top of page

Strategi Penatalaksanaan Rinitis Alergi untuk Mengoptimalkan Kualitas Hidup Pasien


Medicinus Edisi Agustus 2021 Volume 34, Issue 2

Teti Madiadipoera[1], Rina Desdwi Utami S[2]

[1]Departemen Ilmu KesehatanTelinga Hidung Tenggorok-Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung

[2]Alumni Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok-Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung


ABSTRAK


Rinitis alergi merupakan kondisi inflamasi pada mukosa hidung yang terjadi setelah paparan alergen dan diperantarai oleh immunoglobulin E (IgE). Rinitis alergi tidak hanya ditemukan oleh para spesialis THT, namun juga banyak ditemukan oleh dokter umum. Gejala umum dari rinitis alergi antara lain hidung tersumbat, rinore, hidung gatal, dan/atau bersin. Adanya dua atau lebih gejala nasal selama lebih dari satu jam per hari dapat digolongkan sebagai suspek rinitis alergi. Diagnosis rinitis alergi dapat dilakukan berdasarkan anamnesis riwayat alergi, penilaian derajat keparahan penyakit menggunakan visual analog scale (VAS) sesuai dengan ARIA guidelines, endoskopi nasal, dan skin prick test (SPT). Tata laksana rinitis alergi terdiri dari menghindari paparan alergen, edukasi pasien, penggunaan irigasi nasal dan beberapa golongan agen farmakologi seperti antihistamine, cromolyn, decongestant, intranasal corticosteroid, allergen-specific immunotherapy, dan reduksi konka. Antihistamine oral merupakan agen farmakologis pilihan yang berperan penting dalam pengobatan rinitis alergi pada semua derajat keparahan. Beberapa waktu terakhir telah tersedia antihistamine generasi kedua yang dilaporkan menunjukkan efektivitas dan keamanan pada pengobatan rinitis alergi, yaitu levocetirizine (efektivitas tinggi), rupatadine (dual antihistamine dengan efek anti-PAF), dan desloratadine (profil keamanan sangat baik). Studi-studi terbaru juga menunjukkan bahwa penggunaan antagonis reseptor leukotriene seperti montelukast terbukti efektif menurunkan gejala nasal keseluruhan termasuk hidung tersumbat.

Kata kunci: rinitis alergi, farmakoterapi


ABSTRACT


Allergic Rhinitis (AR) is an inflammatory disease of nasal mucosa caused by immunoglobulin E-mediated immunological mechanism after exposure to allergens. AR is not only found by otolaryngologists, but also by general practitioners (GP). Common symptoms of AR are nasal congestion/obstruction, rhinorrhea, itchy nose, and/or sneezing. The presence of two or more nasal symptoms for more than an hour per day is suggestive of AR. Diagnosis of AR is made based on medical history taking, assessment of disease severity using visual analog scale (VAS) according to ARIA guidelines, nasal endoscopy, and skin prick test (SPT). Management of AR consists of avoiding trigger of allergic reactions (allergens), patient education, the use of nasal irrigation and some pharmacologic agents such as antihistamines, cromolyn, decongestant, intranasal corticosteroids, allergen-specific immunotherapy, and surgical reduction of the inferior turbinate. Oral antihistamine is an important pharmacological option for the treatment of AR at all levels of severity. Some new second-generation antihistamines that have been reported to show efficacy and safety for the treatment of AR are levocetirizine (high efficacy), rupatadine (dual antihistamine with anti-PAF effect), and desloratadine (high safety). Recent studies have also shown that the use of leukotriene receptor antagonist such as montelukast leads to reduction of total nasal symptoms including nasal congestion.

