top of page

Profil Pasien Infeksi Menular Seksual di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Moewardi Surakarta Periode Januari 2016-Desember 2020



Profil Pasien Infeksi Menular Seksual di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Moewardi Surakarta Periode Januari 2016-Desember 2020

Sumber: Medicinus Vol. 36 ISSUE 3, DECEMBER 2023


Achmad Satya Negara, Ammarilis Murastami

Bagian/KSM Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Moewardi, Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret, Surakarta


Abstrak

Latar belakang: Infeksi menular seksual (IMS) merupakan infeksi yang disebabkan oleh bakteri, virus, maupun parasit yang sebagian besar ditularkan melalui hubungan seksual secara vaginal, anal, atau oral. Prevalensi IMS di seluruh dunia diperkirakan mencapai 333 juta kasus per tahun dan setiap hari terjadi lebih dari 1 juta kasus IMS. Pelaporan data IMS saat ini diestimasikan hanya mewakili 50-80% dari total keseluruhan penyakit IMS di Amerika Serikat, yang mencerminkan keterbatasan screening, kurangnya informasi mengenai transmisi penyakit, serta rendahnya tingkat pelaporan data. Data mengenai IMS penting diketahui sebagai bahan kajian perencanaan dalam upaya pencegahan dan pengendalian penyakit. Tujuan: Mengetahui profil penyakit IMS di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Moewardi periode Januari 2016 sampai Desember 2020. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian retrospektif dengan menggunakan data sekunder berupa rekam medis dan buku registrasi di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Moewardi, Surakarta, periode Januari 2016 - Desember 2020. Hasil: Didapatkan jumlah kasus baru IMS rawat jalan di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Moewardi sebanyak 275 kasus selama 5 tahun terakhir. Terdapat 192 kasus kondiloma akuminata, 16 kasus ulkus genital, 35 kasus keluarnya cairan dari genitalia laki-laki, dan 20 kasus keluarnya cairan dari genitalia perempuan. Kesimpulan: Penderita IMS yang berobat di RSUD Dr. Moewardi mayoritas berjenis kelamin laki-laki dengan diagnosis terbanyak adalah kondiloma akuminata. Data ini dapat menjadi acuan dalam upaya pengendalian IMS dengan meningkatkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang, serta memberikan edukasi terkait tindakan preventif pada pasien.

Kata kunci: IMS, kondiloma akuminata, ulkus genital, cairan genitalia


Abstract

Background: Sexually transmitted infections (STIs) are infections caused by bacteria, virus, and parasites that are transmitted predominantly through vaginal, anal, or oral sex. The prevalence of STIs worldwide is estimated at 333 million cases per year and there are more than 1 million cases of STIs everyday. Current reported STI data is estimated to represent only 50-80% of all STIs in the United States, reflecting limitations on screening, lack of information on disease transmission, and data underreporting. STIs data is important input in planning studies regarding disease control and prevention. Aim: To know profile of sexually transmitted infections in the dermatovenereology outpatient clinic RSUD Dr. Moewardi, Surakarta, January 2016- December 2020. Methods: This is a retrospective study using secondary data from medical records and registration books in the dermatovenereology outpatient clinic RSUD Dr. Moewardi, Surakarta, January 2016- December 2020. Result: The number of new STIs cases in dermatovenereology outpatient clinic RSUD Dr. Moewardi, Surakarta, in the study period was 275 cases. There were 192 cases of condyloma acuminatum, 16 cases of genital ulcers, 35 cases of genital discharge in men, and 20 cases of genital discharge in women. Conclusion: Most STIs patients in this study were men and the most common diagnosis were condyloma acuminatum. The result of this study could be beneficial for further disease prevention and control plan by history taking, physical examinationand supporting examinations, and also desease prevention education.

Keywords: STIs, condyloma acuminatum, genital ulcers, genital discharge


Pendahuluan

Infeksi menular seksual (IMS) merupakan infeksi yang ditularkan melalui hubungan seksual, baik secara vaginal, anal, maupun oral. IMS menjadi salah satu dari lima jenis penyakit terbanyak di seluruh dunia yang paling sering membutuhkan pengobatan medis.1 Infeksi menular seksual juga dapat ditularkan dari ibu ke anak saat proses kehamilan atau melahirkan, melalui transfusi darah atau prosedur medis seperti pemindahan jaringan. Etiologi IMS dibedakan menjadi bakteri (Neisseria gonorrhoeae, Treponema pallidum, Chlamydia trachomatis, Gardnerella vaginalis), virus (herpes simplex, papillomavirus), fungi (Candida albicans), serta protozoa (Trichomonas vaginalis).2


Prevalensi IMS di seluruh dunia diperkirakan mencapai 333 juta kasus per tahun dengan lebih dari 1 juta kasus IMS setiap harinya.3-5 Kenyon, dkk. (2014) melaporkan insidensi dan prevalensi penyakit IMS sangat dipengaruhi oleh wilayah dan dapat berbeda-beda di berbagai negara di dunia.6 IMS lebih sering terjadi di negara berkembang yaitu di wilayah Asia Selatan dan Asia Tenggara, diikuti Afrika, Amerika Latin, serta Karibia.5-6 Data keseluruhan IMS di Indonesia belum tercatat dengan baik sehingga data yang sebenarnya belum bisa diketahui dengan pasti, namun Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia melaporkan 5.608 kasus IMS di Indonesia pada tahun 2014.7 Provinsi Jawa Tengah melaporkan adanya kenaikan kasus IMS dari tahun 2017 sebanyak 12.345 kasus menjadi 13.042 kasus pada tahun 2018.8 Infeksi menular seksual dapat menyerang seluruh kelompok usia, namun sebagian besar penyakit IMS ditemukan pada kelompok usia 15-24 tahun.9 Penelitian Nirmalasari, dkk. (2018) melaporkan jenis kelamin yang paling banyak menderita IMS di Bali pada tahun 2016 adalah laki-laki.10 Rosita, dkk. (2020) melaporkan kasus IMS terbanyak di RS Dr. Moewardi, Surakarta, pada tahun 2016- 2018 adalah kondiloma akuminata dan uretritis gonore dengan jenis kelamin laki-laki pada rentang usia 21-30 tahun.11


