top of page

Terapi Doxycycline Pada Laki-laki Homoseksual dengan Sifilis Sekunder dan HIV



Anggana Rafika Paramitasari, Imroatul Ulya, Agung Triana Hartati, Susanti Rosmala Dewi, Prasetyadi Mawardi


Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta


ABSTRAK

Pendahuluan: Reemergence sifilis banyak ditemukan pada laki-laki homoseksual dengan infeksi HIV positif. Perjalanan penyakit sifilis pada pasien dengan HIV berjalan lebih cepat dan berisiko tinggi menjadi neurosifilis. Koinfeksi sifilis dan human immunodeficiency virus (HIV) dikaitkan dengan penurunan CD4 dan peningkatan HIV-RNA. Perbaikan keduanya dikaitkan dengan terapi sifilis yang efektif, salah satunya dengan terapi doxycycline. Doxycycline memiliki efek antiinflamasi yang berhubungan dengan penurunan viral load serta peningkatan CD4 pada pasien positif HIV. Kasus: Laki-laki warga negara asing berusia 20 tahun dengan keluhan utama bintik merah tidak gatal pada sekujur tubuh yang muncul selama 2 hari disertai demam. Pasien sudah berobat namun belum tampak perbaikan. Riwayat berhubungan seksual sesama jenis dan bergonta-ganti pasangan lebih dari 10 kali dalam 10 tahun terakhir serta jarang menggunakan kondom. Regio generalisata tampak papul eritem multipel diskret berukuran miliar hingga lentikular. Regio skrotum dan penis pasien terdapat lesi makula eritema, plak indurasi sewarna kulit multipel berbatas tegas. Teraba pembesaran kelenjar getah bening regio inguinalis. Pemeriksaan VDRL 1:32 dan TPHA 1:640. Hasil pemeriksaan HIV reaktif 241,50 dengan nilai CD4 558 sel/ml. Pasien diedukasi untuk menjalani abstinensi hubungan seksual. Terapi yang diberikan adalah doxycycline 2x100 mg selama 14 hari, serta ARV nevirapine, lamivudine dan zidovudine. Pasien mengalami perbaikan manifestasi klinis dalam sebulan pengobatan. Pemeriksaan VDRL saat kontrol bulan ketiga adalah 1:2 dengan CD4 570 sel/ml. Pembahasan: Doxycycline merupakan lini kedua untuk tata laksana penyakit sifilis yang berdasarkan studi mampu membantu menurunkan viral load dan meningkatkan jumlah CD4 pada penderita sifilis dengan HIV. Pada kasus ini, penurunan titer VDRL pasien secara signifikan dibanding titer awal mengindikasikan keberhasilan terapi. Hasil pemeriksaan CD4 pasien juga mengalami kenaikan pada bulan ketiga.

Kata kunci : doxycycline, HIV, homoseksual, sifilis sekunder


ABSTRACT

Background: Reemergence of syphilis is increasing especially among MSM (men who have sex with men) patients. Syphilis in HIV-infected patients is reported to show faster and higher risk for progression to neurosyphilis. Coinfection of syphilis and human immunodeficiency virus (HIV) is correlated with decrease in CD4 and increase in HIV-RNA. Doxycycline has an anti-inflammatory effect associated with decrease of HIV-RNA and increase of CD4 in HIV patients. Case: A 20-year-old foreigner MSM man complained about non-itchy red spots 38 medicinus APRIL 2021 VOL. 34 ISSUE 1 throughout his body for 2 days with slight fever. He has a history of more than 10 sexual partners and rarely use condom. Physical examination revealed various sizes of erythematous macules and papules on his trunk and extremities. We found erythematous plaques with regular border but no ulcer on his scrotum and no secrete from his urethra. There was enlargement in the inguinal lymph node. VDRL and TPHA examination result were 1:32 and 1:640, respectively. HIV test was reactive with CD4 value 558 cells/ml. Treatment consists of doxycycline 2 x 100 mg for 14 days and ARV (nevirapine, lamivudine and zidovudine). His symptoms were improved after a month accompanied with decreased VDRL to 1:2 and slightly increased CD4 to 570 cells/ml. Discussion: Doxycycline is a second line treatment for syphilis that is known to help decreasing the viral load and increasing CD4 level in syphilis with HIV. A significant decrease in VDRL titer in this patient indicates a successful therapy.