Keywords: allergic rhinitis, pharmacotherapy


PENDAHULUAN


Rinitis alergi merupakan penyakit berupa inflamasi pada mukosa hidung yang diperantarai oleh imunoglobulin E (IgE) akibat adanya pajanan alergen, dengan gejala utama berupa bersin-bersin, hidung meler (rinore), hidung gatal, dan hidung tersumbat.1,2 Gejala-gejala tersebut dapat juga disertai gejala lain apabila proses patogenesis melibatkan organ target lain seperti palatum, kulit, mata, dan paru.2


Data dari World Allergy Organization (WAO) menyebutkan bahwa 10-30% populasi di seluruh dunia mengalami rinitis alergi.3 Belum terdapat data prevalensi yang pasti di Indonesia hingga saat ini, walaupun demikian prevalensi yang diperoleh berdasarkan sebuah penelitian di Jawa Barat adalah 8,2% dengan gejala utama hidung tersumbat dan rinore terjadi pada 90% pasien.4 Pada tahun 2017 dilaporkan bahwa insidensi rinitis alergi di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung dilaporkan sebanyak 91 kasus.5


Rinitis alergi merupakan gangguan kesehatan yang dapat berdampak signifikan pada kualitas hidup penderita, terutama apabila tidak tertangani dengan baik. Permasalahan terkait kualitas hidup yang sering dilaporkan terjadi pada penderita rinitis alergi di antaranya adalah gangguan tidur, rasa lelah dan mengantuk pada jam produktif, mudah marah, depresi, gangguan fungsi fisik dan sosial, penurunan atensi, kemampuan belajar serta defisit memori. Gangguan tidur pada penderita rinitis alergi dapat berupa sulit tidur, tidur tidak nyenyak, serta tidak merasa segar saat bangun tidur.6 Beban yang ditimbulkan dari penyakit rinitis alergi juga dapat dirasakan pada aspek sosioekonomi, baik yang berasal dari beban pembiayaan perawatan kesehatan serta beban yang ditimbulkan akibat penurunan produktivitas kerja.7 Sebuah studi cross-sectional online questionnaire-based di Britania Raya menunjukkan bahwa masih banyak penderita rinitis alergi yang belum mencapai tujuan pengobatan,8 oleh karena itu strategi yang tepat untuk mengendalikan rinitis alergi, termasuk pengembangan terapi baru, pemberian edukasi yang tepat untuk meningkatkan awareness pasien terhadap kondisinya serta pentingnya compliance terhadap terapi yang diberikan diharapkan akan mampu mengurangi beban serta penurunan kualitas hidup yang disebabkan oleh penyakit tersebut.


Patofisiologi dan Klasifikasi Rinitis Alergi


Penelitian mengenai patofisiologi rinitis alergi berkembang cepat dan telah dapat menjelaskan gejala bersin, rinore, serta hidung tersumbat berkepanjangan yang disebabkan akumulasi sel-sel inflamasi, terutama eosinofil, secara persisten di jaringan mukosa hidung. Rinitis alergi memiliki jalur patofisiologi yang relatif kompleks, yakni terdiri dari respons fase cepat (early-phase) dan fase lambat (late-phase). Reaksi ini diawali dengan paparan terhadap alergen tertentu seperti tungau debu rumah, serbuk sari, dan lain sebagainya, yang dikenali oleh reseptor IgE pada sel mast serta basofil pada individu yang sensitif. Pada early-phase, terjadi degranulasi sel mast yang menyebabkan pelepasan histamin sesaat setelah paparan terhadap alergen, yang diikuti oleh mediator inflamasi lainnya seperti leukotriene dan eicosanoids. Fase ini bertanggung jawab pada timbulnya gejala nasal akut seperti bersin dan hidung meler, serta gejala okular seperti mata gatal, merah, dan berair. Adanya mediator inflamasi akan menginduksi peningkatan permeabilitas vaskular yang memicu edema. Dalam kurun waktu beberapa jam setelah paparan awal, berlangsung late-phase yang ditandai dengan keterlibatan basofil, netrofil, limfosit T, monosit, eosinofil, serta pelepasan berbagai jenis mediator seperti cytokines, prostaglandins, dan leukotriene. Pada fase ini terjadi remodeling jaringan, perkembangan edema lebih lanjut yang menyebabkan terjadinya nasal congestion (hidung tersumbat) yang seringkali menjadi salah satu gejala yang paling dirasa mengganggu oleh pasien. Baik early-phase maupun late-phase dapat menjadi target intervensi untuk mengatasi rinitis alergi.7