Gejala awal IMS hampir 90% bersifat asimtomatik.1 Sebagian besar kasus asimtomatik dapat memburuk karena keterlambatan diagnosis. Tes diagnostik serta tata laksana yang kurang tepat turut berperan dalam perkembangan kasus IMS.12 Pelaporan data IMS saat ini diperkirakan hanya mewakili 50-80% dari total keseluruhan penyakit IMS. Hal ini mencerminkan keterbatasan penapisan, kurangnya informasi mengenai transmisi penyakit, serta rendahnya tingkat pelaporan data.5 Data mengenai IMS di Indonesia juga sangat terbatas. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan Indonesia pada tahun 2015 penderita IMS yang ditemukan tidak tercatat dengan baik sehingga data yang didapat hanya sebagian kecil dari jumlah penderita sesungguhnya.11 Data mengenai distribusi IMS penting dilaporkan sebagai bagian dari upaya mencegah dan mengendalikan penyebaran penyakit IMS lebih lanjut.13


Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil penyakit infeksi menular seksual di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Moewardi periode Januari 2016 sampai Desember 2020.



Metode PenelitianPenelitian ini adalah penelitian retrospektif dengan menggunakan data sekunder berupa rekam medis dan buku registrasi di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Moewardi Surakarta periode Januari 2016 - Desember 2020. Data yang digunakan antara lain jumlah kunjungan kasus baru pasien rawat jalan, keluhan utama kasus, diagnosis penyakit, umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, dan status human immunodeficiency virus (HIV) atau acquired immunodeficiency syndrome (AIDS). Kriteria inklusi penelitian ini adalah semua pasien IMS yang tercatat sebagai kasus baru berdasarkan rekam medis Instalasi Rawat Jalan Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Moewardi Surakarta pada bulan Januari 2016 hingga Desember 2020, termasuk pasien dengan HIV/AIDS. Pasien dengan penyakit sistemik kronis seperti diabetes melitus dan hipertensi dieksklusi dari penelitian. Data dianalisis menggunakan uji statistik deskriptif untuk mengetahui distribusi frekuensi dan uji bivariat Chi-square untuk mengetahui hubungan dari beberapa variabel. Analisis data dilakukan menggunakan SPSS 24 for Windows dengan batas kemaknaan 5% (p<0,05).


Hasil

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, terdapat 275 kasus IMS baru di Instalasi Rawat Jalan Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Moewardi selama periode penelitian. Penderita IMS terbanyak adalah laki-laki sebanyak 156 kasus (56,72%) dengan kelompok rentang usia 21-30 tahun sebanyak 129 kasus (46,91%). Sebagian besar penderita IMS pada penelitian ini memiliki tingkat pendidikan sekolah menengah atas (SMA), yakni sebanyak 143 orang (52%). Kasus IMS tertinggi berdasarkan pekerjaan terjadi pada kelompok karyawan swasta dengan 200 kasus (72,72%), diikuti kelompok ibu rumah tangga sebanyak 35 kasus (12,72%). Sebagian pasien IMS juga menderita HIV/AIDS, yakni sebanyak 68 kasus (24,73%). Data pasien infeksi menular seksual tersaji pada Tabel 1.


Distribusi kasus IMS pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1 dan Tabel 2. Gambar 1 menunjukkan bahwa keluhan yang paling banyak ditemukan adalah kutil kelamin (kondiloma akuminata) dengan total 192 kasus (70%) dari total keseluruhan kasus IMS. Kondiloma akuminata lebih banyak didapati pada pasien laki-laki yaitu sebanyak 103 kasus (37,5%) dibandingkan dengan pasien perempuan yaitu 89 kasus (32,4%). Keluhan kedua terbanyak adalah cairan yang keluar dari genitalia laki-laki yaitu 35 kasus (13%) dan cairan keluar dari genitalia perempuan yaitu 20 kasus (7%). Pada kasus keluarnya cairan dari genitalia laki-laki, lebih banyak pasien memiliki diagnosis uretritis gonore yaitu 20 kasus (7,3%) daripada uretritis nongonore yaitu 15 kasus (5,5%), sedangkan pada kasus keluarnya cairan dari genitalia perempuan, diagnosis terbanyak adalah trikomoniasis dengan 8 kasus (2,9%). Pada kasus ulkus genital, herpes simpleks merupakan diagnosis yang paling banyak dijumpai yaitu sebanyak 14 kasus (5,1%) dan mayoritas ditemukan pada perempuan yaitu 10 kasus (3,6%). Pada distribusi kasus lain, sifilis sekunder merupakan kasus yang paling banyak dijumpai dengan 10 kasus (3,6%). Tabel 2 juga memperlihatkan p-value dari uji Chi-square pada data diagnosis kasus IMS dan jenis kelamin. Data tersebut menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara diagnosis kasus IMS dan jenis kelamin, di mana p-value pada penelitian ini <0,05 (p=0,000). Berdasarkan distribusi jenis kelamin, kasus kondiloma akuminata memiliki persentase terbanyak pada laki-laki maupun perempuan yaitu 66% dari total pasien IMS laki-laki dan 74,8% dari total pasien IMS perempuan.