Keywords : doxycycline, HIV, secondary syphilis, homosexual


PENDAHULUAN

Sifilis adalah suatu penyakit infeksi menular seksual yang disebabkan oleh spirochaeta Treponema pallidum subspesies pallidum.1 Sifilis sekunder merupakan stadium sifilis yang ditandai adanya lesi mukokutan lokalisata atau difus, kadang ditemukan limfadenopati dengan pemeriksaan laboratorium yang mendukung ke arah infeksi sifilis.1 Human immunodeficiency virus (HIV) merupakan retrovirus limfotropik yang penularannya pada manusia didapatkan melalui kontak dengan cairan tubuh, terutama melalui hubungan seksual.2


Centers for Disease Control and Prevention (CDC) pada tahun 2015 melaporkan bahwa dua pertiga kasus sifilis primer dan sekunder di Amerika Serikat dialami oleh kelompok homoseksual, dan sebanyak 30-74% di antaranya menderita koinfeksi dengan HIV.1,3 Secara global, prevalensi infeksi HIV tertinggi dijumpai pada kalangan pria homoseksual di lokasi Afrika Sub Sahara dan Amerika bagian utara.4,5 Data penelitian di Denmark menyebutkan bahwa pada tahun 2008 terdapat 58% pasien homoseksual dengan sifilis yang juga memiliki hasil pemeriksaan HIV positif, sementara di Tiongkok ditemukan kenaikan prevalensi koinfeksi sifilis dan HIV pada men who have sex with men (MSM) pada tahun 2005-2006 sebanyak 1,4% menjadi 2,7% di tahun 2007-2008.6,7 Di Indonesia, prevalensi sifilis pada tahun 2013 adalah sebesar 23,8% pada populasi pria homoseksual dengan HIV positif dan 16,67% pada mereka yang berstatus HIV negatif.8 Penelitian cross-sectional di Jakarta menunjukkan bahwa responden dengan diagnosis sifilis memiliki kemungkinan 4,7 kali lebih besar untuk juga terinfeksi HIV dibandingkan dengan responden yang tidak menderita sifilis pada saat survei dilakukan.9


Terapi penyakit sifilis meliputi pemberian benzathine penicillin G. Apabila obat tersebut tidak tersedia atau pasien memiliki alergi terhadap penicillin, maka dapat diberikan doxycycline, azithromycin dan ceftriaxone sebagai lini kedua.10 Sebuah penelitian pendahuluan yang dilakukan oleh Bolan dkk. (2015) menyatakan bahwa doxycycline yang digunakan sebagai profilaksis berhubungan dengan penurunan insiden sifilis dan gonore pada populasi lelaki homoseksual dengan infeksi HIV.11 Salado-Rasmussen, dkk. (2016) melakukan evaluasi klinis dan serologis pasien sifilis pada berbagai stadium dan menyimpulkan bahwa doxycycline dapat digunakan sebagai alternatif terapi yang efisien pada populasi dengan infeksi HIV. 12


Pada laporan kasus ini akan dibahas suatu kasus koinfeksi sifilis dan HIV pada seorang laki-laki homoseksual, dengan tujuan untuk memperdalam wawasan tentang penegakkan diagnosis dan manajemen terapi yang dapat diaplikasikan pada kasus serupa di poliklinik kulit dan kelamin RSUD Dr. Moewardi Surakarta.