Gambar 1. Skema early-phase dan late-phase pada patofisiologi rinitis alergi7


Di samping paparan alergen, berat ringannya gejala rinitis alergi dipengaruhi pula oleh beberapa faktor lain, seperti kondisi geografi, polusi, usia, jenis kelamin, gaya hidup, dan infeksi.2,3


Pada tahun 2008, kelompok studi Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma (ARIA) mengklasifikasikan rinitis alergi berdasarkan frekuensi munculnya gejala menjadi intermittent allergic rhinitis (IAR) dan persistent allergic rhinitis (PER). Sementara itu, berdasarkan derajat keparahan gejala dan dampak terhadap kualitas hidup, rinitis alergi diklasifikasikan menjadi ringan (mild) atau sedang/berat (moderate/ severe).6




Diagnosis Rinitis Alergi


Diagnosis rinitis alergi dapat ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan berikut:


1) Anamnesis, pemeriksaan adanya riwayat alergi serta pemeriksaan fisik


Terdapat gambaran khas pada penderita alergi yang mudah dikenali yaitu adanya allergic shiners (bayangan kehitaman di bawah kelopak mata yang disebabkan oleh kongesti periorbital) serta allegric salute (gerakan khas menggosok/menggaruk hidung dengan jari atau tangan yang disebabkan karena hidung gatal).9 Informasi mengenai waktu atau onset terjadinya rinitis alergi dapat sangat berguna untuk menentukan suspek alergen. Adanya riwayat penyakit atopik lain seperti asma juga harus dievaluasi mengingat asma juga dilaporkan terjadi pada sekitar 40% penderita rinitis alergi.10


Derajat keparahan penyakit dapat diukur dengan menggunakan visual analog scale (VAS), suatu tool sederhana yang dapat digunakan dalam praktik sehari-hari untuk keperluan diagnosis ataupun memonitor efektivitas pengobatan rinitis alergi.11,12


2) Nasoendoskopi


Didapatkan konka inferior mengalami pembengkakan (edema), membesar (hipertrofi), dan pucat (livid).6


3) Uji tusuk kulit (skin prick test)


Tes ini sangat populer, cepat, sederhana, tidak menyakitkan, relatif aman, dan jarang menimbulkan reaksi anafilaktik maupun tanda-tanda reaksi sistemik. Tes kulit bertujuan untuk mengidentifikasi kemungkinan alergen pemicu timbulnya gejala rinitis alergi, terutama aeroallergen.13


4) Pemeriksaan IgE spesifik dengan Radioallergosorbent Test (RAST)


RAST adalah suatu metode yang digunakan untuk mengidentifikasi adanya IgE spesifik dalam darah. Saat ini, pemeriksaan IgE RAST relatif sering digunakan untuk menunjang penegakkan diagnosis rinitis alergi.14


Manajemen Rinitis Alergi


Terapi rinitis alergi meliputi usaha menghindari paparan alergen, terapi medikamentosa, dan imunoterapi alergen, namun hingga saat ini belum ada satu pun yang terbukti dapat menyembuhkan rinitis alergi dengan sempuma seperti halnya penyakit infeksi.12 Manajemen yang tepat untuk kasus rinitis alergi, di samping mampu menurunkan gejala, diharapkan juga mampu meningkatkan kualitas hidup pasien yang telah terganggu oleh penyakit, karena semakin tinggi tingkat keparahan dan frekuensi gejala rinitis alergi, semakin besar juga dampaknya terhadap penurunan kualitas hidup.2


1) Penghindaran alergen


Upaya menghindari alergen penyebab bukan sesuatu yang mudah dilaksanakan, mengingat alergen hirup utama penyebab rinitis alergi ialah debu rumah dan tungau debu rumah yang setiap saat ada di sekitar penderita.9,15