Tabel 1. Karakteristik periode Januari 2016 – Desember 2020

Karakteristik

Jumlah (n = 275)

Persentase (%)

Jenis kelamin

 

 

- Laki-laki

156

56,72

- Perempuan

119

43,27

Umur

 

 

- 11-20

15

5,45

- 21-30

129

46,91

- 31-40

70

25,45

- 41-50

37

13,45

- 51-60

11

4,00

- 61-70

8

2,91

- 71-80

5

1,82

Tingkat pendidikan

 

 

- Tidak sekolah

16

5,82

- Sekolah Dasar (SD)

16

5,82

- Sekolah Menengah Pertama (SMP)

29

10,55

- Sekolah Menengah Atas (SMA)

143

52,00

- Diploma

26

9,45

- Sarjana (S1/S2)

45

16,34

Pekerjaan

 

 

- Ibu Rumah Tangga

35

12,72

- Swasta

200

72,72

- Pelajar/Mahasiswa

31

11,27

- PNS

4

1,45

- Pensiunan

5

1,81

Status HIV

 

 

- HIV/AIDS

68

24,72

- Tidak HIV/AIDS

207

75,27

HIV: human immunodeficiency virus; AIDS: acquired immunodeficiency syndrome



Gambar 1. Proporsi keluhan pasien infeksi menular seksual periode Januari 2016 - Desember 2020



Tabel 2. Distribusi IMS berdasarkan jenis kelamin periode Januari 2016 - Desember 2020 dan hubungan antara diagnosis IMS dengan jenis kelamin secara statistik


IMS adalah infeksi menular yang sebagian besar terjadi akibat hubungan seksual, baik secara vaginal, anal, maupun oral.1 IMS dapat terjadi pada laki-laki dan perempuan dengan prevalensi yang dapat berbeda pada tiap negara di seluruh dunia.6 Jenis kelamin perempuan cenderung lebih rentan menderita IMS karena faktor anatomi, di mana perempuan mempunyai luas permukaan genital (vagina) yang lebih luas sehingga risiko terinfeksi oleh bakteri dan virus menjadi relatif lebih tinggi dibandingkan laki-laki.14,15 Panonsih melaporkan distribusi pasien IMS di Puskesmas Panjang tahun 2015 didominasi oleh jenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 320 pasien (78,2%).16 Pada penelitian yang dilakukan oleh Maujudah dan Susanna pada tahun 2019 dilaporkan bahwa insidensi IMS lebih banyak dilaporkan pada laki-laki dengan proporsi sebesar 66%. Hasil penelitian tersebut serupa dengan penelitian ini yang mendapatkan kasus IMS secara keseluruhan lebih banyak terjadi pada laki-laki, yaitu sebesar 156 kasus (56,72%). Hasil analisis statistik pada penelitian ini juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan bermakna antara diagnosis kasus IMS dan jenis kelamin (p=0,000). Hal tersebut dapat disebabkan oleh laki-laki yang relatif lebih sering memiliki lebih dari 1 pasangan seksual, berhubungan seksual tanpa memakai kondom, ataupun memiliki kebiasaan mengunjungi tempat prostitusi.14,16 Penemuan kasus pada perempuan cenderung rendah dikarenakan gejala IMS pada perempuan sering bersifat asimtomatik dibandingkan dengan laki-laki.14


Infeksi menular seksual termasukdalam 10 besar penyakit yang sering ditemukan pada usia dewasa muda di seluruh dunia.17 Shannon dan Klausner melaporkan sebagian besar kasus IMS di Amerika Serikat terjadi pada usia dewasa muda dalam rentang usia 15-24 tahun.18 Usia dewasa muda merupakan masa transisi antara anak-anak dan dewasa, di mana terjadi perubahan biopsikososial dalam kehidupan, baik laki-laki maupun perempuan.18,19 Secara psikososial, fungsi eksekutif (pengambilan keputusan dan emosi) korteks prefrontal otak pada dewasa muda masih dalam proses perkembangan. Dewasa muda juga merupakan waktu di mana umumnya orang mencari jati diri, sehingga rentan melakukan perilaku menyimpang dan pubertas meningkatkan aktivitas seksualnya. Salah satu akibatnya, dewasa muda sering berganti-ganti pasangan seksual dan berhubungan seksual tanpa menggunakan kondom.19,20 Perilaku tersebut dapat meningkatkan risiko penularan IMS. Lendir serviks wanita pada dasarnya berfungsi sebagai barier awal dari infeksi, namun pada usia dewasa muda cenderung masih rendah produksinya, sehingga menyebabkan lebih rentan terkena IMS dibandingkan usia dewasa.18,20 Kelompok usia 16-34 tahun memiliki kemungkinan mendapatkan penyakit IMS 2,8 kali lebih tinggi daripada kelompok usia kurang dari 16 tahun dan lebih dari 34 tahun karena cenderung lebih aktif dalam berhubungan seksual.19 Pada penelitian ini prevalensi IMS lebih banyak terjadi pada rentang usia 21-30 tahun.