KASUS

Seorang laki-laki warga negara asing usia 20 tahun datang ke poliklinik kulit dan kelamin RSUD Dr. Moewardi dengan keluhan timbulnya bintik merah yang tidak gatal disertai demam di seluruh tubuhnya sejak 2 hari yang lalu. Pasien sudah berobat ke poliklinik di kampusnya dan mendapakan obat ciprofloxacin, acetaminophen, dan dexamethasone, namun setelah diminum dua kali belum tampak adanya perbaikan. Dari anamnesis lebih lanjut diketahui pasien adalah seorang mahasiswa asing yang sedang menjalani kuliah di Solo selama kurang lebih 2 tahun. Pasien baru pertama kali merasakan gejala seperti ini. Didapatkan riwayat berhubungan seksual sesama jenis dan bergantiganti pasangan sebanyak lebih dari 10 kali sejak 10 tahun yang lalu di negaranya maupun saat berada di Indonesia, serta hanya sesekali menggunakan kondom. Pasien tidak memiliki riwayat alergi terhadap makanan atau obat-obatan tertentu. Riwayat penyakit sistemik lain, transfusi darah, keluhan nyeri saat buang air kecil maupun sekret genital juga disangkal.


Pemeriksaan fisik menunjukkan regio generalisata tampak papul eritem multipel diskret ukuran miliar hingga lentikular. Pada regio manus tampak makula eritema multipel. Pada regio skrotum dan penis pasien terdapat lesi makula eritema, tampak plak indurasi sewarna kulit multipel berbatas tegas dengan ukuran bervariasi (gambar 1). Limfonodi regio inguinalis dekstra dan sinistra teraba membesar, namun tidak didapatkan ulkus maupun sekret genital dari orifisium uretra. Pasien didiagnosis banding dengan sifilis sekunder dan viral exanthem. Pemeriksaan serologis sifilis menunjukkan hasil venereal disease research laboratory (VDRL) 1:32 dan Treponema pallidum haemagglutination (TPHA) 1:640. Pasien kami rujuk ke voluntary counseling testing (VCT) dan hasil pemeriksaan HIV pada pasien ini reaktif dengan nilai 241,50 dan kadar CD4 absolut 558 sel/ml (normal: 500-1.600). Pasien mendapatkan obat nevirapine 1 x 200 mg, lamivudine 1 x 150 mg dan zidovudine 1 x 300 mg dari bagian VCT. Dari poliklinik kulit dan kelamin kami memberikan pasien terapi doxycycline 2 x 100 mg selama 14 hari. Pasien diberikan edukasi untuk tidak melakukan hubungan seksual berisiko tinggi dan melakukan praktik seksual yang aman dengan menggunakan kondom serta tidak berganti-ganti pasangan.


Gambar 1. Foto pasien saat awal datang ke poliklinik. Regio trunkus anterior tampak papula makula eritema multipel diskret. Tampak makula eritema pada palmar deksra. tampak plak indurasi sewarna kulit batas tegas.


Pasien kontrol kembali ke poliklinik kulit dan kelamin dalam waktu 2 minggu, 1 bulan dan 3 bulan setelah terapi. Pemeriksaan fisik menunjukkan perbaikan pada lesi di kulit (gambar 2). Tidak tampak makula papula eritema pada tubuh pasien, dan tampak adanya perbaikan lesi pada area genitalia. Pemeriksaan VDRL bulan ketiga menunjukkan hasil 1:2, jumlah sel CD4 absolut pasien adalah 570 sel/ ml.



Gambar 2. Foto pasien saat kontrol. Tampak adanya perbaikan lesi. Regio generalisata tidak tampak makula papula eritema multipel. Regio genitalia tidak tampak lesi.


PEMBAHASAN

Sifilis disebabkan oleh Treponema pallidum subspesies pallidum, suatu bakteri spirochaeta yang bersifat sangat motil, dengan panjang 6-15 µm dan lebar 0,25 µm, yang memiliki waktu multiplikasi kurang lebih 30 jam. Manusia adalah inang satu-satunya dari bakteri ini. Transmisi sifilis terutama didapatkan dari kontak seksual, namun dapat pula menyebar secara kongenital in utero, dan pada beberapa kasus dilaporkan ditransmisikan melalui transfusi darah. Pada kontak seksual, bakteri masuk melalui area mikrotrauma pada kulit dan mukosa serta bermultiplikasi secara lokal kemudian menimbulkan lesi diseminata. Membran luar bakteri Treponema pallidum kaya akan fosfolipid dan memiliki protein permukaan yang membantu bakteri menginvasi sistem pertahanan tubuh.13 Antigen lipid ini merupakan dasar pemeriksaan tes nontreponemal seperti venereal disease research laboratory (VDRL) dan rapid plasma reagin (RPR). 14