2) Terapi medikamentosa


Fakta bahwa masih terdapat banyak kasus rinitis alergi yang belum mencapai kontrol penyakit yang optimal menunjukkan adanya pathophysiological gaps antara penyakit dengan intervensi terapi yang tersedia. Masing-masing golongan terapi yang umumnya digunakan dalam terapi rinitis alergi bekerja di titik tangkap yang berbeda pada early-phase atau late-phase. Antihistamine contohnya, bekerja di reseptor histamine yang dominan keterlibatannya di early-phase, sementara corticosteroid intranasal tidak memiliki aktivitas untuk menghambat degranulasi sel mast, melainkan untuk menghambat jalur inflamasi yang bertanggung jawab pada reaksi peradangan yang lebih dominan terjadi di late-phase. Pemahaman yang tepat mengenai mekanisme aksi dari masing-masing golongan obat ini memungkinkan pemilihan regimen terapi yang dapat mengatasi rinitis alergi secara lebih efektif.7 Beberapa agen farmakologis yang sering digunakan dalam tata laksana rinitis alergi antara lain:


a. NaCl fisiologis untuk irigasi nasal


Hasil metaanalisis menyatakan bahwa laruran garam fisiologis dapat mereduksi akumulasi sel inflamasi eosinofil, neutrofil leukotriene D4 (LTD4), prostaglandin D2, IL-8, dan mediator lain yang dilepaskannya.16


b. Intranasal corticosteroid


Kortikosteroid intranasal adalah pilihan terapi bagi penderita rinitis alergi dengan gejala sedang/berat dan/atau persisten karena memiliki efek antiinflamasi jangka panjang. Penelitian Ghafar, et al. (2020) menunjukkan bahwa terapi dengan mometasone furoate intranasal efekif untuk mengecilkan ukuran adenoid pada anak dengan hipertrofi adenoid dalam jangka waktu 12 minggu.17


c. Antihistamine


Antihistamine yang dapat digunakan dalam tata laksana rinitis alergi adalah antagonis reseptor H1, yang bekerja melalui inhibisi kompetitif dengan histamine pada reseptor H1 yang terdapat di ujung saraf dan epitel kelenjar mukosa, sehingga efektif menurunkan gejala rinore dan bersin yang disebabkan oleh pelepasan dan ikatan histamine dengan reseptornya. Antihistamine direkomendasikan untuk seluruh derajat keparahan rinitis alergi, baik pada jenis rinitis alergi intermittent maupun persistent. Secara umum guidelines ARIA menjelaskan karakteristik ideal yang hendaknya dimiliki oleh suatu antihistamine oral dalam tata laksana rinitis alergi, yang mencakup:


1) Profil farmakologi: blokade reseptor H1 bersifat poten dan selektif, memiliki aktivitas tambahan antiinflamasi, farmakokinetik obat tidak dipengaruhi oleh makanan, obat lain, maupun protein transpor di saluran cerna, tidak terdapat potensi interaksi dengan cytochrome P4503A (CYP3A), tidak terdapat potensi interaksi dengan penyakit


2) Efikasi: efektif dalam mengatasi rinitis alergi baik tipe intermittent maupun persistent, efektif mengatasi semua gejala nasal termasuk hidung tersumbat, memberikan perbaikan pada gejala okular, jika memiliki klaim untuk penyakit asma maka harus terbukti memberikan perbaikan gejala asma, penurunan kejadian eksaserbasi, dan perbaikan fungsi paru, klaim preventif harus dapat dibuktikan melalui uji klinik yang sesuai, dan terdapat studi efikasi pada populasi anak-anak serta lanjut usia


3) Keamanan: tidak menyebabkan sedasi dan tidak mengganggu fungsi kognitif maupun psikomotor, tidak memiliki efek antikolinergik, tidak menyebabkan pertambahan berat badan, tidak memiliki efek samping terhadap jantung, memungkinkan penggunaan pada ibu hamil dan menyusui, terdapat studi keamanan pada populasi anak-anak serta lanjut usia, dan melakukan analisis data postmarketing secara prospektif