Pendidikan berperan penting dalam memberikan informasi mengenai kesehatan reproduksi dan pencegahan IMS.4,21 Tingkat pendidikan yang rendah memiliki kemungkinan menderita IMS lebih besar karena tidak mengetahui mengenai cara berhubungan seksual yang aman. Penderita IMS dengan tingkat pendidikan rendah sering tidak mengetahui dengan pasti gejala dari penyakit IMS, sehingga beberapa kasus IMS sering tidak terlaporkan.4,16 Tingkat pendidikan juga memengaruhi kesadaran untuk memeriksakan diri dan berobat saat terkena penyakit.4,20 Nelson dkk. (2019) melaporkan bahwa 50% penyakit IMS terjadi pada pasien dengan tingkat pendidikan sekolah menengah pertama maupun sekolah menengah atas.22 Penelitian Maujudah dan Susanna (2019) melaporkan penderita IMS paling banyak terjadi pada tingkat pendidikan minimal SMA (63,5%).14 Penelitian tersebut serupa dengan penelitian kami, di mana 52% pasien bertingkat pendidikan SMA. Hal tersebut dapat disebabkan karena tingkat pendidikan yang tinggi cenderung memiliki pengetahuan dan kesadaran yang lebih besar mengenai kesehatan reproduksi serta memiliki kesadaran untuk memeriksakan diri saat mengalami gejala yang mengarah pada penyakit IMS.4


Pekerjaan merupakan salah satu faktor risiko terjadinya IMS. Pada penelitian ini kasus IMS tertinggi terjadi pada kelompok karyawan swasta dengan 200 kasus (72,72%) dan diikuti dengan kelompok ibu rumah tangga sebanyak 35 kasus (12,72%). Hasil penelitian ini serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Rahayu dkk. (2016) yang melaporkan bahwa laki-laki dengan profesi karyawan swasta dan perempuan dengan profesi ibu rumah tangga lebih rentan menderita IMS.23 Penelitian yang dilakukan oleh Widyanthini dkk. pada tahun 2016 melaporkan hasil yang berbeda, yaitu wanita yang bekerja memiliki peluang 2,2 kali lebih tinggi untuk menderita IMS dibandingkan wanita yang tidak bekerja.7 Hal tersebut dapat terjadi karena mobilitas wanita pekerja yang cukup tinggi dan juga akibat pengaruh lingkungan pekerjaan. Pada kelompok karyawan swasta kasus IMS diduga berhubungan dengan tingginya kebutuhan seksual, jauh dari keluarga, dan rasa jenuh dalam rumah tangga. Kerentanan pada kelompok ibu rumah tangga terhadap IMS dihubungkan dengan penularan oleh suami yang bergonta-ganti pasangan seksual atau penggunaan jasa prostitusi.23

Human immunodeficiency virus (HIV) merupakan virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh dan mengakibatkan penderitanya rentan terinfeksi berbagai macam penyakit lain. Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) adalah sekumpulan gejala berkurangnya kemampuan pertahanan diri yang disebabkan oleh infeksi virus HIV.22 Penularan HIV melalui pertukaran berbagai cairan tubuh dari orang yang terinfeksi, seperti darah, air susu ibu, cairan semen, dan cairan vagina.30 Pasien-pasien IMS seringkali juga menderita HIV/AIDS. Penderita IMS mempunyai risiko 5-9 kali lebih besar untuk menderita HIV/AIDS.14 Pada penelitian kami didapatkan 68 kasus (24,72%) pasien IMS menderita HIV/AIDS. Perilaku seksual yang buruk pada pasien IMS menjadi salah satu risiko penularan yang cukup tinggi dari HIV/AIDS. Penderita dengan perilaku berganti-ganti pasangan serta tidak menggunakan kondom dapat meningkatkan pertukaran berbagai cairan tubuh pasien yang telah menderita HIV sebelumnya.14


Laki suka laki (LSL) menjadi salah satu faktor risiko dari infeksi menular seksual terutama HIV. Menurut CDC, kelompok LSL memiliki proporsi yang lebih tinggi pada kasus HIV dibandingkan kelompok lainnya. Hal ini disebabkan oleh perilaku seksual yang tidak aman yaitu melakukan seks melalui anal tanpa menggunakan pelindung. Pada seks anal, reseptif memiliki risiko 13 kali lebih tinggi terkena HIV dibandingkan dengan insertif. Selain itu adanya stigma terhadap kelompok LSL dapat memengaruhi akses mereka dalam mendapatkan layanan kesehatan yang berkualitas, termasuk pemeriksaan HIV, tata laksana, dan layanan pencegahan lainnya.24 Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Deaselia dkk. (2017) yang melaporkan bahwa perilaku seksual berisiko, riwayat IMS, dan persepsi terhadap manfaat melakukan screening IMS pada kelompok LSL berhubungan secara bermakna dengan rendahnya jumlah screening dan menyebabkan tingginya angka IMS pada kelompok tersebut.25 Hubungan seksual yang dilakukan melalui anal oleh kelompok LSL juga dapat menyebabkan terbentuknya mikrotrauma akibat stres mekanis selama berhubungan seksual. Mikrotrauma ini dapat menjadi jalan masuk bagi human papillomavirus (HPV).26