Sifilis merupakan infeksi menular seksual yang berkembang menjadi beberapa stadium, terdiri dari stadium awal yang bersifat infeksius dan stadium lanjut yang bersifat non-infeksius.15,16 Pembagian secara klinis dijabarkan menjadi sifilis primer (SI), sifilis sekunder, laten dini 40 medicinus APRIL 2021 VOL. 34 ISSUE 1 (<1 tahun), laten lanjut (>1 tahun) dan sifilis tersier (SIII).17


Setelah kontak seksual dengan seseorang yang memiliki sifilis stadium awal, sepertiga individu akan mengalami sifilis primer berupa chancre. Masa inkubasi sejak awal infeksi hingga muncul chancre ini adalah 10-90 hari dengan rata-rata 3-4 minggu. Sebagian besar pasien tidak menyadari gejala sifilis primer ini karena dapat menghilang dengan sendirinya selama kurang lebih 1-3 minggu, walaupun pada 12–34% wanita dan 56–63% laki-laki chancre ini dapat menetap hingga stadium lebih lanjut. Secara histopatologi ditemukan endarteritis obliteratif yang merupakan dasar dari banyak manifestasi klinis sifilis.13,16


Tanpa pengobatan yang adekuat sifilis primer akan berlanjut menjadi sifilis sekunder dengan munculnya gejala sistemik seperti demam subfebris, malaise, nyeri tenggorokan, nyeri kepala, adenopati dan ruam pada kulit atau mukosa.15,18 Munculnya ruam terutama jika tersebar secara simetris bilateral pada pasien yang aktif secara seksual harus dipertimbangkan ke arah sifilis hingga terbukti sebaliknya.13 Ruam sekunder muncul dalam rentang waktu 1-12 bulan (rata-rata 4-8 minggu) setelah sifilis primer.16 Makula yang timbul dapat semakin besar, menjadi anular atau berskuama. Dapat terjadi perubahan warna dari merah menjadi coklat dan menebal serta muncul dengan lesi papul seiring perkembangan penyakit.19 Lesi lain yang dapat muncul pada sifilis sekunder bervariasi antara lain kondiloma lata, patch pada mukosa, split papules dan patch alopecia.13 Polimorfisme yang terjadi pada sifilis sekunder ini mungkin disebabkan perbedaan intensitas infiltrat sel-sel inflamasi dan keterlibatan pembuluh darah yang mengakibatkan iskemia pada lesi kulit penderita sifilis.19,20 Pasien dengan infeksi HIV positif cenderung memiliki chancre yang multipel jika mengalami sifilis primer namun sebagian besar datang dengan manifestasi sifilis sekunder.


Berdasarkan anamnesis, pasien mengakui adanya kontak seksual dengan lelaki yang baru dikenalnya dari internet sekitar 4-6 minggu yang lalu. Pasien ini tidak menyadari adanya lesi pada kemaluannya dan lebih mengeluhkan munculnya bintik merah yang merata di seluruh tubuh. Pemeriksaan fisik menunjukkan adanya papul dan makula eritem ukuran milia hingga lentikular generalisata. Pada regio skrotum dan penis pasien terdapat lesi makula eritem, tampak plak indurasi sewarna kulit multipel berbatas tegas dengan ukuran bervariasi. Limfonodi regio inguinalis dekstra dan sinistra teraba membesar.


Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, diagnosis banding dari kasus ini adalah eksantema virus. Eksantema virus merupakan infeksi virus nonspesifik yang biasanya muncul pada anak-anak, namun juga dapat diderita oleh orang dewasa. Ketika dicurigai adanya infeksi virus, penegakkan diagnosis didapatkan dari pemeriksaan tanda dan gejala pasien serta hasil pemeriksaan laboratorium untuk mengonfirmasi diagnosis. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan serologis dengan mengukur antibodi IgG dan IgM maupun antigen virus tertentu, serta melakukan pemeriksaan menggunakan polymerase chain reaction (PCR).21