4) Farmakodinamik: memiliki onset kerja yang cepat (rapid), durasi kerja yang panjang (memungkinkan penggunaan 1 kali sehari), tidak terdapat kecenderungan untuk terjadi drug tolerance.18


Berdasarkan kriteria tersebut, saat ini penggunaan antihistamine generasi pertama sebaiknya dihindari selama terdapat akses yang memungkinkan terhadap antihistamine generasi kedua. Antihistamine generasi pertama seperti chlorpheniramine dan promethazine memiliki selektivitas terhadap reseptor H1 yang relatif rendah serta diketahui dapat menembus blood-brain barrier (BBB) sehingga penggunaannya berdampak pada timbulnya kejadian efek samping seperti sedasi, efek antimuskarinik, efek antiadrenergik, serta efek pada kanal kalsium. Antihistamine generasi kedua seperti cetirizine, loratadine, desloratadine, fexofenadine, rupatadine dan bilastine lebih mampu memenuhi karakteristik ideal antihistamine menurut guidelines ARIA yang dibuktikan melalui berbagai studi klinis.9 Desloratadine memiliki high level of evidence and recommendation untuk digunakan pada intermittent allergic rhinitis (IAR), sedangkan untuk persistent allergic rhinitis (PER), desloratadine, levocetirizine, dan rupatadine memiliki high level of evidence and recommendation.1


d. Decongestant


Decongestant merupakan jenis agen farmakologis yang dapat digunakan dalam terapi rinitis alergi, terutama untuk menangani gejala hidung tersumbat. Decongestant dapat diberikan melalui rute intranasal (contoh: oxymetazoline) maupun per oral (contoh: pseudoephedrine). Decongestant intranasal direkomendasikan untuk terapi jangka pendek rinitis alergi. Terdapat studi yang membuktikan bahwa kombinasi decongestant intranasal dengan intranasal corticosteroid (INCS) lebih efektif dibandingkan monoterapi INCS dalam menangani hidung tersumbat. Decongestant oral harus diberikan dengan hati-hati pada kelompok pasien tertentu seperti anak-anak dan lanjut usia serta pasien dengan riwayat penyakit tertentu. Kombinasi decongestant oral dan antihistamine dapat digunakan untuk tata laksana seasonal allergic rhinitis (SAR) yang terjadi secara konkomitan dengan asma ringan/sedang karena memberikan perbaikan yang signifikan baik pada gejala rinitis alergi maupun asma.6


e. Cromolyn


Cromolyn merupakan obat yang bekerja dengan menstabilkan sel mast dan menghambat pelepasan mediator yang mencetuskan IgE-mediated allergic rhinitis. Pada sebagian kasus, terutama pada seasonal allergic rhinitis (SAR), cromolyn dapat diberikan melalui rute intranasal sebelum kemungkinan paparan terhadap alergen untuk meminimalisasi reaksi alergi yang terjadi akibat paparan alergen tersebut.6


f. Leukotriene receptor antagonist (LTRA)


Leukotriene memegang peranan penting dalam patogenesis rinitis alergi. Obat golongan LTRA seperti montelukast bekerja dengan menghambat aktivitas cysteinyl leukotrienes (CysLTs) untuk mencetuskan reaksi inflamasi di saluran napas. Sebuah metaanalisis menunjukkan bahwa montelukast lebih efektif dalam menangani night-time symptoms pada pasien rinitis alergi dibandingkan dengan antihistamine.19