Infeksi dari human papillomavirus (HPV) menyebabkan kondis klinis yang disebut kondiloma akuminata (KA).27 Faktor risiko penyebab KA meliputi pasangan seksual yang lebih dari 1, usia dini saat memulai hubungan seksual, dan pasangan seksual yang menderita penyakit serupa.17 Manifestasi klinis KA berupa papul tunggal atau multipel pada vulva, perineum, perianal, vagina, serviks, penis, anus, skrotum, ataupun uretra.27 Keluhan klinis terkadang tidak ditemukan, namun pada beberapa kasus terdapat laporan berupa rasa gatal, sensasi terbakar, keluar cairan dari vagina, dan perdarahan.28 Prevalensi KA di Amerika Serikat dilaporkan antara 1,1-1,2 kasus per 1000 penduduk per tahun.29 Lee dkk. (2011) melaporkan bahwa 397 dari 614 kasus KA di Korea berjenis kelamin laki-laki.30 Prevalensi kasus KA pada laki-laki dan perempuan berbeda-beda di berbagai negara.30,31 Kalichman dkk. (2011) melaporkan jumlah kasus KA tidak berbeda pada laki-laki dan perempuan.31 Pada penelitian ini didapatkan 192 kasus (69,8%) KA, di mana 103 (37,5%) di antaranya berjenis kelamin laki-laki. Hasil penelitian ini serupa dengan hasil penelitian di Indonesia yang dilakukan oleh Puspawati dkk. (2018) yang melaporkan bahwa 156 dari 260 kasus KA di Bali pada tahun 2015-2017 berjenis kelamin laki-laki.32 Hal tersebut dapat disebabkan oleh hubungan seksual laki-laki yang cenderung lebih sering bergonta-ganti pasangan daripada perempuan.32,49 Studi lain menyebutkan bahwa perempuan cenderung lebih malu untuk memeriksakan gejala IMS yang dialami dibandingkan dengan laki-laki.32


Keluhan yang cukup sering muncul pada pasien IMS laki-laki adalah keluarnya cairan dari genital. Cairan yang keluar dari genitalia pada laki-laki meliputi uretritis gonore dan nongonore. Kasus yang paling banyak dilaporkan adalah uretritis gonore. Gonore merupakan infeksi pada mukosa yang disebabkan oleh bakteri diplococcus Gram negatif (N. gonorrhoeae) dan dapat ditularkan melalui hubungan seksual atau kontak perinatal.5,32 Prevalensi kasus baru gonore pada tahun 2016 sebesar 86,9 juta kasus di seluruh dunia.34 Pitasari dan Martodiharjo melaporkan 72 kasus pasien gonore berjenis kelamin laki-laki pada kelompok usia 15-24 tahun di Surabaya.33,35 Manifestasi klinis gonore meliputi adanya discharge kekuningan dari penis, sensasi terbakar, disuria, dan rasa gatal.36 Pada penelitian ini didapatkan 20 kasus (7,3%) gonore pada laki- laki. Rendahnya temuan kasus gonore pada perempuan disebabkan oleh dua hal yaitu kurangnya screening ataupun pemeriksaan yang tepat dan infeksi gonore yang bersifat asimptomatik pada sebagian besar perempuan.37


Pada penelitian kami, salah satu keluhan yang juga muncul pada penderita IMS adalah keluarnya cairan dari genital pada perempuan. Diagnosis yang kami dapatkan dari keluhan tersebut adalah kandidiasis vulvovaginalis, bakterial vaginosis, dan trikomoniasis. Trikomoniasis adalah diagnosis yang paling banyak kami temui dari ketiga kasus tersebut. Trikomoniasis merupakan IMS yang disebabkan oleh parasit Trichomonas vaginalis.38,39 Infeksi Trichomonas vaginalis pada perempuan biasanya ditandai dengan adanya discharge berwarna kuning kehijauan, disuria, rasa gatal, iritasi vulva, serta nyeri perut.38 Trichomonas vaginalis pada pasien laki-laki 80% bersifat asimtomatik. Beberapa kasus lain dapat menimbulkan gejala yang seringkali berupa keluarnya cairan dari genital dan disuria.37,38 Prevalensi trikomoniasis di seluruh dunia diperkirakan sebesar 174 juta kasus baru per tahun.40 Berdasarkan penelitian Alfari dkk. (2016) pada tahun 2011-2015 di Manado, dilaporkan 8 dari 22 perempuan yang terinfeksi trikomoniasis bersifat asimtomatik.41 Sepertiga kasus trikomoniasis asimtomatik akan berubah menjadi simtomatik dalam kurun waktu 6 bulan.38,42 Pada penelitian ini terdapat 16 kasus (6%) keluarnya cairan pada genitalia perempuan, di mana 50% dari keluhan tersebut terdiagnosis dengan trikomoniasis. Kasus trikomoniasis pada laki-laki memiliki prevalensi rendah dan umumnya bersifat asimtomatik. Hal tersebut dikarenakan karakteristik klinis pada laki-laki yang tidak khas dan pemeriksaan penunjang diagnostik yang masih terbatas.42