Penegakkan diagnosis sifilis selain dilakukan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, juga melalui pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan mencakup tes laboratorium dengan metode deteksi langsung seperti pemeriksaan mikroskopik lapang pandang gelap, direct fluorescent antibody test, nucleic acid amplification test (NAAT), serologis (tes treponemal dan nontreponemal), serta pemeriksaan cairan serebrospinal.10


Pemeriksaan serologi dengan tes antibodi nontreponemal seperti VDRL dan RPR digunakan untuk screening sifilis masal, berhubungan dengan aktivitas penyakit dan digunakan pula untuk mengevaluasi respons terapi.10,22 Tes nontreponemal mengukur kadar antibodi IgG dan IgM terhadap antigen lipoidal, khususnya cardiolipin, yang dilepaskan dari sel inang yang terinfeksi bakteri T. pallidum. Tes nontreponemal masih menjadi pilihan awal pada screening sifilis di Amerika Serikat (AS) serta di negara-negara berkembang, dan berguna juga untuk memonitor respons terapi secara serologis. Penurunan titer antibodi nontreponemal setidaknya empat kali lipat dari titer awal mengindikasikan respons serologis yang baik setelah terapi.23,24 Keberhasilan terapi pada pasien HIV positif didefinisikan sebagai penurunan titer antibodi nontreponemal sebesar empat kali lipat dalam 6-12 bulan setelah terapi.25 Pemeriksaan yang lebih spesifik seperti fluorescent treponemal antibody absorption (FTA-ABS), Treponemal pallidum haemaglutination assay (TPHA), atau enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) digunakan untuk menghindari hasil positif palsu.13,22 Tes treponemal dapat tetap reaktif selama bertahun-tahun dengan atau tanpa terapi, dan pengukuran titernya tidak dapat digunakan untuk mengevaluasi respons terhadap terapi, kekambuhan, atau reinfeksi pada pasien yang telah mendapatkan pengobatan sifilis.26 Pemeriksaan cairan serebrospinal pada pasien dengan infeksi HIV hanya dilakukan pada pasien dengan diagnosis sifilis laten lanjut, sifilis dengan durasi tidak diketahui, memiliki gejala neurologis, atau terdapat kegagalan terapi.27 Pada kasus ini tidak didapatkan gejala yang mengarah ke neurosifilis sehingga tidak dilakukan pemeriksaan cairan serebrospinal pada pasien.


Setiap pasien sifilis primer maupun sekunder harus diperiksa untuk infeksi HIV, dan di daerah yang memiliki prevalensi infeksi HIV tinggi, pemeriksaan ini harus diulang setiap 3 bulan jika hasil pemeriksaan sebelumnya negatif, begitu juga sebaliknya.3,22 Sifilis dihubungkan dengan penurunan jumlah sel CD4 dan peningkatan kadar ribonucleic acid (RNA) HIV pada pasien HIV positif, dan dengan terapi sifilis yang efektif dijumpai perbaikan pada kedua parameter tersebut.27,28 Peningkatan transmisi infeksi HIV juga ditemukan meningkat selama infeksi sifilis terjadi, dan pada pasien dengan koinfeksi HIV dan sifilis dapat dilakukan evaluasi secara klinis dalam waktu 1-2 minggu setelah terapi, dilanjutkan evaluasi secara klinis maupun serologis pada bulan ke 3, 6, 9, 12, dan 24 pada infeksi dini.25


Pada pasien ini kami menyingkirkan diagnosis eksantema virus setelah mengetahui hasil pemeriksaan penunjang, di mana didapatkan hasil pemeriksaan VDRL positif dengan titer 1:32 dan TPHA 1:640, sehingga pasien dinyatakan positif menderita sifilis.