Dykewicz, dkk. (2020) juga telah mengeluarkan suatu practice parameter update untuk tata laksana rinitis alergi dan rinitis non-alergi, dengan algoritma yang mengombinasikan bukti ilmiah serta expert opinion dalam menentukan regimen yang tepat untuk kasus rinitis intermittent dan persistent. Algoritma yang disajikan menggunakan stepwise approach, yang memungkinkan setiap pasien untuk mendapatkan terapi sesuai dengan variabilitas gejala, ketersediaan agen farmakologis, dan juga patient preference. Pada pasien yang telah berhasil mencapai kontrol gejala yang baik, dapat dipertimbangkan untuk melakukan step down sampai dengan penghentian terapi apabila memungkinkan, misalnya jika paparan alergen bisa sepenuhnya dihindari. Panduan ini juga menitikberatkan penggunaan intranasal corticosteroids (INCS) sebagai monoterapi yang lebih disukai pada kasus rinitis alergi persistent, walaupun terdapat cukup banyak bukti juga yang mendukung kombinasi antara INCS dengan intranasal antihistamines.6


1) Allergen-spesific immunotherapy


Allergen-spesific immunotherapy (AIT) merupakan suatu metode disease-modifying therapy untuk kasus rinitis alergi dengan prinsip utama yaitu menginduksi desensitisasi terhadap alergen.9 AIT dapat dipertimbangkan apabila alergen penyebab suatu IgE-mediated allergic disease telah teridentifikasi, terutama pada kasus rinitis alergi yang tidak terkontrol dengan allergen avoidance dan terapi farmakologis. Terdapat dua tipe AIT yang dapat digunakan dalam praktik klinis, yaitu subcutaneous allergy immunotherapy (SCIT) dan sublingual immunotherapy (SLIT).21 AIT dapat menginduksi clinical and immunologic tolerance, memiliki profil keamanan jangka panjang yang baik, dan mampu mencegah progresivitas penyakit, namun jenis terapi ini membutuhkan jangka waktu yang panjang (3-5 tahun) serta biaya yang relatif besar.2


2) Pembedahan


Tindakan reduksi konka dan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipertimbangkan apabila dijumpai hipertrofi konka inferior yang berat dan tidak menunjukkan respons yang diharapkan dengan terapi medikamentosa.2,3


KESIMPULAN


Rinitis alergi merupakan penyakit inflamasi pada mukosa hidung yang terjadi setelah paparan alergen yang diperantarai oleh IgE sehingga menyebabkan gejala berupa hidung tersumbat, rinore, hidung gatal, dan atau bersin. Tanpa tata laksana yang tepat, gejala-gejala tersebut dapat berdampak pada penurunan kualitas hidup. Edukasi memegang peranan penting untuk meningkatkan awareness pasien terhadap kondisi medis yang dialami, pentingnya menghindari paparan alergen, serta mengikuti anjuran pengobatan yang diberikan dengan baik. Diperlukan penilaian yang menyeluruh pada kasus rinitis alergi untuk mampu memilih regimen terapi yang paling sesuai dengan berbagai pilihan agen farmakologis sesuai dengan bukti ilmiah yang tersedia.


DAFTAR PUSTAKA


  1. Hoyte FCL, Nelson HS. Recent advances in allergic rhinitis. F1000Res. 2018;7: F1000 Faculty Rev-1333.

  2. Bousquet J, Khaltaev N, Cruz AA, Denburg J, Fokkens WJ, Togias A, et al. Allergic rhinitis and its impact on asthma (ARIA) 2008. Allergy 2008;63:8-160.

  3. World Allergy Organization (WAO). Pawanker R, Canonica GW, Holgate ST, Lockey RF, Blaiss MS. White Book on Allergy: Update 2013. Milwaukee, WI: World Allergy Organization; 2013.

  4. Fauzi F, Sudiro M, Lestari BW. Prevalence of allergic rhinitis based on World Health Organization (ARIA-WHO) questionnaire among batch 2010 students of the Faculty of Medicine Universitas Padjadjaran. AMJ. 2015;2:620-5.

  5. Sutarinda R, Dermawan A, Madiadipoera T. Characteristics of Allergic Rhinitis according Skin Prick Test. 19th ARSR - 2ndIndorhino; Bali: 2018.