Infeksi herpes simplex virus (HSV) merupakan IMS yang cukup sering ditemui di seluruh dunia. Berdasarkan penyebabnya, HSV dapat dibedakan menjadi dua yaitu herpes simplex virus type 1 (HSV-1) yang ditularkan oleh hubungan seksual anal- oral dan herpes simplex virus type 2 (HSV-2) melalui hubungan seksual anal-anal.43 Herpes simplex virus type 2 (HSV-2) merupakan agen penyebab IMS herpes genital terbanyak di seluruh dunia yang penularannya dapat melalui hubungan seksual dan kontak perinatal.1,3,44 Infeksi HSV-2 di seluruh dunia pada tahun 2012 diperkirakan sebesar 417 juta kasus.45 Bonita dan Murtiastutik melaporkan kasus herpes simplex genitalis pada perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki yaitu sebesar 85,3% di Surabaya dari tahun 2011-2015 yang mungkin disebabkan karena perbedaan luas permukaan secara anatomi area genital pada perempuan dibandingkan laki-laki sehingga lebih rentan tertular.46 Manifestasi klinis ulkus genital yang disebabkan oleh HSV bervariasi mulai dari asimtomatik hingga bergejala ringan seperti adanya rasa terbakar, nyeri, demam, limfadenopati, dan malaise.47 Pada penelitian ini didapatkan adanya 10 kasus (3,6%) herpes simplex pada perempuan dan 4 kasus (1,5%) pada laki-laki.


Sifilis merupakan penyakit IMS yang disebut juga sebagai “the great imitator” karena dapat bermanifestasi klinis pada berbagai sistem organ.48 Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Treponema pallidum yang transmisinya terjadi melalui kontak dengan lesi infeksius atau cairan tubuh, transfusi darah, maupun perinatal. Sifilis sering ditemukan pada negara dengan tingkat pendapatan rendah dan menengah terutama pada populasi laki-laki yang berhubungan seksual dengan laki-laki.49 Gejala akan mulai muncul akibat invasi bakteri T. pallidum dengan gambaran chancre soliter yang biasanya tidak nyeri, nonpurulen, berindurasi dengan ujud kelainan kulit berupa papul kecil yang berulserasi dengan cepat.50,51 Tahapan tersebut dikenal dengan sifilis primer. Sifilis primer yang tidak mendapat pengobatan adekuat akan berkembang menjadi sifilis sekunder dengan berbagai macam gambaran klinis. Sifilis sekunder biasanya dimulai 4-10 minggu setelah ulkus dengan manifestasi klinis adanya ruam kemerahan pada regio trunkus dan lengan.13 Pasien sifilis sekunder sering mengeluh demam, nyeri otot dan persendian, serta hilangnya nafsu makan. Dewi dan Silayukti melaporkan 3 kasus sifilis sekunder dan 32 kasus sifilis stadium lanjut di Bali dari tahun 2017-2018.52 Pada penelitian ini terdapat kasus sifilis sekunder sebanyak 10 kasus (3,6%) yang terjadi pada laki-laki. Menurut Fucs dkk. pada tahun 2014, dua pertiga pasien sifilis sering tidak memeriksakan diri sampai memasuki tahap sifilis sekunder.51 Sifilis lebih sering terjadi pada laki-laki karena sering berganti-ganti pasangan seksual ataupun seks anal di mana kebanyakan sifilis ditularkan melalui seks anal, oral, serta adanya kontak langsung dengan mukosa penderita sifilis.53


Kesimpulan

Profil IMS dapat menjadi data acuan yang digunakan dalam upaya pencegahan dan pengendalian penyebaran penyakit IMS lebih lanjut. Pada penelitian ini didapatkan bahwa jenis kelamin memiliki hubungan yang bermakna dengan diagnosis IMS, di mana laki-laki merupakan jenis kelamin terbanyak yang menderita IMS dengan kasus terbanyak pada rentang usia 21-30 tahun. Proporsi terbanyak kasus IMS berdasarkan tingkat pendidikan adalah pada pendidikan terakhir di tingkat SMA. Diagnosis terbanyak adalah kondiloma akuminata, keluarnya cairan dari genital pria (mayoritas uretritis gonore), dan keluarnya cairan dari genitalia wanita (mayoritas trikomoniasis). Herpes simpleks merupakan diagnosis terbanyak pada kasus ulkus genital dengan jenis kelamin terbanyak pada perempuan. Sifilis sekunder merupakan diagnosis terbanyak kasus lain yang ditemukan dalam penelitian ini. Keterbatasan dalam penelitian ini meliputi kurangnya evaluasi terkait penegakan diagnosis serta terapi pada IMS.

 

DAFTAR PUSTAKA

  1. Wagenlehner FME, Brockmeyer NH, Discher T, Friese K, Wichelhaus TA. The presentation,diagnosis and

  2. treatment of sexually transmitted infections. Dtsch Arztebl Int. 2016;113(1):11-22.

  3. Diez M dan Diaz A. Sexually transmitted infections: epidemiology and control. Rev Esp Sanid Penit. 2011;13:58-66.

  4. Assi R, Hashim PW, Reddy VB, Einarsdottir H, Longo WE. Sexually transmitted infections of the anus and rectum. World J Gastroenterol. 2014;20(41):262-8.

  5. Ginindza TG, Stefan CD, Gwegweni JMT, Dlamini X, Jolly PE, Weiderpass E, Broutet N, Sartorius B. Prevalence and risk factors associated with sexually transmitted infections (STIs) among women of reproductive age in Swaziland. Infect Agent Cancer 2017;12(29):1-12.

  6. Gewirtzman A, Bobrick L, Conner K, Trying S. Epidemiology of sexually transmitted infection. Dalam: Holmes K, Sparling P, Stamm W, Piot P, Wasserheit J, Corey L, dkk., editor. Sexually Transmitted Disease. New York: McGraw Hill Medical; 2008.h.27-40.