Terapi untuk sifilis yang direkomendasikan adalah benzathine penicillin G 2,4 juta unit dosis tunggal yang diberikan secara intramuskular. Kekurangan dari pemberian terapi ini meliputi nyeri pascainjeksi dan kejadian alergi terhadap penicillin pada sebagian pasien.29 Apabila benzathine penicillin G tidak tersedia atau jika pasien memiliki alergi terhadap penicillin dapat diberikan doxycycline 100 mg dua kali sehari per oral selama 14 hari, atau ceftriaxone 1 gram per hari secara intramuskular selama 10-14 hari, atau azithromycin 2 gram dosis tunggal. Doxycycline lebih direkomendasikan daripada ceftriaxone karena pemberiannya dapat melalui rute per oral dengan biaya yang relatif lebih rendah. Doxycycline tidak dapat diberikan pada wanita hamil, dan azithromycin hanya diberikan pada kondisi khusus di daerah tertentu, di mana pola sensitivitas terhadap azithromycin telah diketahui.10 Beberapa penelitian yang membandingkan terapi penicillin dan doxycycline pada sifilis menyimpulkan bahwa doxycycline atau tetracycline memiliki angka kesuksesan yang sama dalam terapi sifilis yang dinilai melalui respons serologis pasien.29-31


Penelitian kohort yang dilakukan oleh Kofoed, dkk. (2006) menemukan bahwa terdapat penurunan viral load dan peningkatan jumlah sel CD4 pada grup penderita sifilis dengan HIV yang diterapi menggunakan doxycycline, dan hal ini tidak ditemukan pada grup yang diterapi dengan penicillin. Hal itu mungkin disebabkan karena aktivitas antiinflamasi yang dimiliki oleh doxycycline, sehingga menghasilkan penurunan aktivasi RNA HIV-1 yang menstimulasi aktivasi sistem imun pasien secara lebih cepat. Zink, dkk. (2005) menemukan pada infeksi simian immunodeficiency virus (SIV), penggunaan minocycline dapat menekan viral load pada otak dan menurunkan ekspresi penanda inflamasi pada sistem saraf pusat. Studi yang sama juga menunjukkan bahwa secara in vitro, minocycline menghambat replikasi SIV dan HIV.28,32 Nilai CD4 pasien sebelum terapi adalah 558 sel/ml. Pada bulan ketiga terapi, nilai CD4 pasien meningkat menjadi 570 sel/ml.


Terapi antiretroviral (antiretroviral therapy/ART) merupakan komponen farmakologi utama dari manajemen infeksi HIV. Tidak didapatkan perbedaan rekomendasi terapi ART ini pada kelompok populasi homoseksual maupun transgender, dengan populasi pada umumnya33 (kecuali pada ibu hamil dan bayi). Terapi ART dapat mulai diberikan pada pasien dengan jumlah CD4 ≤350 sel/mm3 . 34 Terapi lini pertama pada pasien dengan HIV harus terdiri dari non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI) ditambah dua jenis nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTI), salah satunya mencakup zidovudine (AZT) atau tenofovir (TDF).34


Pada kasus ini pasien mendapatkan terapi sifilis dengan doxycycline 2 x 100 mg selama 14 hari. Dari bagian VCT pasien mendapatkan nevirapine 1 x 200 mg, lamivudine 1 x 150 mg dan zidovudine 1 x 300 mg. Pasien menunjukkan respons yang baik terhadap terapi yang diberikan karena tiga bulan setelah mendapatkan pengobatan hasil VDRL pasien turun lebih dari 4 kali menjadi 1:2. Pasien juga diberikan edukasi untuk menjalani puasa berhubungan seksual (abstinence) dan praktik hubungan seksual yang aman, misalnya dengan tidak berganti-ganti pasangan seksual, tidak melakukan serosorting dengan penderita HIV lainnya, serta menggunakan kondom dengan benar. Penggunaan kondom secara konsisten dapat mengurangi risiko transmisi HIV sebesar 64% dan infeksi menular seksual lainnya sebanyak 42%.34


KESIMPULAN


Telah dilaporkan satu kasus sifilis sekunder pada seorang laki-laki homoseksual dengan infeksi HIV positif. Diagnosis sifilis sekunder didapatkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan serologis berupa VDRL dengan titer 1:32 dan TPHA 1:640. Hasil pemeriksaan HIV dinyatakan positif dengan nilai sel CD4 adalah 558 sel/ml. Pasien mendapatkan terapi dari poliklinik kulit dan kelamin berupa doxycycline 2 x 100 mg selama 14 hari. Dari bagian VCT pasien mendapatkan terapi nevirapine 1 x 200 mg, lamivudine 1 x 150 mg dan zidovudine 1 x 300 mg. Tiga bulan setelah terapi didapatkan penurunan titer VDRL menjadi 1:2 dan peningkatan kadar sel CD4 menjadi 570 sel/ml.