  6. Dykewicz MS, Wallace DV, Amrol DJ, Baroody FM, Bernstein JA, Craig TJ, et al. Rhinitis 2020: A practice parameter update. Journal of Allergy and Clinical Immunology

  7. Bjermer L, Westman M, Holmstrom M, Wickman MC. The complex pathophysiology of allergic rhinitis: scientifc rationale for the development of an alternative treatment option. Allergy Asthma Clin Immunol 2019;15(24):1-15.

  8. Price D, Scadding G, Ryan D, Bachert C, Canonica GW, Mullol J, et al. The hidden burden of adult allergic rhinitis: UK healthcare resource utilisation survey. Clin Transl Allergy 2015;5(39):1-12.

  9. Hossenbabaccus L, Linton S, Garvey S, Ellis AK. Towards definitive management of allergic rhinitis: best use of new and established therapies. Allergy Asthma Clin Immunol 2020;16(39):1-17.

  10. Iv CFS, Montejo JM. Allergic rhinitis in children and adolescents. Pediatr Clin North Am 2019;66(5):981-93.

  11. Sybilski AJ. Visual analogue scale. A simple tool for daily treatment monitoring in allergic rhinitis. Pediatr Med Rodz 2018;14(3):277–81.

  12. Klimek L, Bergmann K, Biedermann T, Bousquet J, Hellings P, Jung K, et al. Visual analogue scales (VAS): Measuring instruments for the documentation of symptoms and therapy monitoring in cases of allergic rhinitis in everyday health care: Position Paper of the German Society of Allergology (AeDA) and the German Society of Allergy and Clinical Immunology (DGAKI), ENT Section, in collaboration with the working group on Clinical Immunology, Allergology and Environmental Medicine of the German Society of Otorhinolaryngology, Head and Neck Surgery (DGHNOKHC). Allergo J Int 2017;26(1):16-24.

  13. Nevis IF, Binkley K, Kabali C. Diagnostic accuracy of skin-prick testing for allergic rhinitis: a systematic review and meta- analysis. Allergy Asthma Clin Immunol 2016;12:20.

  14. Crobach MJ, Hermans J, Kaptein AA, Ridderikhoff J, Petri H, Mulder JD. The diagnosis of allergic rhinitis: how to combine the medical history with the results of radioallergosorbent tests and skin prick tests. Scand J Prim Health Care 1998;16(1):30-6.

  15. Hasanuddin SM. Pengaruh imunoterapi spesifik alergen tungau debu rumah terhadap tingkat beratnya gejala penyakit, kualitas hidup, dan kadar serum Foxp3 pada penderita rinitis alergi. Tesis. Bandung. 2015.

  16. Hermelingmeier KE, Weber RK, Hellmich M, Heubach CP, Mösges R. Nasal irrigation as an adjunctive treatment in allergic rhinitis: a systematic review and meta-analysis. Am J Rhinol Allergy 2012;26(5):e119–25.

  17. Ghafar MH, Mohamed H, Mohammad NM, Mohammad ZW, Madiadipoera T, Abdullah B. Mometasone furoate intranasal spray is effective in reducing symptoms and adenoid size in children and adolescents with adenoid hypertrophy. Acta Otorrinolaringologica Esp. 2020;71(3):147-53.

  18. Mullol J. Positioning of antihistamines in the Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA) guidelines. Clinical & Experimental Allergy Reviews 2012;12(1):17-26.

  19. Krishnamoorthy M, Noor NM, Lazim NM, Abdullah B. Efficacy of Montelukast in Allergic Rhinitis Treatment: A Systematic Review and Meta-Analysis. Drugs. 2020;80(17):1831-51.

  20. Klimek L, Bachert C, Pfaar O, Becker S, Bieber T, Brehler R, et al. ARIA guideline 2019: treatment of allergic rhinitis in the German health system. Allergologie select, 2019;3:22-50.

  21. Akdis M, Akdis CA. Mechanism of allergen-specific immunotherapy: multiple suppressor factors at work in immune tolerance to allergens. J Allergy Clin Immunol. 2014;133(3):621-31.

11 tampilan
bottom of page