  7. Kenyon C, Buyze J, Colebunders R. Classification of incidence and prevalence of certain sexually transmitted infections by world regions. Int J Infect Dis. 2014;18(1):73-80.

  8. Widyanthini DN, Widyanthari DM, Kurniasari NMD. Kejadian infeksi menular seksual di kota Denpasar tahun 2016. BPK. 2019;47(4):237-44.

  9. Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Tengah. Jumlah Kasus HIV/AIDS, IMS, DBD, Diare, TB, dan Malaria Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah 2017-2018. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. 2018. Dikutip dari: https://jateng.bps.go.id/ pada tanggal 13 April 2021

  10. Sarrerwhite CL, Torrone E, Meites E. Sexually transmitted infections among US women andmen: prevalence and incidence estimates. Sex Trans Dis. 2013;40(3):187-93.

  11. Nirmalasari NPC, Adiguna S, Puspawati NMD. Prevalensi dan karakteristik infeksi menular seksual di klinik anggrek UPT Ubud II pada bulan Januari - Desember 2016. Med Udayana. 2018;7(4):169-75.

  12. Rosita F, Risman M, Fatimah F, Diana EDN, Mawardi P. Pola distribusi infeksi menular seksual di poliklinik kulit dan kelamin RSUD Dr. Moewardi periode Januari 2016 - Desember 2018. Unpublished. 2020:1-10.

  13. Ortayli N, Ringheim K, Collins L, Sladden T. Sexually transmitted infections: progress and challenges since the 1994 International Conference on Population and Development (ICPD).Contraception. 2014;90(6):22- 31.

  14. Da Ros CT dan Schmitt CS. Global epidemiology of sexually transmitted diseases. Asian J Androl. 2008;10(1):110-4.

  15. Maujudah SA dan Susanna D. The incidence of sexually transmitted disease at Ciracas Primary Health Care, East Jakarta. KnE Life Sci. 2019;10(1):96-104.

  16. Panchanadeswaran S, Johnson SC, Mayer KH, Srikrishnan AK, Sivaram S, Zelaya CE, dkk. Gender differences in the prevalence of sexually transmitted infections and genital symptoms in an urban setting in southern India. Sex Transm Infect. 2006;82(1):491-5.

  17. Panonsih RN. Profil pasien penyakit menular seksual pada layanan primer tingkat I di Kota Bandar Lampung tahun 2015. J Medika Malahayati 2016;3(3):159-64.

  18. Siracusano S, Silvestri T, Casotto D. Sexually transmitted diseases: epidemiological and clinical aspect in adults. Urologia. 2014;81(4):200-8.

  19. Shannon CL dan Klausner JD. The growing epidemic of sexually transmitted infections in adolescents: a neglected population. Curr Opin Pediatr. 2018;30(1):137-43.

  20. Genz N, Meincke SMK, Carret MLV, Correa ACL, Alves CN. Sexually transmitted diseases:knowledge and sexual behavior of adolescents. Texto Contexto Enferm. 2017;26(2):1-12.

  21. Steinberg. Cognitive and affective development in adolescence. Trends in Cognitive Sci. 2005;9(2):69-74.

  22. Borawski EA, Tufts KA, Trapl ES, Hayman LL, Yoder LD, Lovegreen LD. Effectiveness of health education teachers and school nurses teaching sexually transmitted infections / human immunodeficiency virus prevention knowledge and skills in high school. J Sch Health. 2015;85(3):189-96.

  23. Nelson LE, Tharao W, Husbands W, Sa T, Zhang N, Kushwaha S, dkk. The epidemiology of HIV and other sexually transmitted infections in African, Caribbean and Black men in Toronto, Canada. BMC Infect Dis. 2019;19(1):1-10.

  24. Rahayu YP, Ramadhan AM, Rijai L. Kajian karakteristik dan pola pengobatan pasien infeksi menular seksual di RSUD AW Sjahranie Samarinda. Proceeding of Mulawarman Pharmaceutical Conference. 2016;4(1):396-406.

  25. Center for Disease Control and Prevention. HIV: gay and bisexual Men. 2021. Dikutip dari https://www.cdc. gov/hiv/group/msm/index.html pada tanggal 12 Juli 2021.

  26. Deaselia CP, Zahroh S, Kusyogo C, Priyadi NP. Analisis faktor-faktor yang berhubungan dengan praktik skrining IMS oleh lelaki seks lelaki (LSL) sebagai upaya pencegahan penularan HIV (studi kasus pada semarang gaya community. Jurnal Kesehatan Masyarakat (e-Journal). 2017;5(3):486-95.

  27. Engelshofen BMC, Marsela E, Engelshberger N, Guertler A, Schauber J, French LE, Reinholz M. Condyloma acuminata: a retrospective analysis on clinical characteristics and treatment options. Heliyon. 2020;6(3):17.

  28. Patel H, Wagner M, Singhal P, Kothari S. Systematic review of the incidence and prevalence of genital warts. BMC Infect Dis. 2013;39(13):1-14.

  29. Silva MC, Fernandes I, Rodrigues AG, Lisboa C. Anogenital warts in pediatric population. An Bras Dermatol. 2017;92(5):675-81.

  30. Park IU, Introcaso C, Dunne EF. Human papillomavirus and genital warts: a review of the evidence for the 2015 centers for disease control and prevention sexually transmitted diseases treatments guidelines. Clin Infect Dis. 2015;61(8):849-55.