DAFTAR PUSTAKA

  1. Katz KA. Syphilis. In: Lowell A. Goldsmith SIK, Barbara A. Gilchrest, Amy S. Paller, David J. Leffell, Klaus Wolff, editor. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. 2. 8 ed. New York: McGraw-Hill; 2012. pp.2471-92.

  2. Uihlein LCSAP, Johnson RA. Cutaneous manifestations of human immunodeficiency virus disease. In: Lowell A. Goldsmith SIK BAG, Amy S. Paller, David J. Leffell, Klaus Wolff, editor. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. 2. New York: Mc Graw Hill; 2012. pp.2439-55.

  3. Workowski KA, Bolan GA, Centers for Disease Control and Prevention. Sexually transmitted diseases treatment guidelines, 2015. MMWR Recomm Rep 2015;64(RR-03):1-137.

  4. Beyrer C, Baral SD, van Griensven F, et al. Global epidemiology of HIV infection in men who have sex with men. Lancet 2012;380(9839):367-77.

  5. Tang W, Mahapatra T, Liu F, et al. Burden of HIV and syphilis: A comparative evaluation between male sex workers and non-sex-worker men who have sex with men in urban china. PLoS One 2015;10(5):e0126604.

  6. Salado-Rasmussen K. Syphilis and HIV co-infection. Epidemiology, treatment and molecular typing of treponema pallidum. Dan Med J. 2015;62(12):B5176.

  7. Chow EP, Wilson DP, Zhang L. HIV and syphilis co-infection increasing among men who have sex with men in china: A systematic review and meta-analysis. PLoS One 2011;6(8):e22768.

  8. Daili SF, Wiweko SN, Indriati W, Dewi P, Tanudjaya F, Wignall S, et al. Pedoman tata laksana sifilis untuk pengendalian sifilis di layanan kesehatan dasar. In: Indonesia KKR, editor. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan; 2013.

  9. Pisani E, Girault P, Gultom M, et al. HIV, syphilis infection, and sexual practices among transgenders, male sex workers, and other men who have sex with men in jakarta, indonesia. Sex Transm Infect. 2004;80(6):536-40.

  10. WHO. WHO guidelines for the treatment of Treponema pallidum (syphilis) Switzserland: WHO Document Production Services; 2016 Available from: http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/249572/1/9789241549806-eng.pdf.

  11. Bolan RK, Beymer MR, Weiss RE, et al. Doxycycline prophylaxis to reduce incident syphilis among hiv-infected men who have sex with men who continue to engage in high-risk sex: A randomized, controlled pilot study. Sex Transm Dis. 2015;42(2):98-103.

  12. Salado-Rasmussen K, Hoffmann S, Cowan S, et al. Serological response to treatment of syphilis with doxycycline compared with penicillin in HIV-infected individuals. Acta Derm Venereol. 2016;96(6):807-11.

  13. Cohen SE, Klausner JD, Engelman J, Philip S. Syphilis in the modern era: An update for physicians. Infect Dis Clin North Am. 2013;27(4):705-22.

  14. Lukehart SA. Biology of Treponemes. In: King K. Holmes PFS, Walter E. Stamm, Peter Piot, Judith N. Wasserheit, Lawrence Corey, Myron S. Cohen, D. Heather Watts, editor. Sexually transmitted diseases. New York: Mc Graw Hill; 2012. pp.647-59.

  15. Tsachouridou O, Skoura L, Christaki E, et al. Syphilis on the rise: A prolonged syphilis outbreak among hiv-infected patients in Northern Greece. Germs 2016;6(3):83-90.

  16. Patrick French SG, Kumar B. Infectious syphilis. In: Somesh Gupta BK, editor. Sexually transmitted infections. India: Elsevier; 2012. pp.429-57.

