gastroesophageal Reflux Disease. Gastroenterology 2018;154(2):277- 88.

  9. Mikami DJ and Murayama KM. Physiology and Pathogenesis of Gastroesophageal Reflux Disease. Surg Clin North Am 2015;95(3):515-25.

  10. Monkemuller K, Fry L, Rickes S. Covid-19, Coronavirus, SARS-CoV-2 and the Small bowel. Rev Esp Enferm Dig 2020;112(5):383-8.

  11. Cahill M. Alarm Symptoms of Gastroesophageal Reflux Disease (GERD). Available from https://www.oregonclinic.com/ node/2633 cited Oct 16th 2020.

  12. Ang D, Lee YY, Clarke JO, et al. Diagnosis of Gastroesophageal Reflux: an Update on Current and Emerging Modalities. Annals of the New York Academy of Sciences 2020:1-20.

  13. Ouali SE, Achkar J, Lashner B, Reguerio M. Gastrointestinal Manifestations of Covid-19. Cleveland Clinic Journal of Medicine 2020;87(10):1-4.

  14. Luxenburger H, Sturm L, Biever P, et al. Treatment with Proton Pump Inhibitors increases the risk of secondary infections and ARDS in hospitalized patients with Covid-19: coincidence or underestimates risk factor? Journal of Internal Medicine 2020:1-4


Sumber: Medicinus Desember 2020 vol. 33 issue 3

52 tampilan
bottom of page