  31. Lee CB, Choe HS, Hwang SJ, Lee SJ, Cho YH. Epidemiological characteristics of genital herpes and condyloma acuminata in patients presenting to urologic and gynecologic clinics in Korea. J Infect Chemother. 2011;17(1):351-7.

  32. Kalichman SC, Pellowski J, Christina T. Prevalence of sexually transmitted co-infection in people living with HIV/AIDS: systematic review with implication for using HIV treatments. Sex Transm Infect. 2011;87(3):183-90.

  33. Puspawati NMD, Sissy, Gotama D. A retrospective study of condyloma acuminata profile in outpatient clinic of dermato-venereology Sanglah General Hospital Denpasar, Bali-Indonesia period 2015-2017. BDV 2018;1(1):1-3.

  34. Pitasari DA dan Martodiharjo S. Studi retrospektif: profil infeksi gonore. Berkala IKKK. 2019;31(1):41-5.

  35. Kirkcaldy RD, Weston E, Segurado AC, Hughes G. Epidemiology of gonorrhea: a global perspective. Sex Health. 2019;16(5):401-11.

  36. Hananta IPY, Dam AP, Bruistem SM, Loeff MFS, Soebono H, Vries HJC. Gonorrhea in Indonesia: high prevalence but asymptomatic urogenital gonorrhea but no circulating extended spectrum cephalosporins- resistant neisseria gonorrhoeae strains in Jakarta, Yogyakarta and Denpasar, Indonesia. Sex Transmit Dis. 2016;43(10):608-16.

  37. Budkaew J, Chumworathayi B, Pientong C, Ekalaksananan T. Prevalence and factors associated with gonorrhea infection with respect to anatomic distribution among men have sex with men. PLoS One. 2019;14(4):1-19.

  38. Xiong M, Lan L, Feng T, Zhao G, Wang F, Hong F, dkk. Analysis of the sex ratio of reported gonorrhoea incidence in Shenzhen, China. BMJ Open. 2016;6(3):1-8.

  39. Kissinger P. Epidemiology and treatment of trichomoniasis. Curr Infect Dis Rep. 2015;17(6):1-14.

  40. Poole DN dan McClelland RS. Global epidemiology of trichomonas vaginalis. Sex Transm Infect. 2013;89(1):418-22.

  41. Johnston VJ dan Mabey DC. Global epidemiology and control of trichomonas vaginalis. Curr Opin Infect Dis. 2008;21(1):56-64.

  42. Alfari N, Kapantow MG, Pandaleke T. Profil Trikomoniasis di Poliklinik Kulit dan KelaminRSUP Prof. Dr. R.

  43. D. Kandou Manado periode 1 Januari 2011 - 31 Desember 2015. Jurnal e-Clinic. 2016;4(2):1-7.

  44. Ummah HH, Pradini GW, Dwiyana RF, Hamda ME. Prevalence of trichomonas vaginalis based on clinical manifestation and polymerase chain reaction among reproductive women. Int J Integ Health Sci. 2019;7(1):9-15.

  45. James C, Harfouche M, Welton NJ, Turner KME, Raddad LJA, Gottlieb SL, Looker KJ. Herpes simplex virus: global infection prevalence and incidence estimates, 2016. Bull World Health Organ 2020;98(5):315-29.

  46. Sudenga SL, Kempf MC, McGwin G, Wilson CM, Hook E, Shrestha S. Incidence, prevalence and epidemiology of herpes simplex virus-2 in HIV-1 positive and HIV-1 negative adolescents. Sex Transm Dis. 2012;39(4):300-5.

  47. Looker KJ, Welton NJ, Sabin KM, Dalal S, Vickerman P, Turner KME, dkk. Global and regional estimates of the contribution of herpes simplex virus type 2 infection to HIV incidence: a population attributable fraction analysis using published epidemiological data. Lancet Infect Dis. 2020;20(2):240-9.

  48. Bonita L dan Murtiastutik D. Penelitian retrospektif: gambaran klinis herpes simpleks genitalis. Berkala IKKK. 2017;29(1):30-5.

  49. Fatahzadeh M dan Schwartz RA. Human herpes simplex virus infections: epidemiology, pathogenesis, symptomatology, diagnosis and management. J Am Acad Dermatol. 2007;57(5):737-63.

  50. Fernandes A dan Ervianti E. Secondary syphilis in human immunodeficiency virus (HIV)-infected men who have sex with men (MSM): a case report. BIKKK 2020;32(1):75-84.

  51. Fuchs W dan Brockmeyer NH. Sexually transmitted infections. J Dtsch Dermatol ges. 2014;12(6):451-63.

  52. Kojima N dan Klausner JD. An update on the global epidemiology of syphilis. Curr Epidemiol Rep. 2018;5(1):24-38.

  53. Fuchs W dan Brockmeyer NH. Sexually transmitted infections. J Dtsch Dermatol ges. 2014;12(6):451-63.

  54. Dewi KIP dan Silayukti AAAA. Gambaran prevalensi penderita sifilis laten, sekunder dan primer pada pasien infeksi menular seksual (IMS) di poliklinik kulit dan kelamin RSUD Mangusada, Badung, Bali periode 2017- 2018. Intisari Sains Med. 2020;11(2):457-60.

  55. Morineau G, Nugrahini N, Riono P, Nurhayati, Girault P, Mustikawati DE, dkk. Sexual RiskTaking, STI and HIV Prevalence Among Men Who Have Sex with Men in Six Indonesian Cities. AIDS Behav. 2011;(15):1033–44.


bottom of page