  17. Shkurba AV, Pashkovs’ka KH, Anastasii IA, Holubovs’ka OA, Poliakova OO. A case of chronic active viral hepatitis b combined with hiv carriage, malaria and syphilis. Lik Sprava. 1996;10-12:158-9.

  18. P. Frederick Sparling MNS, Daniel M. Musher, Bernadine P. Healy. Clinical manifestations of syphilis. In: King K. Holmes PFS, Walter E. Stamm, Peter Piot, Judith N. Wasserheit, Lawrence Corey, Myron S. Cohen, D. Heather Watts, editor. Sexually transmitted disease. 4th ed. New York: McGraw Hill; 2. pp.661-84.

  19. Dourmishev LA, Dourmishev AL. Syphilis: Uncommon presentations in adults. Clin Dermatol. 2005;23(6):555-64. CASE REPORTAPRIL 2021 VOL. 34 ISSUE 1 medicinus 43 CASE REPORT

  20. da Silva Carneiro SC, Pirmez R, de Hollanda TR, Cuzzi T, Ramos-e-Silva M. Syphilis mimicking other dermatological diseases: Reactive arthritis and mucha-habermann disease. Case Rep Dermatol. 2013;5(1):15-20.

  21. Korman AM, Alikhan A, Kaffenberger BH. Viral exanthems: An update on laboratory testing of the adult patient. J Am Acad Dermatol. 2017;76(3):538-50.

  22. Chopdekar Kavita A, Patil Shilpa S, Ameeta J , Abhay C. Serodiagnosis of syphilis in hiv sero-reactive patients. Indian Journal of Basic and Applied Medical Research 2014;3(3):108-10.

  23. Sena AC, Zhang X, Li T, et al. A systematic review of syphilis serological treatment outcomes in HIV-infected and HIV-uninfected persons: Rethinking the significance of serological non-responsiveness and the serofast state after therapy. BMC Infect Dis. 2015;15:479.

  24. Roper W, Boulton M, Caine V, et al. Sexually transmitted diseases treatment guidelines 2015. MMWR Recommendations and Reports, Centers for Disease Control and Prevention (CDC). 2015;64:34-51.

  25. Hall CS, Klausner JD, Bolan GA. Managing syphilis in the hiv-infected patient. Curr Infect Dis Rep. 2004;6(1):72-81.

  26. Ratnam S. The laboratory diagnosis of syphilis. Can J Infect Dis Med Microbiol. 2005;16(1):45-51.

  27. Zetola NM, Klausner JD. Syphilis and HIV infection: An update. Clin Infect Dis. 2007;44(9):1222-8.

  28. Kofoed K, Gerstoft J, Mathiesen LR, Benfield T. Syphilis and human immunodeficiency virus (HIV)-1 coinfection: Influence on CD4 t-cell count, HIV-1 viral load, and treatment response. Sex Transm Dis. 2006;33(3):143-8.

  29. Li J, Zheng H. Early syphilis: Serological treatment response to doxycycline/tetracycline versus benzathine penicillin. J Infect Dev Ctries. 2014;8(2):228-32.

  30. Wong T, Singh AE, De P. Primary syphilis: Serological treatment response to doxycycline/tetracycline versus benzathine penicillin. Am J Med. 2008;121(10):903-8.

  31. Ghanem KG, Erbelding EJ, Cheng WW, Rompalo AM. Doxycycline compared with benzathine penicillin for the treatment of early syphilis. Clin Infect Dis. 2006;42(6):e45-9.

  32. Zink MC, Uhrlaub J, DeWitt J, et al. Neuroprotective and anti-human immunodeficiency virus activity of minocycline. JAMA. 2005;293(16):2003-11.

  33. Clement ME, Okeke NL, Hicks CB. Treatment of syphilis: A systematic review. JAMA. 2014;312(18):1905-17.

  34. WHO. WHO Guidelines: Prevention and treatment of HIV and other sexually transmitted infections among men who have sex with men and transgender people: Recommendations for a public health approach 2011. Geneva, Switzerland: World Health Organization; 2011


Sumber: Medicinus April 2021 vol. 34 issue 1

13 tampilan
bottom of page